Menilik Bayangan dan Jejak Buruh
July 4, 2020Privilege Lulusan S1 di Dunia Kerja
July 13, 2020OPINI
Melihat Kota dalam Gelembung Kenormalan Baru
oleh Faisal Irfani
Zubaidah terlihat sibuk menata barang dagangannya, berbagai makanan ringan serta beraneka ragam minuman kemasan. Tangannya lincah mengambil dan kemudian meletakkan dagangannya tersebut ke dalam gerobak yang berukuran cukup kecil. Hari itu, awal Juni, menjadi kesempatan pertamanya untuk kembali berdagang setelah hampir tiga bulan mendekam diri di rumah akibat pandemi.
“Akhirnya bisa jualan lagi. Sedih saya, bang, ketika mesti di rumah terus,” kata perempuan berusia 50 tahun ini kepada saya. “Pemasukan enggak ada, sementara saya mesti memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.”
Nyatanya Zubaidah tidak sendirian. Di halaman depan Stasiun Jakarta Kota, saya melihat banyak pedagang kaki lima (PKL) yang sudah kembali turun ke jalan demi mendapatkan penghasilan. Rata-rata mereka sama seperti Zubaidah: berjualan makanan ringan dan minuman kemasan, walaupun ada satu-dua yang menyajikan kuliner macam gado-gado sampai soto Betawi.
Pemandangan ini sebetulnya menjadi hal lumrah bila situasinya tak gawat seperti sekarang, ketika pandemi Covid-19 tengah menyerang dunia, tak terkecuali di Indonesia. Keputusan Zubaidah untuk berdagang bisa dibilang tergolong berani dan berisiko. Pasalnya, pandemi Covid-19 di Indonesia—begitu pula di negara lainnya—belum 100 persen lenyap.
Akan tetapi, Zubaidah mengaku tidak bisa berdiam diri lebih lama lagi. Tidak bisa tidak, dia harus berdagang agar dapat bertahan hidup. Terlebih, bantuan sosial yang dijanjikan pemerintah tidak sepenuhnya dia peroleh.
“Kalau enggak berdagang, saya mungkin enggak bisa makan besok,” tegasnya.
***
Jalanan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, siang itu tampak lengang. Tidak cukup banyak motor atau mobil yang berseliweran sebagaimana hari-hari biasanya. Meski demikian, situasinya berubah ketika saya tiba di Pasar Tanah Abang. Orang-orang sibuk berlalu lalang membawa barang dagangan.
“Baru hari ini ramai. Sebelumnya sepi,” ungkap Rudi, pedagang baju berusia 38 tahun, sembari mencatat pembukuan di depan mobil boks miliknya.
Selama pandemi berlangsung, Rudi terpaksa harus gigit jari lantaran pasar tempat dia mengais rezeki berhenti beroperasi setelah kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditujukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus diterapkan pemerintah. Penutupan Pasar Tanah Abang membuat pemasukannya menurun drastis.
“Hampir 90 persen [pendapatan hilang],” katanya dengan nada getir. “Terpaksa harus menyesuaikan kondisi saat ini seperti dengan memotong gaji pegawai.” Alternatif pemasukan bukannya tidak ada. Dalam beberapa bulan terakhir, Rudi mencoba memaksimalkan penjualan daring. Namun, Rudi bilang, “hasilnya tidak sebesar penjualan offline.”
“Paling cuma bisa nutup nggak lebih dari 50 persen. Tapi, ya, mau gimana lagi, kan? Seenggaknya ada pemasukan,” terang pedagang yang berada di Tanah Abang sejak 15 tahun silam ini kepada saya.
Faktor ekonomi menjadi pertimbangan utama baik bagi Rudi, Zubaidah, maupun pedagang lain yang saya jumpai di sekitar kawasan Kota Tua dan Tanah Abang untuk kembali memulai kegiatannya. Pandemi Covid-19 yang berlangsung dalam tiga bulan terakhir membikin pendapatan mereka kolaps sebab aktivitas perekonomian serta rutinitas masyarakat terpaksa berhenti sementara. Ketika virus masih menyebar, mereka diminta tetap di rumah supaya terhindar dari penularan—atau justru jadi pihak yang menularkan.
Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat semakin susah menahan diri untuk tidak beraktivitas lagi karena kondisi dapur yang kian sulit diajak berkompromi. Situasi bertambah pelik ketika bantuan dari pemerintah, yang wajahnya dapat dilihat lewat insentif pajak untuk pengusaha, pemberian langsung dan tunai, sembako, sampai kartu prakerja, rupanya tidak mampu menjamin masa depan. Entah jumlahnya yang tidak proporsional, atau malah tidak tepat sasaran.
