Konsep Mini
1. Bencana Hidrometeorologis
Bencana yang disebabkan oleh kondisi hidrometeorologi, seperti curah hujan yang ekstrem, banjir, kekeringan, dan angin puting beliung. Dalam konteks pembangunan, bencana hidrometrologis sering kali dikaitkan dengan dampak perubahan iklim dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan
2. Risiko Kebencanaan
Kemungkinan terjadinya bencana yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat, ekonomi, dan lingkungan.
3. Jejak Ekologis
Ukuran dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia terhadap lingkungan, termasuk penggunaan sumber daya alam dan emisi karbon. Dalam konteks pembangunan, jejak ekologis menjadi indikator penting untuk menilai keberlanjutan suatu model pembangunan.
Demikian kata seorang profesor yang pernah saya temui sekitar 30 tahun yang lalu. Ungkapan tersebut masih terus terngiang di telinga saya hingga hari ini. Bekerja di bidang pengelolaan risiko bencana saat ini, saya semakin kebingungan untuk menjawab pertanyaan, “Apakah dengan demikian pembangunan yang ada di Indonesia ini layak kita lakukan?” Bencana terus terjadi. Korban jiwa dan harta tertelan. Sebagian bencana adalah dampak dari pembangunan. Sebagian terjadi karena apa yang tidak menjadi pertimbangan ketika melakukan pembangunan.
Bencana seperti banjir, siklon, puting beliung, dan kekeringan disebut sebagai bencana hidrometeorologis. Bencana-bencana tersebut terjadi akibat perubahan iklim, kerusakan lingkungan, gaya hidup, hingga kepentingan ekonomi. Kita tidak bisa melihat setiap bencana secara sederhana; masing-masing memiliki kompleksitas faktor yang saling mendukung terciptanya bencana itu. Membicarakan banjir misalnya, kita tidak hanya melihat faktor dari curah hujan yang deras yang bisa jadi disebabkan oleh perubahan iklim. Akan tetapi, perilaku masyarakat yang rajin membuang sampah sembarangan dan pengelolaan sampah yang tidak memadai juga turut berkontribusi. Selain itu, pembangunan yang tidak mempertimbangkan jalan air masuk kembali ke tanah juga turut membuat air mendesak jalan-jalan di atas aspal dan jalanan dan mencari tempat untuk lepas. Berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) yang menjadi tempat resapan tanah dan tidak adanya peta jalur air dalam pembangunan ditambah dengan reklamasi wilayah rawa, membuat air semakin kompak menerjang bangunan seolah untuk melakukan balas dendam.
Dalam kacamata kebencanaan, bencana-bencana seperti banjir, puting beliung, letusan gunung berapi, dan sebagainya termasuk sebagai ancaman yang tidak selalu menimbulkan bencana. Menurut United Nations for Disaster Risk Reduction (UNDRR), lembaga PBB yang menangani bidang pengurangan risiko bencana, bencana adalah sebuah kejadian ancaman yang memutus secara serius fungsi-fungsi dalam masyarakat, dan hal ini merupakan kelindan dari kerentanan kapasitas masyarakat, pemerintah serta kondisi infrastruktur fisik yang terpapar kejadian tersebut. Maka dari itu, hujan deras memang bisa terjadi, tetapi tidak semata merupakan faktor yang mengakibatkan banjir yang mengganggu aktivitas vital masyarakat seperti mencari nafkah, mengakses fasilitas kesehatan, ataupun mencari makanan.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, terdapat peningkatan insiden bencana dari 2011-2020, dan penurunan di tahun 2021 yang didominasi oleh bencana banjir dan cuaca ekstrem. Sementara itu, Rencana Induk Penanggulangan Bencana seharusnya menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang sebagaimana tertera dalam pasal 3 ayat 3 RIPB Tahun 2020-2044 yang disahkan melalui Perpres No. 87/2020. Lalu, mengapa angka bencana masih belum berkurang secara signifikan dalam kehidupan kita, kecuali di masa pandemi manakala aktivitas manusia dibatasi?
Upaya penanggulangan bencana di Indonesia bak menembak sasaran yang terus bergerak atau memadamkan api dengan membiarkan sekamnya masih membara. Terdapat isu kompleks dari pertumbuhan jumlah manusia yang membutuhkan kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan papan), lapangan pekerjaan, ataupun tempat-tempat mencari kenikmatan dan melepas penat. Sayangnya, tren perilaku manusia yang ditangkap oleh produsen dan pemasaran, serta respon baik oleh pasar, acapkali tidak bersahabat dengan kesehatan bumi. Pertumbuhan penduduk memaksa tanah untuk terus memproduksi makanan dan pakaian, sedangkan lahan produksi dikurangi untuk alokasi lahan tempat tinggal, pabrik, bahkan mal. Tidak cukup memiliki satu rumah, segelintir orang terus menambah rumah kedua, ketiga, dan seterusnya serta membangunnya tanpa memikirkan resapan tanah. Tanah yang dipompa untuk terus berproduksi, lahan yang dibakar untuk membuka lahan menghasilkan efek rumah kaca yang berujung pada cuaca ekstrem, dan musim hujan atau kemarau yang berkepanjangan merupakan contoh perilaku-perilaku mengorbankan alam dalam pembangunan. Permasalahan perilaku manusia dan perencanaan pembangunan yang belum menyasar secara holistik menjadi bagian dari visi, perencanaan, dan implementasi pembangunan di Indonesia. Dan, hal inilah yang menimbulkan korban-korban pembangunan setiap tahunnya.
