Konsep Mini
1. Representasi
Bagaimana individu, kelompok, identitas, atau konsep digambarkan dan dipahami dalam praktik-praktik budaya, politik, dan diskursus masyarakat, sehubungan dengan makna sosial dikonstruksi, dinegosiasikan, dan disebarkan, membentuk bagaimana orang memandang dan mengalami dunia di sekitar mereka.
2. Minoritas Seksual
Kelompok individu dengan orientasi seksual, identitas gender, atau ekspresi gender yang berbeda dari mayoritas atau norma yang dominan dalam masyarakat.
3. Queercoding
Upaya media menyiratkan karakter sebagai bagian dari kelompok minoritas seksual, tanpa secara eksplisit menyatakan orientasi seksual atau identitas gender mereka.
4. Queerbaiting
Taktik yang digunakan oleh media denggambaran kelompok minoritas seksual yang dilakukan hanya untuk menarik penonton.
Ilustrasi di atas menggambarkan apa yang disebut representasi media. Secara sederhana, representasi media dapat dimaknai sebagai gambaran realitas yang ditampilkan lewat media. Media yang dimaksud dapat berupa buku, koran, radio, televisi, dan baru-baru ini, internet.
Perlu digarisbawahi bahwa media tidak mampu menampilkan keseluruhan realitas secara sekaligus. Hal ini dikarenakan terbatasnya ruang (seperti halaman pada majalah) dan waktu (seperti durasi program televisi). Karena itu, media harus menyeleksi dan hanya menampilkan peristiwa atau individu yang dianggap cukup mewakili realitas yang ada. Representasi media inilah yang menjadi perantara kita untuk “mengalami” realitas. Oleh sebab itu, penting bagi media untuk menyajikan representasi dunia dengan seakurat mungkin.
Representasi tidak hanya bicara soal frekuensi munculnya kelompok minoritas di media. Kalaupun kelompok minoritas tersebut ditampilkan, peran seperti apakah yang mereka bawa? ~ Rio Tuasikal Share on XArtinya, media juga bertanggung jawab dalam menampilkan representasi setiap anggota masyarakat, khususnya kelompok minoritas, dengan baik. Jika media tidak mampu menampilkan representasi yang akurat, maka akan terjadi misrepresentasi. Misrepresentasi ini berbahaya karena informasi yang disebarkan bersifat keliru, tidak menyeluruh, atau menyesatkan. Akibatnya, orang bisa memiliki asumsi yang salah. Asumsi ini lalu bisa membuatnya bertindak dalam merespon dunia atau masyarakat di sekitarnya dengan salah pula.
Lalu, bagaimana cara merepresentasikan kelompok minoritas? Menurut Profesor Cedric Clark dari San Francisco State University, ada empat tahap representasi kelompok minoritas yang dilakukan oleh media. Pertama, non-representation, dimana kelompok minoritas tersebut tidak muncul sama sekali dalam media. Kedua, ridicule, dimana kelompok minoritas tersebut hanya muncul sebagai bahan olok-olok. Ketiga, regulation yang artinya kelompok minoritas muncul dengan peran yang terbatas, disesuaikan dengan stereotip di masyarakat. Keempat, respect, dimana kelompok minoritas muncul melampaui stereotip dan tidak diperlakukan berbeda dari kelompok mayoritas.
Berdasarkan pemahaman tersebut, kita dapat menilai representasi kelompok minoritas seksual yang dilakukan oleh media. Menggunakan kerangka 4 tahap dari Clark, kita dapat melihat bahwa tahap pertama (non-representation) sudah berhasil dilewati. Artinya, media sudah mulai memberikan ruang kepada kelompok minoritas seksual untuk tampil. Hal ini tentunya merupakan buah dari proses panjang dalam 50 tahun terakhir, yang mengalami kemajuan signifikan terutama sejak 2001.
Sebuah studi dari GLAAD (Gay and Lesbian Alliance Against Defamation atau Aliansi Gay dan Lesbian Melawan Pencemaran Nama Baik) di Amerika Serikat mendokumentasikan bahwa pada 2019-2020, dari 879 karakter yang muncul dalam acara primetime (tayang di jam tayang utama) televisi, ada 90 karakter (10,2%) yang merupakan bagian dari kelompok minoritas seksual. Ini adalah persentase tertinggi yang terekam sejak studi ini dimulai 15 tahun yang lalu. Namun, angka ini masih cukup jauh jika dibandingkan dengan jumlah kelompok minoritas seksual di AS, yang diperkirakan sekitar 20% dari total populasi.
