ASEAN: Peningkatan Kerja Sama Regional dan Perubahan Formasi Kelas
November 13, 2023Membincang Kepatuhan dari Perspektif Erich Fromm
December 1, 2023Photo by Jeremy Yap on iStock
OPINI
Mengapa Kita Harus Belajar Ekonomi Marxisme?
oleh Angga Pratama
Kapitalisme dan Marxisme bagaikan kucing dan tikus. Pertempuran keduanya menyebabkan pergeseran poros politik dan ekonomi di masa kejayaannya, yaitu di era kedigdayaan Uni Soviet.
Saat ini, kita bisa melihat kalau beberapa negara yang masih menyatakan dirinya sebagai negara marxis, sosialis, atau komunis menghadapi beberapa permasalahan. Kuba, misalnya, saat ini terjebak dalam krisis akibat blokade yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
Beberapa negara yang masih memegang Marxisme sebagai sistem politik, tetapi meninggalkannya sebagai konsep ekonomi di antaranya adalah Republik Rakyat China yang kini membuka diri pada berbagai macam investasi.
Saat ini, kapitalisme semakin berkembang pesat, tanpa ada hambatan yang berarti. Bagi para aktivis kiri, meskipun mereka masih memegang teguh ajaran Marxisme, sebenarnya ada banyak variasi pemikiran lain, misalnya Stalinisme, Leninisme, Maoisme, Titoisme, dan Kautskyisme.
Dengan kekuatan kolektif, para aktivis kiri mencoba membentuk kesadaran agar kapitalisme dapat dihancurkan. Tetapi, suatu pertanyaan yang cukup mendasar perlu kita pertanyakan: apakah kita masih perlu untuk mempelajari Marxisme di tengah perkembangan kapitalisme yang semakin “membaik”?
Dimakan atau Memakan? Memberantas Egoisme dalam Berekonomi
Kita perlu memperhatikan kembali sikap egois manusia dalam mengakses sumber daya ekonomi yang bisa memperburuk keadaan ekonomi suatu kelompok dan negara. Kita menyadari kalau ekonomi memang didasarkan pada rasionalitas setiap individu. Namun, pada beberapa keadaan, khususnya sebagai upaya untuk menciptakan nilai lebih, sering pula terjadi penyingkiran atau penetapan standar yang cukup rendah atas faktor produksi. Dampaknya adalah para pekerja tidak lagi mendapatkan hak-hak yang sepantasnya mereka dapatkan.
Sekalipun kapitalisme menghendaki minimnya campur tangan negara dalam perekonomian (laissez-faire), hal itu sebenarnya tidak benar-benar bebas dari intervensi negara. Pemerintah tetap berpengaruh dalam mengomandoi perekonomian dan bahkan, dalam banyak keadaan, memberikan porsi keuntungan ekonomi pada oligarki. Pada titik tertentu, kita perlu membuka mata bahwa terdapat prinsip “dimakan atau memakan” di dalam aktivitas ekonomi. Prinsip tersebut tentu saja bertolak belakang dengan konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi kolektif.
Pendekatan ekonomi Marxisme mencoba memberikan solusi untuk mengubah kepercayaan lama seseorang terhadap sistem ekonomi kapitalistik ke sistem yang “mungkin” menjadi jawaban bagi kerasahan banyak orang, utamanya terkait kesenjangan sosial dan kemiskinan. Di dalam dunia ekonomi, selain berhadapan dengan watak egoisme manusia, kita juga mengenal istilah “ketidakpastian”, di mana banyak kondisi yang terjadi di luar dugaan para ekonom. Contohnya adalah krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang membuat semua orang berlomba-lomba untuk menyelamatkan diri dari ancaman krisis.
Jika egoisme ekonomi masih dipertahankan, pihak yang diuntungkan adalah mereka yang dekat dengan penguasa atau memiliki akumulasi kapital yang banyak. Kondisi sebaliknya akan terjadi pada mereka yang hanya memiliki sedikit kapital, bahkan tidak memilikinya sama sekali. Kemalangan demi kemalangan merupakan realitas yang harus dihadapi oleh orang-orang tersebut—yang hanya memiliki tenaga untuk diperjualbelikan di pasar kerja.
Gotong Royong dan Sistem Ekonomi Kolektif
Di Indonesia, kita familiar dengan istilah gotong royong. Mirip dengan filosofi aktivis politik Martin Buber tentang dialog “aku-engkau”, konsep itu mengupas bagian terpenting hubungan antarmanusia yang sejati (organik) dan kerja sama yang saling menguntungkan. Setiap anggota masyarakat dinilai akan saling tolong-menolong untuk mencapai suatu tujuan bersama dan demi meraih kebaikan-kebaikan yang sifatnya substansial.
Sayangnya, itu tidak berlaku bagi kapitalisme. Gotong royong sering dilupakan dan sering dimodifikasi sebagai ajang untuk berlomba-lomba berperan sebagai sosok yang paling dermawan (filantropis). Beberapa kapitalis membangkitkan semangat gotong royong hanya untuk mencapai suatu tujuan pribadi dan menjadikan masyarakat sebagai alat untuk memperoleh kedudukan.
Kita tentu saja tidak membutuhkan hal tersebut. Kita membutuhkan praktik gotong royong yang bersifat organik, dilandasi dorongan kemanusiaan (bukan oportunis), dan berasal dari dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Saya berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dengan sifat oportunis, karena hal ini merupakan sifat mendasar manusia yang mungkin jarang kita sadari. Namun, terasa kurang relevan untuk menerapkan sifat oportunis di tengah upaya untuk mencapai tujuan bersama dan mengorbankan usaha orang lain.
Dengan praktik gotong royong dan kolektivitas kegiatan ekonomi, diikuti dengan adanya komando yang terpusat, diharapkan mampu menciptakan motif ekonomi yang lebih adil dan bisa menguntungkan semua orang. Artinya, kita perlu memastikan supaya sumber daya alam atau alat-alat produksi tidak dikuasai secara individual, melainkan memastikan itu terdistribusi merata dan mampu memenuhi kepentingan masyarakat.
kita perlu memastikan supaya sumber daya alam atau alat-alat produksi tidak dikuasai secara individual, melainkan memastikan itu terdistribusi merata~ Angga Pratama Share on XKeberlimpahan sumber daya ekonomi yang ada dalam sistem ekonomi kapitalisme pada dasarnya cukup untuk memberikan kehidupan kepada orang-orang yang membutuhkan. Penumpukan barang-barang setengah jadi atau jadi yang pada akhirnya terbuang sia-sia merupakan salah satu aspek yang perlu dikritik apabila kita mau beralih ke suatu sistem perekonomian yang lebih kolektif. Dengan mendistribusikan barang-barang tersebut dan mencegah adanya penumpukan barang secara sia-sia, secara tidak langsung, kita telah membentuk mental “kolektif”.
Apalagi, ada banyak sekali komunitas-komunitas kolektif di Indonesia yang, bisa membantu terbentuknya sikap gotong royong yang lebih “organik”. Kesadaran ini didasari oleh suatu prinsip sosial di mana manusia akan saling membutuhkan satu sama lain untuk berproduksi hingga mengonsumsi, sehingga cita-cita kolektif dianggap mungkin untuk diterapkan di masyarakat yang plural.
Bagaimana Memulainya?
Kita perlu melepaskan diri dari watak egois dalam berekonomi, seperti yang terlihat dalam tradisi ekonomi klasik di mana kapitalisme mengandaikan setiap orang dapat menciptakan dunia menjadi tempat yang lebih baik dengan bersikap sangat egois. Bagaimana mungkin manusia yang merupakan makhluk sosial memegang sifat tersebut dan mengesampingkan hak-hak atau kewajiban sosialnya?
Meskipun demikian, sepenuhnya keluar dari sistem kapitalisme adalah suatu hal yang mustahil, tidak masuk akal, dan terkesan munafik. Walau begitu, transisi harus dilakukan secara bertahap, karena ada risiko-risiko yang akan kita hadapi akibat peralihan ekonomi yang belum matang. Sebab ekonomi merupakan suatu keadaan yang sulit diimplementasikan dalam percobaan-percobaan kecil, untuk mengetahui efektivitas suatu sistem atau teori ekonomi baru, kita perlu untuk menerapkannya dengan dukungan politik yang kuat dari negara.
Akan tetapi, kita juga harus memikirkan supaya sistem atau perubahan yang mendadak tersebut tidak menimbulkan kerugian atau bahkan perpecahan di dalam masyarakat. Kita juga dapat memulai peralihan tersebut dengan menyadari hukum “marginal utility” dan “subjective theory of value”. Meskipun kedua konsep itu masih beraroma kapitalistik, keduanya dapat memberikan kita kendali atas diri dan hasrat untuk mengonsumsi komoditas secara berlebihan dan bisa menekan angka konsumerisme.
Artinya, dengan memahami keduanya, setiap dari kita akan berupaya untuk mendapatkan komoditas yang substansial. Beranjak dari situ, kita bisa membuka diri untuk merenungkan kembali tanggung jawab sosial yang terkandung dalam aktivitas pembelian kita, seperti menghindari aktivitas penimbunan dan membentuk kesadaran di lingkungan terdekat (keluarga) agar tidak melulu memikirkan kepentingan individual, tetapi juga kolektif.
Angga Pratama merupakan seorang penulis, pendiri Ruangan Filsafat, dan redaktur di Gudang Perspektif. Ia merupakan penggagas teori atau konsep tentang “Asimetri Filosofis Materialisme Ekonomis” yang tersedia dan dapat dibaca di jurnal Business & Finance Analyst. Tulisannya tersebar di beberapa media, misalnya Omong-omong, Newminds Club, Gudang Perspektif, Zona Nalar, The Columnist, Nalar Politik, LSF Discourse, Arah Juang, dan lain-lain.
Artikel Terkait
Memerangi Maskulinitas Beracun, Tanggung Jawab Siapa?
Memerangi maskulinitas beracun bukan berarti mengutuk laki-laki atau atribut laki-laki, melainkan untuk memerangi dampak berbahaya dari maskulinitas tradisional, seperti dominasi dan persainganMenjadi Admin Akun Psikologi: Bukan Sekadar Berbagi, Tapi Juga Menerima
Di Catatan Pinggir ini, Ayu Yustitia berkisah tentang pengalamannya menjadi admin media sosial Pijar Psikologi. Ayu tersadar bahwa bahwa banyak orang di luar sana yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya. Pengalaman ini mendorong Ayu untuk mendorong kita semua untuk lebih baik kepada diri sendiri dan orang di sekitar kita.Tanya Kenapa
Di usianya yang muda, Putri Hasquita Ardala sudah mengenyam banyak pengalaman tentang pentingnya kesehatan mental. Di Catatan Pinggir ini, Putri mengingatkan kita semua tentang panjangnya jalan menghadapi depresi dan bagaimana kita semua perlu meminta bantuan.