Code Switching Sebagai Solusi Terjemahan Diskriminatif Minoritas Seksual dan Gender
June 4, 2022Berfilsafat: Apa Gunanya?
July 6, 2022
OPINI
Masalah Sosial, Solusinya Apa?
oleh Muhammad Habib Muzaki
Masalah selalu akan berjodoh dengan solusi. Lalu, bagaimana dengan solusi dari beragam masalah sosial yang saling berkaitan dan sering kali melahirkan problem baru? Di tengah banyaknya solusi yang ditawarkan, ada satu hal yang mungkin sering luput dari alam pikiran kita; solusi itu bernama pemberdayaan atau empowerment.
Masalah menyertai segala lini kehidupan kita. Tapi, mari merenungkan masalah yang lebih luas: masalah sosial. Dan, karena ia disebut masalah, tentunya ia akan selalu berjodoh dengan solusi.
Sebagai negara yang cukup luas dan padat penduduk, Indonesia memiliki beragam masalah yang kompleks. Mulai dari kemiskinan, pengangguran, perceraian, dan masih banyak lagi. Kemiskinan misalnya, pada Maret 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan 27,54 juta orang berada di bawah garis kemiskinan hingga kuartal pertama tahun 2021. Tolok ukur penduduk miskin mengacu pada masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan batas pendapatan per kapita Rp 472.525,00 per bulan.
Sebagai negara yang cukup luas dan padat penduduk, Indonesia memiliki beragam masalah yang kompleks. ~Muhammad Habib Muzaki Share on XPerceraian pun tidak bisa diremehkan angkanya. Euis Sunarti, Pakar Ketahanan Keluarga besar Institut Pertanian Bandung, mengatakan bahwa ada 70 juta keluarga yang 20% diantaranya memiliki perempuan sebagai kepala keluarga, 43% tidak sejahtera, 9% miskin, 10% lansia serta memiliki angka perceraian yang tinggi, yaitu sekitar 1.200 per hari atau dengan kata lain, ada 50 perceraian yang terjadi dalam tiap jam. Hal ini juga diakibatkan latar belakang keluarga Indonesia yang tumbuh dalam keragaman agama, suku, adat dan budaya, status sosial, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), status kesehatan (stunting), berbagai zona ekologi, dan sebagainya.
Pembahasan mengenai ruang aman bagi perempuan di Indonesia juga tak kalah mendapat sorotan. Misalnya dalam survei daring pada 2016 oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co serta difasilitasi oleh Change.org, ditemukan bahwa 93% penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum. Hal ini disebabkan oleh lemahnya hukum dan bagaimana masyarakat sosial mendapatkan edukasi tentang etika dan moral.
Masih banyak lagi sebenarnya kejadian-kejadian yang bisa dikategorikan sebagai masalah sosial. Semua kejadian dan fenomena ini akan selalu berkaitan. Misalnya, kesejahteraan ekonomi keluarga berkaitan dengan tingkat pendidikan individu. Pip Jones dalam Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-Modernisme menguraikan begini: Individu dengan kelas sosial maupun kondisi ekonomi di bawah rata-rata, memiliki peluang yang kecil untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tentu berdampak positif: memperluas pengetahuan, melatih mentalitas, sampai networking. Meskipun terkadang tidak terlihat sebagai jaminan agar seseorang menjadi lebih baik, tapi mari kita bayangkan jika akses pendidikan sulit dicapai. Tentunya akan berdampak ke kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang berpotensi memiliki solusi-solusi partisipatif terhadap pembangunan bangsa.
Mengubah suatu kondisi masyarakat untuk melahirkan transformasi sosial adalah visi besar yang sulit diwujudkan, setidaknya jika sendirian. Perlu kerja sama kolektif dari mereka yang terampil. Inilah pentingnya pendidikan jenjang tinggi. Dan, akses pendidikan semacam ini memerlukan privilege. Sehingga, sulit diwujudkan oleh mereka yang kondisi ekonominya menengah ke bawah.
Inilah contoh bagaimana kemiskinan sebagai masalah sosial, memiliki dampak yang signifikan dan melahirkan beberapa problem baru. Tentunya, ia harus diatasi dengan segera. Pertanyaannya adalah bagaimana? Di tengah banyaknya solusi yang ditawarkan, ada satu hal yang mungkin sering luput dari alam pikiran kita; solusi itu bernama pemberdayaan atau empowerment.