Upaya penanggulangan bencana di Indonesia bak menembak sasaran yang terus bergerak atau memadamkan api dengan membiarkan sekamnya masih membara. ~ Widya Setiabudi Share on XDi Indonesia, perilaku individu untuk turut memikirkan bumi dan merefleksikan rekam jejak ekologis masing-masing orang, secara menyeluruh belum menjadi fokus utama. Model pendidikan di Indonesia saat ini, masih belum berhasil untuk mengajak manusia Indonesia untuk hidup dengan ‘secukupnya’. Seperti, makan dengan cukup, sehingga tidak menyumbang sampah sisa makanan. Maka, produksi makanan yang mengorbankan alam, tidak berakhir sia-sia. Bertempat tinggal di bangunan dengan luas secukupnya yang didukung wilayah resapan yang memadai. Pengumbaran pembangunan mal dan apartemen untuk memuaskan hasrat kemilikan, bersosialisasi, tampil, terlihat tidak mengindahkan dampak terhadap lingkungan. Pendidikan di Indonesia saat ini belum mengajak kita untuk sepenuhnya sadar (mindful) atas konsekuensi-konsekuensi dari pilihan serta tindakan kita.
Pendidikan di Indonesia saat ini belum mengajak kita untuk sepenuhnya sadar (mindful) atas konsekuensi-konsekuensi dari pilihan serta tindakan kita. ~ Widya Setiabudi Share on XTentu saja, dampak dari kesadaran masing-masing individu akan terlihat sangat kecil, apabila dibandingkan dengan kemampuan sebuah pemerintahan dalam pengelolaan pembangunan. Sayangnya, pilihan-pilihan dalam pembangunan yang miopik masih dipilih. Hal ini dapat dimisalkan dengan penyulapan lahan eks-gambut atau lahan yang tidak terpakai lainnya menjadi food estate untuk menciptakan lapangan kerja dan demi kecukupan pangan. Seharusnya, langkah-langkah strategis dan berdampak besar semacam ini dipertimbangkan dari ujung rantai nilai/pasok (value chain/supply chain) satu ke ujung lainnya. Demikian juga dengan pengembangan sebuah wilayah, pertimbangan RTH dan wilayah yang rawan bencana sudah seharusnya secara serius ditegakkan.
Di Jakarta yang setiap tahunnya banjir tak pernah mangkir, sebagian lahan yang direncanakan menjadi RTH dialihfungsikan menjadi bangunan komersial. Menariknya, ketika sebuah mal yang dibangun di lahan yang seharusnya berfungsi sebagai RTH terkena banjir pada 1 Januari 2020 lalu, sejumlah pengelola mal tersebut justru menuntut ganti rugi ke pada pemerintah DKI Jakarta. Menurut Katadata (2020) pemerintah sendiri yang menurunkan rencana alokasi RTH, yang pada periode 1985-2005 proporsi RTH adalah 26,1%, pada periode 2005-2010 menurun menjadi 13,9%.
Slogan supermarket atau hypermarket bencana disematkan pada Indonesia, slogan ini diucapkan seolah kita semua berlomba untuk menjadi negara yang paling banyak terjadi bencana. Meski menerima slogan ini, pemerintah tidak mengimbanginya dengan kewaspadaan (cautions) dalam menentukan wilayah mana yang bisa dihuni dan dijadikan fasilitas umum, serta mana yang tidak. Pemerintah juga tidak merumuskannya dalam kebijakan pembangunan yang menyeluruh. Karenanya, yang kita lakukan hanyalah mengurangi dampaknya tanpa memutus akar masalahnya yang sudah merajalela.
Maka, pertanyaannya: Apakah pembangunan seperti ini masih layak dilakukan? Tidak bisakah para pemangku kepentingan duduk bersama membuat visi serta perencanaan pembangunan yang betul-betul memutus akar bencana–dari perubahan perilaku sampai dengan implementasi pembangunan itu sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini tampak utopis, ya? Duduk bersama untuk memikirkan tujuan bersama, alih-alih memikirkan ego sektoral. Yang mana hal ini adalah hal yang masih sulit dibayangkan dalam pemerintahan di Indonesia. Memang, sepertinya bencana akan terus menjadi keniscayaan di Indonesia.
Widya Setiabudi mulai bekerja di bidang social dan humanitarian, sejak masih mahasiswa sebagai relawan di Komunitas Kali Code, berlanjut ke Cakra Indonesia yang ada di Jogja. Mulai tertarik dengan isu kebencanaan ketika bekerja dalam isu penanganan pasca konflik di Maluku Utara pada tahun 2003. Sejak itu bekerja untuk isu penanggulangan bencana (PB) dan pengungsi lintas batas dalam jejaring Caritas, JRS (Jesuit Refugee Service) Thailand, serta beberapa Lembaga donor dan PBB. Sejak 2013 semakin berfokus pada upaya peningkatan kapasitas, pelibatan masyarakat serta pelokalan dalam PB. Saat ini bekerja sebagai Manajer Humanitarian & Urusan Kebencanaan di World Vision Timor Leste.
© 2024 Anotasi. Dibuat dengan hati dan puluhan gelas kopi.
Adding {{itemName}} to cart
Added {{itemName}} to cart