Namun, representasi tidak hanya bicara soal frekuensi munculnya kelompok minoritas di media. Kalaupun kelompok minoritas tersebut ditampilkan, peran seperti apakah yang mereka bawa? Di sinilah kita masuk ke tahap kedua (ridicule) dan ketiga (regulation). Sebuah studi di AS menemukan bahwa masih banyak representasi karakter gay, lesbian, dan biseksual di televisi yang muncul sebagai bahan bercandaan ataupun pemegang peran stereotip. Bahkan, beberapa karakter muncul sebagai individu mata keranjang.
Penggambaran ini tentu memperkuat stigma mengenai kelompok minoritas seksual yang sudah ada di masyarakat. Kabar baiknya, studi ini juga mencatat bahwa ada beberapa karakter kelompok minoritas seksual yang ditampilkan memiliki kehidupan selayaknya individu heteroseksual. Meski begitu, studi ini menyimpulkan bahwa representasi kelompok minoritas seksual oleh media belum bisa dikatakan mencapai tahap keempat (respect).
Nyatanya, representasi kelompok minoritas seksual tidak terbatas pada empat tahap di atas saja. Ada banyak proses representasi yang terjadi secara samar, tidak terlihat, dan tersembunyi. Di bawah ini, kita akan membahas queer-coding dan queerbaiting.
Queer-coding dapat dimaknai sebagai upaya media menyiratkan karakter sebagai bagian dari kelompok minoritas seksual. Hal ini biasanya dilakukan dengan menyematkan karakteristik atau perilaku tertentu yang berkaitan dengan identitas kelompok minoritas seksual. Misalnya, pemberian pakaian dengan warna pelangi kepada karakter film animasi. Dengan begitu, masyarakat dapat mengasumsikan bahwa karakter tersebut merupakan bagian dari kelompok minoritas seksual.
Sayangnya, queer-coding kerap dilakukan kepada karakter-karakter dengan sifat negatif. Sebuah dokumenter bertajuk “Disclosure” menunjukkan bagaimana industri film Hollywood memberikan peran penipu, penjahat, atau sumber masalah kepada karakter-karakter transpuan dan transpria. Film-film Hollywood ini jarang menampilkan sosok trans yang berperan sebagai pahlawan atau setidaknya memiliki kehidupan seperti orang kebanyakan. Akibatnya, sosok trans menjadi lekat dengan label-label negatif tersebut.
Hal ini didukung oleh sebuah analisis terhadap tokoh-tokoh penjahat dalam kartun anak. Analisis tersebut menemukan adanya karakteristik queer (sebutan lain untuk kelompok minoritas seksual) yang disisipkan pada dua tokoh penjahat, yakni Hades (Hercules produksi Disney) dan Him (The Powerpuff Girls produksi Nickelodeon). Dua karakter ini digambarkan sebagai laki-laki yang memiliki sifat feminin dan mengenakan pakaian perempuan. Penggambaran ini memperkuat stigma bahwa kelompok minoritas seksual adalah penjahat.
Sementara itu, queerbaiting dapat diartikan sebagai penggambaran kelompok minoritas seksual yang dilakukan hanya untuk menarik penonton. Hal ini biasanya dilakukan dengan menampilkan karakter heteroseksual yang seolah-olah memiliki hubungan romantis dengan sesama jenis. Misalnyam seperti yang sempat dilakukan pada tokoh Betty dan Veronica dalam Riverdale. Selain itu, queerbait juga bisa dilakukan dengan mengumumkan bahwa satu karakter adalah bagian dari kelompok minoritas seksual. Hal ini terjadi pada tokoh Dumbledore dalam seri Harry Potter.
Tentunya, praktik ini tidak lepas dari masalah. Sebuah studi menunjukkan bahwa queerbaiting adalah janji palsu representasi. Dalam penerapannya, queerbait menggunakan karakter minoritas seksual untuk menarik penonton yang mengharapkan kisah dengan akhir bahagia. Namun, harapan itu kandas karena karakter-karakter ini hampir selalu berakhir tewas atau meninggal dunia. Dalam dunia pertelevisian, praktik ini dikenal sebagai ‘bury your gays (kuburkan para gay)’ atau ‘dead lesbian syndrome (sindrom lesbian mati)’.
Lalu, bagaimana dengan kondisi di tanah air? Nampaknya, belum ada studi komprehensif yang merekam jumlah dan kualitas representasi kelompok minoritas seksual di televisi Indonesia. Namun, saya akan gambarkan pergeseran representasi kelompok minoritas seksual dalam 3 dekade terakhir.
Pada tahun 1990-an, kita dapat menyaksikan sosok pelawak Tessy Srimulat yang kerap tampil sebagai sosok transpuan. Sementara, pada tahun 2000-an, ada pembawa acara Dorce Gamalama dan pelawak Aming yang menghibur pemirsa. Tak lama, ada Olga Syahputra yang juga populer dengan ekspresi femininnya. Barulah pada 2010-an, ada Dena Rachman, Lucinta Luna, dan Millen Cyrus yang turut mewarnai media massa. Melihat peran individu-individu tersebut, bisa dikatakan bahwa sebagian besar representasi di Indonesia baru mencapai tahap kedua (ridicule) dan ketiga (regulation). Meski begitu, dalam pandangan saya, peran Dorce Gamalama telah mencapai tahap keempat (respect).
Seiring dengan meningkatnya kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual, representasi di media, khususnya pada program berita, juga memburuk. ~ Rio Tuasikal Share on XSelain di televisi, karakter queer juga muncul dalam sejumlah film layar lebar. Film-film yang menampilkan karakter ini antara lain Arisan (2003), Realita Cinta dan Rock N Roll (2006), dan Coklat Stroberi (2007). Karakter-karakter lain juga menyusul antara lain dalam Madame X (2010), Sanubari Jakarta (2012), Selamat Pagi, Malam (2014), dan Kucumbu Tubuh Indahku (2019). Menurut saya, karakter-karakter queer di film layar lebar pada umumnya bisa mencapai tahap keempat (respect) representasi.
Sayangnya, representasi kelompok minoritas seksual masih harus menghadapi banyak tantangan. Seiring dengan meningkatnya kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual, representasi di media, khususnya pada program berita, juga memburuk. Sebuah studi pemetaan menunjukkan bahwa pemberitaan terkait kelompok minoritas seksual pada Juli-Agustus 2015 didominasi oleh topik kekerasan (20,33%) dan kriminalitas (13,82%). Bahkan, pada 2016, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sempat melarang televisi dan radio menyiarkan karakter dari minoritas seksual.
Sebuah studi lainnya juga merekam bahwa pada 2016-2018, media di Indonesia justru menyuarakan berbagai ujaran kebencian terhadap kelompok-kelompok minoritas seksual. Sayangnya, kecenderungan ini nampaknya masih berlanjut. Contohnya, pada 2019, saat memberitakan kasus narkoba Lucinta Luna, media malah banyak berfokus pada identitas seksualnya. Pada 2020, laporan dari Remotivi juga menyimpulkan bahwa kelompok minoritas masih jadi bulan-bulanan media.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita lihat bahwa media belum melakukan tugasnya dalam menampilkan representasi kelompok minoritas seksual secara akurat dan terhormat. Di Amerika Serikat, meski jumlah representasi meningkat, kelompok minoritas masih digambarkan hanya sebagai bahan olok-olok atau terjebak stereotip. Sementara, di Indonesia sendiri, meski kelompok minoritas sudah muncul dalam panggung hiburan, pemberitaan terbaru justru menunjukkan perkembangan yang memburuk. Karena itu, dapat dikatakan bahwa representasi kelompok minoritas di media masih harus diperbaiki untuk memenuhi standar ideal.
Stuart Hall, Jessica Evans, and Sean Nixon. 2013. Representation. Second Edition. London: SAGE Cedric Clark (Syed M. Khatib). 1969. Television and social controls: Some observation of the portrayal of ethnic minorities. In: Television Quarterly, 9(2), 18-22. Accessed via: https://worldradiohistory.com/Archive-Television-Quarterly/TVQ-1969-Spring.pdf Kim, Koeun. 2017. Queer-coded Villains (And Why You Should Care). In: DIALOGUES@RU. New Jersey: Rutgers University. Accessed via: https://dialogues.rutgers.edu/images/Journals_PDF/2017-18-dialogues-web_e6db3.pdf Michael McDermott. 2020. The (broken) promise of queerbaiting: Happiness and futurity in politics of queer representation. In: International Journal of Cultural Studies 1–16 doi: 10.1177/1367877920984170 Dina Listiorini, Donna Asteria, Billy Sarwono. 2019. Moral panics on LGBT issues: evidence from indonesian TV programme. In: Jurnal Studi Komunikasi. Accessed via: https://ejournal.unitomo.ac.id/index.php/jsk/article/view/1882 |
Rio Tuasikal tengah menyelesaikan studi MA Media and Communications di Goldsmiths, University of London, Inggris. Sebelumnya dia bekerja sebagai jurnalis selama 6 tahun bagi Kantor Berita Radio (KBR) dan Voice of America (VOA), meliput dari Indonesia dan Amerika Serikat. Sebagai pewarta, dia fokus memberitakan isu-isu kelompok minoritas, kesenjangan, dan hak asasi manusia.
© 2024 Anotasi. Dibuat dengan hati dan puluhan gelas kopi.
Adding {{itemName}} to cart
Added {{itemName}} to cart