Pemberdayaan yaitu kerja sosial yang tujuan utamanya adalah memberdayakan sekelompok masyarakat menuju lebih mandiri dan mampu bertahan hidup di tengah dinamika zaman. Aksi semacam ini lebih efektif ketimbang memberikan bantuan yang sifatnya sekali-dua kali. Bantuan semacam itu bukannya negatif, hanya saja terkadang kurang substansial. Ada sebuah analogi yang menarik tentang ini: Lebih baik mengajarkan anak untuk mencari dan membuat makanan, ketimbang selalu memberi makan. Memberikan pengetahuan untuk bekal kemandirian lebih utama atau kita bisa menyebutnya dengan “menjadi fasilitator bagi masyarakat”.
Memberikan pengetahuan untuk bekal kemandirian lebih utama atau kita bisa menyebutnya dengan “menjadi fasilitator bagi masyarakat”. ~Muhammad Habib Muzaki Share on XKonsep ini mencerminkan paradigma baru dalam pembangunan, yaitu “berpusat pada masyarakat, partisipatif, memberdayakan, dan berkelanjutan”. Konsep ini harus dipandang lebih luas dari sekadar memenuhi kebutuhan dasar atau menyediakan bantuan yang hanya dilakukan satu-dua kali saja. Lewat sini, kita juga berusaha melihat potensi aset masyarakat dan mengubahnya menjadi peluang. Upaya semacam ini mengandung sebuah usaha membangun daya dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi masyarakat dan upaya mengembangkannya.
Kita bisa membuat gambaran sederhananya begini: Suatu desa digali untuk menemukan apa saja aset yang ada di dalamnya. Katakanlah misalnya pertanian, sepak bola, dan wisata. Kita bisa menyosialisasikan teknik-teknik terkini dalam agrikultur modern dan menghadirkan material penunjangnya. Sepak bola sebagai olahraga juga memiliki peluang besar; kita bisa membantu mengusahakan dalam meluaskan penjaringan, pelatihan untuk peningkatan kualitas, sampai mengusahakan infrastrukturnya. Dan terkait wisata, dari proses manajemen sampai strategi marketing bisa diberikan untuk menjadi modal masyarakat setempat.
Di tengah-tengah perjalanan proses itu, bisa juga dimasukkan berbagai pengetahuan untuk membentuk karakter dan mental. Sebuah pengetahuan yang memiliki urgensi namun belum diajarkan di sekolah-sekolah. Hal ini tentunya sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat serta menyesuaikan dengan lokalitas penduduk setempat.
Tapi usaha seperti ini tentu akan memakan waktu, tenaga, dan biaya. Dan, membutuhkan banyak tenaga ahli yang sudah berpengalaman. Atau terkadang, ada yang memiliki modal, tetapi tidak memiliki waktu. Sebaliknya, ada yang memiliki waktu untuk melakukannya, tetapi tidak memiliki modal. Maka dari itu, di sinilah pentingnya mengumpulkan orang-orang dengan kemampuan berbeda, dalam satu arah gerak. Sekumpulan orang inilah yang akan disebut dengan komunitas, organisasi, maupun lembaga. Hal semacam ini diperlukan untuk mencapai tujuan bersama; kita harus menyatukan banyak sumber daya manusia dengan beragam kemampuan yang berbeda.
Sebuah usaha yang kelihatannya mudah. Namun, akan menjadi selamanya sulit ketika tidak diusahakan. Maka, penting bagi pegiat kemanusiaan atau mereka yang peduli dengan hal-hal sosial untuk minimal memasukkan bahasan pemberdayaan ke dalam diskusinya. Mulai dari apa itu pemberdayaan, siapa yang melakukannya, bagaimana sirkulasi keuangannya, bagaimana bentuk evaluasinya, bagaimana agar berkelanjutan, dan sebagainya.
Muhammad Habib Muzaki adalah mahasiswa yang mencoba menekuni filsafat, ilmu sosial, dan jurnalisme.
Dapat dihubungi melalui akun sosial media Instagram: @mordova.my
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini