Maraknya Konten Self-Improvement bisa Mengaburkan Realitas Struktural?
May 17, 2024Kritik untuk Ulil Abshar Abdalla: Menormalisasi Penindasan Menggunakan Sosok Jokowi
May 27, 2024RESENSI BUKU
Bedol Desa dan Kisah Pengorbanan Masyarakat Wonogiri
oleh Ahmad Qori Hadiansyah
Jauh di dalam Waduk Gajah Mungkur, tersimpan sejarah pengorbanan puluhan ribu masyarakat Wonogiri.
Waduk Gajah Mungkur merupakan salah satu ikon Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Tempat penampungan air berkapasitas 735 juta m3 tersebut berfungsi sebagai sumber irigasi lahan-lahan pertanian, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan sumber konsumsi air rumah tangga. Tak hanya itu, Waduk Gajah Mungkur kini juga telah berkembang menjadi salah satu objek pariwisata ternama di Kabupaten Wonogiri.
Kemasyhuran Waduk Gajah Mungkur tidak lepas dari pengorbanan puluhan ribu penduduk Wonogiri. Hal tersebut merupakan narasi utama yang diangkat dalam buku Wonogiri di Bawah Orde Baru: Pembangunan dan Pengorbanan Masyarakat Wonogiri 1974-1984 karya Romdani Nur Sidiq, seorang guru pendidikan sejarah di Indonesia. Waduk yang diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto pada 1981 itu menyimpan kisah di mana terdapat 51 desa dan 7 kecamatan yang ditenggelamkan demi kepentingan pembangunan Waduk Gajah Mungkur.
Transmigrasi sebagai Solusi?
Buku ini terbagi menjadi tiga babak, mulai dari proses pembebasan lahan sebelum pembangunan hingga kondisi ekonomi masyarakat selama dan setelah pembangunan. Perlu diketahui, terpilihnya Kabupaten Wonogiri sebagai lokasi pembangunan waduk tidak lepas dari kondisi geografis wilayah tersebut yang notabene memiliki kondisi tanah yang tandus. Apalagi kalau memasuki musim kemarau, masyarakat yang kebanyakan berprofesi sebagai petani mengalami kesulitan untuk menemukan sumber mata air untuk irigasi.
Memperhitungkan kondisi di atas, pemerintah Orde Baru, dengan dukungan dana dari pemerintah Jepang, menjadikan pembangunan waduk di Wonogiri sebagai proyek prioritas. Waduk Gajah Mungkur pun masuk ke dalam program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II (1974-1979). Untuk merealisasikan proyek pembangunan tersebut, pemerintah harus membayarnya dengan harga yang mahal: mengobarkan nasib dan penghidupan masyarakat lokal dengan merelokasi 12.525 Kepala Keluarga (KK) atau 68.750 jiwa. Proses pembebasan lahan inilah yang menjadi bagian menarik dalam buku karya Romdani Nur Sidiq ini.
Pemerintah Orde Baru menawarkan program transmigrasi kepada masyarakat yang terdampak pembangunan. Program transmigrasi tersebut dikenal dengan istilah bedol desa yang berarti pemindahan penduduk desa secara massal atau pemindahan hampir seluruh warga desa ke wilayah lain karena suatu hal tertentu. Praktis, program tersebut dianggap sukses dengan berhasil dipindahkannya 10.350 KK dari total 12.525 KK yang ada. Mereka yang terdampak pembangunan Waduk Gajah Mungkur dipindahkan ke beberapa wilayah di Pulau Sumatera, yakni Kabupaten Sitiung di Sumatera Barat, Kabupaten Baturaja di Sumatera Selatan, Kabupaten Jujuhan di Jambi, dan Kabupaten Kurotidur di Bengkulu.
Meskipun menuai ‘keberhasilan’, proses pembebasan lahan di area pembangunan Waduk Gajah Mungkur sempat menemui berbagai masalah. Romdani mencatat sempat terjadi penolakan dari sebagian warga. Alasannya, daerah tujuan relokasi yang disediakan oleh pemerintah merupakan daerah liar yang memerlukan waktu lama untuk menggarapnya. Puncak dari penolakan tersebut terjadi pada 1980 ketika sebanyak 1.850 KK menolak untuk direlokasi dan memilih untuk tenggelam di dalam Waduk Gajah Mungkur. Namun, gerakan-gerakan penolakan tersebut dengan mudah dapat diredam oleh pemerintah Orde Baru melalui negosiasi bersama masyarakat.
Perlu dicatat bahwa negosiasi bukanlah faktor utama yang membuat masyarakat menerima relokasi dari pemerintah. Romdani secara kritis menemukan unsur kekerasan yang dilakukan oleh aparatur negara. Kekerasan yang dimaksud adalah pemerintah secara sengaja membangun rasa “takut” dan “khawatir” di benak masyarakat. Itulah yang menjadi faktor kunci dari mulusnya program bedol desa, sebagaimana diungkapkan oleh salah satu penduduk, “Orang desa dulu ditakut-takutin aja udah takut, jadi tidak ada konflik waktu bedol desa dulu.”
