Urbanisme Gay di Kota Besar: Jakarta sebagai Gay Community Zone
July 11, 2023Tur Jalan Kaki: Alternatif Wisata Murah Masyarakat Kota
July 21, 2023Photo by Eric Nopanen on Unsplash
OPINI
Lagu Lawas dan Harmoni Antargenerasi
oleh Arya Adyuta
Langit mulai mendung ketika saya dan Ibu berkendara melintasi jalanan panjang nan lapang. Pada kecepatan sedang, saya yang duduk di sebelahnya mulai nyaman untuk mengkoneksikan ponsel ke pengeras suara.
Cepat-cepat saya menggulirkan layar, mencari lagu-lagu yang tepat. Belakangan, musik Indonesia era 1980-an, lagu populer jaman Ibu masih muda, jadi daftar teratas di akun Spotify saya. Tanpa ragu, “Hasrat dan Cita” dari Andi Meriem Mattalatta berputar lembut lewat intro pianonya yang syahdu. Tampaknya Ibu turut menikmati lagu yang dirilis pada akhir dekade 70-an itu, sekitar lebih dari 40 tahun lalu. Sesekali ia bernyanyi sepotong-sepotong bait reff-nya.
“Ibu tau lagu ini, Bu?” tanya saya naif. “Ya iyalah!” jawabnya. Kemudian, saya berujar kalau ini adalah lagu yang sangat bagus dan enak. Lagu tersebut adalah satu dari sekian yang mengisi perjalanan kami. Selanjutnya kami pun ber-karaoke dadakan lewat sekian lagu lawas lainnya.
“Dulu denger musik apa, Bu? Beli kaset juga, gak?” lanjut saya kemudian. Ibu menjawabnya dengan nada kesal, “Dulu nonton TV aja susah. Boro-boro beli kaset!”.
Ibu seketika menjelaskan kalau dulu ia suka mendengarkan lagu-lagu dari Vina Panduwinata atau Irianti Erningpraja. Kami pun lantas bertukar referensi. “Aku juga suka itu, Bu,” ujar saya sesekali ketika Ibu menyebutkan suatu judul lagu yang kebetulan saya tahu. Percakapan kami tahu-tahu membuka begitu saja.
Hati saya sesak akan rasa hangat dan lega ketika momen-momen semacam itu terjadi. Kekakuan hubungan kami yang tak jarang terjadi bisa dibilang luntur sejenak. Interaksi saya dan Ibu menjadi menyenangkan. Kami seperti paham satu sama lain. Perlahan, kami ngobrol layaknya sahabat lama.
Jembatan Antargenerasi
Momen kecil ini lama tersimpan sebagai hal sepele yang menarik saya ke rasa ingin tahu yang membuncah. Mengingat banyak analisis bilang kalau selera musik tidak lagi berkembang banyak setelah usia 30-an, apa lagi ya lagu-lagu yang Ibu dengar saat muda? Ibu suka dengar Chrisye juga gak ya? Atau mungkin Iwan Fals? Kalau Keenan Nasution? Apakah Ibu juga berbagi referensi musik dengan teman sebayanya masa itu, ya?
Lama kelamaan, dari pertanyaan pribadi yang belum semuanya terjawab, momen ini menjadi pemantik saya untuk bertanya lebih jauh tentang daya musik sebagai jembatan antargenerasi—jembatan anak muda dengan orang tua. Bisakah orang tua dan anak muda sepaham lewat musik? Bagaimana musik bisa menjadi strategi dialog antar mereka? Apa yang bisa musik bangkitkan untuk hal-hal semacam itu? Apakah jawabannya ada pada musik lawas yang berkisar 20 sampai 50 tahun ke belakang? Saya berusaha menelusuri sedikit untuk menjawab pertanyaan itu.
Kerisauan ini semakin bertambah ketika saya mulai tercebur gelombang Hallyu, yakni meluasnya budaya populer Korea secara global, dan belakangan mulai gemar menonton drama Korea serta memperhatikan sekian musik K-pop. Dari serial drama Reply 1988 dan Hospital Playlist yang seringkali menekankan lagu-lagu lawas dalam ceritanya, hingga NCT Dream yang baru-baru ini mendaur ulang lagu 90-an berjudul “Candy” dari grup H.O.T., seringkali menjadi bahan bakar saya menjalani hari. Di dalam hati, saya bertanya-tanya: apakah musik lawas di Korea Selatan begitu berpengaruh bagi warganya? Seperti musik lawas mereka berpengaruh terhadap saya?
Rasa penasaran ini membawa saya kepada suatu buku yang ditulis Young-mee Lee, seorang peneliti bidang seni asal Korea, berjudul You Call That Music?!: Korean Popular Music Through Generations. Dalam bukunya tersebut, Lee menganalisis persoalan harmoni antargenerasi yang terjadi pada musik populer Korea Selatan. Menurutnya, dalam beberapa dekade tertentu di Korea Selatan, musik populer dapat menjadi pelumas antargenerasi dalam berdialog dan bersimpati. Meskipun memang, di beberapa dekade lainnya, perbedaan dan konflik generasional juga terjadi.
Lee menggambarkan contoh keharmonisan itu dengan apik. Misalnya, ketika ada penyanyi di acara musik di televisi (yang kebanyakan berusia 20-an tahun) sedang menyanyikan lagu hits lawas, semua anggota keluarga, dari yang berusia paruh baya hingga remaja, dapat berkumpul di depan televisi dan ikut menyanyikan lagu lawas tersebut.
Pembacaan ini membuat saya teringat peristiwa di kuartal ketiga tahun 2022 kemarin, ketika jagat musik dan internet ramai dalam kekaguman. Lyodra, seorang anak muda pemenang Indonesian Idol pada 2020 silam, merilis lagu “Sang Dewi” bersama penciptanya, Andi Rianto. Sebuah tembang daur ulang dari lagu Titi DJ yang dirilis tahun 2001, sekitar dua puluh tahun lalu. Lagu itu digubah ulang dengan mewah lewat alunan orkestra besar.
Dengan cepat, seisi media sosial terus saja menggaungkan lagu tersebut. Berbagai video Tiktok hingga Instagram Reels, entah yang memperlihatkan food vlogger yang sedang menumis sayuran ataupun seorang mahasiswa dengan alat musiknya, sering sekali menggunakan atau menyanyikan lagu tersebut. “Sang Dewi” dalam waktu singkat jadi favorit banyak orang—dari yang tua hingga yang muda.
Mungkin beberapa pendengar remaja tidak tahu bahwa “Sang Dewi” merupakan lagu daur ulang. Beberapa pendengar lainnya yang tumbuh di era 2000-an mungkin cukup tertarik pada warna baru yang disumbang Lyodra pada lagu ini. Kondisi itu tentu tak terhindarkan dan mungkin juga tidak perlu dipersoalkan. Saya kira “Sang Dewi” menjadi contoh bagaimana ragam generasi bisa ikut menikmati suatu lagu lawas yang didaur ulang.
Antara yang Baru dan yang Lawas
Kita perlu melihat bagaimana momen ini terjadi seiring banyaknya pula kehadiran nuansa lawas di musik Indonesia. Diskoria dan Laleilmanino yang sedang nge-tren lewat lagu interpolasinya atas “Sesaat Kau Hadir” milik Utha Likumahuwa, atau duo GeryGany yang betulan menyanyikan ulang lagu tersebut. Kemudian, ada album kompilasi berjudul “Lagu Baru dari Masa Lalu” yang dinyanyikan segenap musisi muda ternama. Hingga baru-baru ini, lagu “Masih Ada” dari grup 2D yang diaransemen ulang untuk ajang pencarian bakat, mengundang perbincangan di kolom komentar.
Perlu kita lihat juga bahwa suasana ini hadir seiring anak muda Indonesia semakin getol untuk melihat arsip. Tak lepas dari kemudahan teknologi internet, serta inisiatif seperti Irama Nusantara atau Alunan Nusantara yang membangkitkan kesadaran arsip, anak muda semakin giat menyelisik apa yang terjadi pada musik Indonesia di masa lampau.
Tak lepas dari kemudahan teknologi internet, anak muda kini semakin giat menyelisik apa yang terjadi pada musik Indonesia di masa lampau ~Arya Adyuta Share on XTerlihat jelas bahwa kini musik Indonesia sedang ada di fase “pertemuan” antara yang baru dengan yang lawas. Meskipun fenomena ini perlu diteliti lebih jauh, apakah merupakan sesuatu yang generik dan terjadi di banyak wilayah, saya kira penting untuk memikirkan ulang tujuan utama arah musik Indonesia yang pada akhirnya bergerak dalam persoalan hubungan antargenerasi.
Walaupun kaitan antara musik dan kelancaran dialog antargenerasi belum terlihat begitu mencolok, saya terka musik punya daya yang besar dan berarti untuk memperlancar hubungan itu. Berkaca dari Korea Selatan, di mana lagu lawas memiliki daya yang kuat dalam kepaduan antargenerasi, Indonesia juga bisa berstrategi melalui lagu lawas sebagai pemantik nostalgia dan komunikasi.
Barangkali, kita sebagai anak muda dapat memulainya secara kecil-kecilan dengan membangun percakapan tentang musik kepada orang yang lebih tua. Misalnya, kita bisa mengawalinya dengan berbagi referensi musik dengan mereka atau bertanya tentang musik yang mereka suka. Saya kira, hal semacam itu dapat perlahan menjahit kepingan sejarah musik yang bahkan lebih intim dan personal, hingga bisa memfasilitasi dialog antargenerasi.
Mungkin kamu pernah melihat salah satu dari video Tiktok bertema “They Say Japanese Women from the 80’s Know This Song” di linimasa sosial mediamu. Satu waktu, saya pernah berangan-angan jika tren serupa terjadi di Indonesia dengan lagu pop Indonesia lawas. Anak muda dengan orang tuanya berjoget-joget kecil, mendendangkan lagu Fariz RM atau Utha Likumahuwa dengan asyik. Saya kira hal itu bakalan menyenangkan.
Arya Adyuta adalah seorang penikmat musik yang baru-baru ini tertarik meneliti musik beserta jalinan sosial-budaya di sekelilingnya.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini