Membincang Kepatuhan dari Perspektif Erich Fromm
December 1, 2023Apa yang Salah dari Pernyataan Aktivisme Seyogianya Jujur dengan Ambisi Uang dan Ketenaran? Semuanya!
December 12, 2023Photo by Mahdi Bafande on Unsplash
OPINI
Antara Baik dan Jahat: Mempersoalkan Dualitas Sifat Dasar Manusia
oleh Silvia Maudy Rakhmawati
Setiap dari kita, sekilas pasti pernah bertanya: mengapa harus ada perang, kehancuran, dan ketidakadilan di muka bumi ini? Mengapa mesti ada (setidaknya satu) orang jahat di dunia ini? Bagi seseorang yang memiliki keyakinan, mesti pernah sepintas mempertanyakan mengapa Tuhan tidak menciptakan seluruh manusia menjadi baik sehingga bisa hidup damai tanpa konflik? Apa yang membentuk sifat manusia?
Sederet pertanyaan itu sudah menjadi bahan perdebatan para filsuf selama berabad-abad lamanya. Mereka sudah memperdebatkan soal sifat dasar manusia: apakah manusia pada dasarnya baik, tetapi dirusak oleh masyarakat atau manusia pada dasarnya jahat, sehingga memerlukan norma untuk mengendalikannya?
Terdapat dua pandangan besar mengenai kecenderungan tersebut. Kodrat manusia terlahir jahat dikemukakan oleh filsuf Aristoteles dan Agustinus. Aristoteles berpandangan bahwa moralitas itu dipelajari, karena manusia terlahir sebagai makhluk amoral. Sementara itu, Agustinus, melalui doktrin dosa asal, menyatakan bahwa semua orang dilahirkan dalam keadaan rusak dan egois serta hanya bisa diselamatkan oleh tangan Tuhan.
Tidak hanya Aristoteles dan Agustinus yang memandang kodrat manusia secara pesimis. Thomas Hobbes juga menggambarkan manusia sebagai makhluk yang jahat dan membutuhkan regulasi dalam masyarakat untuk mengatur kecenderungan alamiah itu.
Sementara itu, berseberangan dengan kebanyakan filsuf, Rousseau justru berpendapat bahwa manusia pada dasarnya terlahir baik. Menurutnya, keserakahan dan kerusakan yang ditimbulkan manusia itu disebabkan oleh sistem yang diterapkan di masyarakat.
Kooperatif adalah Naluri Spontan Manusia
Lain dari pendekatan filosofis yang cenderung pesimis memandang sifat manusia, studi psikologi menunjukkan optimisme mengenai kebaikan alami yang dibawa oleh manusia ketika lahir. Pandangan bahwa kodrat manusia itu baik didasarkan pada eksperimen terhadap bayi yang berusia kurang dari satu tahun. Bayi dianggap sebagai representasi sifat alami manusia karena minim terpengaruh oleh budaya.
Penelitian yang diselenggarakan oleh Pusat Kognisi Universitas Yale itu menghadirkan para bayi untuk menonton pertunjukan boneka dengan berbagai bentuk dan warna. Boneka-boneka tersebut kemudian diberi karakter sebagai ‘benar’ atau ‘salah’ secara moral. Sebagai ilustrasi, ada satu lingkaran merah yang ditampilkan sebagai sosok pejuang yang mendaki bukit. Karakter jahat ditandai dengan kotak biru yang mencoba mendorong lingkaran merah kembali ke bawah, sementara karakter baik ditandai dengan segitiga kuning yang berupaya membantu lingkaran merah naik kembali ke atas. Setelah dipertontonkan, para bayi ditanyai apa yang ingin mereka mainkan.
Ternyata, semua bayi dalam eksperimen tersebut memilih segitiga kuning yang melambangkan sifat baik. Lalu, untuk menghindari preferensi bawaan atau keakraban dengan warna tertentu, eksperimen diulangi dengan warna yang dilabeli peran atau karakter sebaliknya. Hasilnya tidak jauh berbeda: mayoritas bayi memilih bentuk dan warna yang berperan sebagai penolong (karakter baik). Penelitian yang mirip juga dilakukan oleh lembaga lain seperti Universitas Kyoto dan Harvard yang membenarkan hasil penelitian sebelumnya mengenai bayi yang menunjukkan perilaku altruistik (mengutamakan kebaikan bagi orang lain).
Eksperimen lain yang mencirikan manusia terlahir baik dilakukan oleh peneliti asal Harvard dan Yale berdasarkan studi kasus mengenai naluri pertama manusia. Hal itu bisa dinilai dari dua kerangka mekanisme soal bagaimana manusia mengambil keputusan, yaitu melalui intuisi atau refleksi. Intuisi merupakan respon mengambil keputusan yang beroperasi secara spontan, cepat, dan mengarah pada tindakan yang terjadi tanpa mengetahui alasan di baliknya. Respon intuitif diasosiasikan dengan karakter kooperatif yang mengutamakan kepentingan kelompok daripada pribadi.
Sementara itu, refleksi yang dicirikan sebagai sifat egois manusia merupakan respon mengambil keputusan yang beroperasi dengan lambat, melalui pertimbangan tertentu, dan mengarah pada tindakan yang didasari keputusan rasional.
Pertanyaan yang kemudian diujikan adalah berdasarkan kompleksitas sifat dasar manusia, perilaku mana yang merupakan produk refleksi rasional: keegoisan atau kooperatif?
Eksperimen tersebut terdiri dari tugas pengambilan keputusan keuangan berbasis kelompok yang mengharuskan peserta untuk memilih antara bertindak egois (memilih untuk memaksimalkan keuntungan individu dengan mengorbankan kepentingan kelompok) atau kooperatif (memilih untuk memaksimalkan keuntungan kelompok dengan mengorbankan kepentingan individu). Adapun respon intuitif merupakan indikator yang diasumsikan paling selaras dengan sifat dasar manusia dalam eksperimen tersebut.
Berbagai penelitian dan eksperimen menunjukkan kalau manusia terlahir baik dan kooperatif, meskipun pemikiran ini mendapat kritik. ~ Silvia Maudy Rakhmawati Share on XSelain itu, pendekatan etnografis juga menyatakan bahwa kerja sama adalah sifat dan kecenderungan bawaan semua manusia. Hal ini didasarkan pada bukti arkeologis sebelum manusia pertama kali mulai menetap, yaitu masyarakat pemburu-pengepul yang hidup nomaden, saling bekerja sama, dan menghindari kekerasan. Namun, pandangan ini kemudian dikritik, karena jaringan sosial prasejarah berukuran kecil dan tidak melibatkan banyak individu.
Paradigma Baik dan Jahat dalam Perang dan Damai
Baik dan jahat merupakan isu dalam pandangan filsafat tradisional. Berbeda dari dua pandangan besar yang mendikotomikan kodrat manusia sebagai baik dan jahat, Lukáš Švaňa, seorang pemikir etika normatif (konsekuensialis), justru berpendapat kalau manusia sebenarnya tidak memiliki sifat bawaan. Menurut Švaňa, sifat manusia merupakan seperangkat atribut dinamis yang dapat berubah secara evolusioner. Dalam sifat manusia, tidak ada unsur watak atau perilaku yang bisa diterapkan secara universal. Tidak semua sifat manusia merupakan bagian dari unsur fitrah (kodrat) mereka dan tidak semua unsur fitrah manusia dimiliki oleh setiap individu.
Berlainan dengan itu, keberadaan sifat manusia merupakan bagian dari proses evolusi. Evolusi, dengan demikian, tidak selalu berkaitan dengan persoalan kemajuan struktur sosial dan politik yang kompleks, melainkan juga perkembangan sifat dan moralitas manusia itu sendiri.
Keberadaan manusia dan hakikatnya tidaklah mutlak. Fenomena dalam kehidupan keseharian manusia selalu berubah, begitu pun dengan sifat manusia yang berevolusi akibat pengaruh perubahan di sekitarnya. Baik dan jahat, dalam ilmu etika, tidak dilengkapi dengan seperangkat pola perilaku yang pasti. Perbuatan baik dan jahat sebenarnya hanyalah dua manifestasi berbeda dari sifat manusia yang terus berevolusi tadi. Kita pun menggabungkan kedua kecenderungan ini beserta segala konsekuensi yang mungkin ditimbulkannya, seperti perang dan damai. Dengan demikian, perang dan damai hanyalah dua dari banyaknya kemungkinan konsekuensi yang dihasilkan dari sifat manusia.
Berbicara tentang baik dan jahat, perang seringkali dikaitkan dengan kejahatan. Padahal, perang adalah fenomena dualistik atau memiliki dua wajah. Perang memang memiliki potensi yang kuat untuk membangkitkan sifat-sifat terburuk dalam diri manusia, tetapi, di sisi lain, perang juga membawa peluang bagi manusia untuk untuk bangkit dan saling bekerja sama. Artinya, perang bisa menciptakan ‘kemajuan’ dan ‘kemunduran moral’ sekaligus, sebagaimana diilustrasikan sebagai orang jahat yang bisa bertindak heroik, dan sebaliknya, orang baik yang bisa bertindak mengerikan.
Dengan demikian, semua jenis perilaku manusia adalah bagian dari sifat manusia, entah itu baik dan jahat maupun benar dan salah. Baik dan buruk, ataupun perang dan damai, merupakan bagian dari fitrah manusia itu sendiri. Manusia bukanlah produk alam yang sempurna. Sifat manusia adalah sumber dari semua tindakan yang dapat membawanya ke jalur kejahatan, ketidakadilan, kekerasan, sekaligus juga membawanya menuju kebaikan, keadilan, dan ketenangan. Terjadinya peperangan dan perdamaian menunjukkan bahwa kita membutuhkan pandangan terhadap sifat manusia yang dinamis dan fleksibel.
Steven K. Baum, dalam The Psychology of Genocide, mengutip legenda Cherokee yang menceritakan tentang seorang kakek yang mengajarkan prinsip-prinsip hidup kepada cucunya. Sang Kakek bergumam, “Pertengkaran sedang terjadi di dalam diriku. Sebuah pertarungan mengerikan yang terjadi di antara dua serigala. Satu serigala hitam (representasi dari sisi gelap manusia, seperti kemarahan, iri hati, keserakahan, kesombongan, kebencian, kebohongan, dan lain sebagainya) dan serigala putih (representasi dari sisi terang manusia, seperti kedamaian, cinta, harapan, ketenangan, kebajikan, dan seterusnya).
Kemudian, sang cucu bertanya, “Serigala manakah yang akan menang?” Kakek tersebut menjawab, “Yang kamu beri makan.”
Legenda dua serigala Cherokee ini menjelaskan dualitas antara kebaikan dan kejahatan yang ada di dalam diri setiap manusia. Kisah tersebut bukan tentang memberi makan seekor serigala dan membuat serigala lainnya kelaparan, melainkan tentang manusia yang pada dasarnya tercipta sebagaimana yin dan yang. Oleh karena itu, dualitas harus diperhitungkan dan dikendalikan agar manusia dapat hidup dengan seimbang.
Silvia Maudy Rakhmawati antusias dalam membaca teks-teks filsafat, terutama filsafat manusia dan etika.
Artikel Terkait
Antara Baik dan Jahat: Mempersoalkan Dualitas Sifat Dasar Manusia
Sifat baik dan buruk manusia perlu dipandang secara dinamis dan fleksibel sebagai cara menyeimbangkan hidup.Apa itu Keadilan?: Sebuah Perdebatan Tanpa Akhir
Mungkinkah kita menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat? Bagaimana supaya keadilan sosial itu bisa memenuhi hak-hak individu?Subjek dan Keyakinan
Setiap orang memiliki keyakinan dan cara meyakininya masing-masing. Akan tetapi, bagaimana keyakinan itu dapat muncul dalam diri seseorang? Artikel ini menjelaskan subjektivitas keyakinan dan bagaimana keyakinan memengaruhi tindakan seseorang.