Analisis Romdani Nur Sidiq terkait unsur kekerasan dalam program bedol desa sangat penting. Temuan tersebut sekaligus menempatkan buku Wonogiri di Bawah Orde Baru sebagai karya yang relevan dengan kondisi saat ini. Sebab, tren pembangunan dengan mengorbankan kepentingan masyarakat masih masif terjadi. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebanyak 105 konflik agraria yang terjadi sepanjang 2020-2023 merupakan dampak dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
Keluasan Fungsi dan Watak Represif
Selain ditandai dengan proses relokasi lewat program transmigrasi, pembangunan Waduk Gajah Mungkur juga turut menghasilkan sejumlah implikasi. Salah satu implikasi yang terpenting adalah terjadinya diversifikasi lapangan pekerjaan di Wonogiri. Masyarakat Wonogiri yang semula hanya menggantungkan hidup pada sektor pertanian kini mulai menemukan alternatif-alternatif sumber pencaharian baru, seperti di sektor perikanan dan pariwisata. Kehadiran Dinas Perikanan sebagai lembaga yang berperan penting dalam membimbing masyarakat Wonogiri dalam mengelola industri perikanan berkontribusi membuat masyarakat menekuni profesi sebagai nelayan.
Sementara itu, dibukanya Waduk Gajah Mungkur sebagai salah satu destinasi wisata juga memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk mengembangkan usaha. Ini tentunya membawa dampak positif terhadap kemandirian ekonomi masyarakat. Pengembangan sektor pariwisata pun turut andil dalam memperkenalkan beragam kekhasan Kabupaten Wonogiri, seperti makanan, kerajinan tangan, dan kebudayaan.
Buku ini memberikan dua catatan penting. Pertama, watak represif selalu dipelihara dalam proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Pendekatan dengan menggunakan kekuatan aparatur negara untuk memaksa masyarakat menerima gagasan pembangunan perlu untuk dievaluasi. Pemerintah, dalam melaksanakan program pembangunan, harus menitikberatkan pada kepentingan dan kemaslahatan masyarakat. Hal itu dapat dilakukan hanya dengan pendekatan humanis yang berbasis pada dialog.
Pendekatan dengan menggunakan kekuatan aparatur negara untuk memaksa masyarakat menerima gagasan pembangunan perlu untuk dievaluasi ~ Ahmad Qori Hadiansyah Share on XKedua, di samping bermanfaat terhadap irigasi pertanian, Waduk Gajah Mungkur juga turut berperan bagi terbukanya lapangan pekerjaan baru di Wonogiri. Ini menunjukkan betapa Waduk Gajah Mungkur memiliki keluasan fungsi. Tercatat, selain bidang perikanan dan sektor pariwisata, Waduk Gajah Mungkur turut juga dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Sayangnya, buku ini tidak menyajikan data yang komprehensif terkait kesaksian masyarakat atas represifitas selama proses bedol desa berlangsung. Padahal, aspek ini sangat penting dan menarik untuk memperkuat bukti bahwa di balik proyek pembangunan yang digagas pemerintah selalu terpelihara aksi kekerasan.
Terlepas dari kekurangannya, buku Wonogiri di Bawah Orde Baru: Pembangunan dan Pengorbanan Masyarakat Wonogiri 1974-1984 ini masih layak dibaca oleh para peminat sejarah lokal Indonesia. Karya Romdani tidak hanya mengisahkan sejarah pembangunan Waduk Gajah Mungkur, melainkan juga menggali fakta-fakta alternatif yang tenggelam di tengah kedigdayaan Orde Baru. Karya ini menampilkan kajian sejarah yang holistik dengan melibatkan aspek geografis, sosiologis, dan ekonomi sebagai pisau analisis.
Ahmad Qori Hadiansyah merupakan mahasiswa tingkat akhir Pendidikan Sosiologi UNJ dan aktif di komunitas Taman Pembelajar Rawamangun. Ia memiliki minat di bidang kependidikan, sosiologi, dan sejarah.
Artikel Terkait
Memahami Krisis Lingkungan dari Lensa Feminist Political Ecology
Lensa FPE bisa menjadi jendela dan jembatan yang dapat kita gunakan untuk melihat persoalan lingkungan secara lebih kompleks dan tidak sederhana dengan menempatkan gender sebagai sumbu kritis dan variable politis.Pembangunan dan Penanggulangan Bencana
Widya Setiabudi sudah lama bekerja di bidang humanitarian dan kebencanaan. Di Catatan Pinggir ini, Widya menuliskan pentingnya pembangunan yang layak dan pengelolaan risiko bencana atas dampak dari pembangunan itu sendiri.Kapitalisme dan Kerusakan Lingkungan: Ironi Pembangunan yang Berkelanjutan
Kapitalisme disebut sebagai alasan besar rusaknya lingkungan. Artikel ini membahas apa yang sebetulnya terjadi dalam sistem yang dianggap mendorong produktivitas dan pertumbuhan tersebut. Bisakah kita punya ekonomi yang maju tanpa mengorbankan bumi?