Keinginan masyarakat untuk kembali bekerja dan berdagang pun seolah mendapatkan legitimasi kala pemerintah, pada awal Mei lalu, mengeluarkan wacana agar “Indonesia hidup berdampingan dengan Corona.” Keinginan ini lantas diterjemahkan menjadi relaksasi kebijakan PSBB demi mengakomodasi apa yang sering disebut sebagai “kenormalan baru” (new normal).
Setidaknya ada dua faktor yang mendorong pemerintah mencetuskan rencana new normal. Pertama, vaksin untuk menanggulangi Covid-19 belum ditemukan sampai sekarang dan diprediksi paling lambat baru muncul pada tahun depan. Kedua, perekonomian yang porak poranda: melambatnya angka pertumbuhan sampai meningkatnya pengangguran akibat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di mana-mana.
Sejauh ini, sudah ada 4 provinsi—salah satunya DKI Jakarta—serta 25 kabupaten atau kota yang mempersiapkan diri menyambut new normal. Presiden Joko Widodo menjelaskan bahwa new normal wajib dibarengi dengan implementasi protokol kesehatan yang ketat, seperti imbauan cuci tangan, penggunaan masker, hingga menjaga jarak dan menghindari kerumunan.
“Saya minta protokol beradaptasi dengan tatanan normal baru ini yang sudah disiapkan oleh Kementerian Kesehatan ini disosialisasikan secara masif kepada masyarakat,” ujar presiden asal Solo ini.
Di DKI Jakarta sendiri, persiapan menuju new normal telah dilakukan, meskipun kebijakan PSBB diperpanjang sampai akhir Juni. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengungkapkan bahwa perpanjangan PSBB kali ini dipakai sebagai masa transisi. Artinya, penerapan PSBB bakal tak sekaku masa-masa sebelumnya. Sektor yang sempat dilarang beroperasi, seperti kantor, taman, ruang publik, sampai tempat ibadah kini diperbolehkan untuk dibuka secara bertahap dan tetap diharuskan mengikuti aturan main protokol kesehatan.
“Prinsipnya ini adalah sektor-sektor yang mulai dibuka pada masa transisi, tapi lagi-lagi [dibatasi] 50 persen kapasitasnya dan jarak aman dijaga,” jelasnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan setidaknya enam syarat kepada negara yang hendak menjalani kehidupan new normal. Pertama, negara harus memastikan bahwa penyebaran sekaligus penularan virus sudah dapat dikendalikan. Kedua, sistem kesehatan negara bersangkutan dapat menjalankan fungsi deteksi, pengujian, hingga pengobatan yang berkaitan dengan Covid-19 secara baik.
Sementara syarat ketiga ialah negara diwajibkan bisa meminimalisir risiko penularan wabah. Keempat, negara wajib memberlakukan upaya preventif di tempat-tempat umum seperti sekolah dan perkantoran. Kelima, negara harus tanggap dengan kemungkinan adanya kasus dari luar (imported case). Dan terakhir, negara mesti melibatkan serta memberdayakan peran masyarakat dalam beradaptasi dengan new normal.
Sekretaris Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mewanti-wanti bahwa setiap negara wajib merespons keberadaan Covid-19 dengan serius mengingat karakter virus ini belum dikenali secara utuh, sepuluh kali lipat lebih mematikan ketimbang pandemi flu pada 2009, serta mudah menyebar di lingkungan yang padat penduduk. Tedros juga menambahkan keputusan negara untuk menyudahi masa karantina tidak serta merta berarti Covid-19 hilang.
Sekarang yang jadi pertanyaannya adalah bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintah telah memenuhi kualifikasi yang ditetapkan WHO dalam rangka mempersiapkan new normal?
Sayangnya, bila melihat statistik yang ada, jawabannya tidak. Kasus positif Covid-19 di Indonesia, bisa dibilang, masih fluktuatif: kadang naik, kadang turun. Bahkan, Indonesia sempat mencatat rekor jumlah kasus positif Covid-19 tertinggi pada akhir Mei kemarin dengan angka hampir seribu orang per hari.
Sampai 5 Juni 2020, terdapat 29.521 orang yang terpapar Corona, dengan 9.443 di antaranya dinyatakan sembuh, 1.770 meninggal, dan 18.308 masih dirawat. Jumlah tersebut tersebar di 34 provinsi serta 420 kabupaten atau kota di seluruh Indonesia. Sedangkan di Jakarta, total, ada 7.684 pasien, dengan sebanyak 2.751 dinyatakan sembuh dan 532 meninggal.
Itu baru dari segi perkembangan kasus yang tercatat. Dari aspek tingkat penularan virus, atau sering disebut reproduction rate (R0), Indonesia masih belum mencapai standar yang ditetapkan WHO untuk pemberlakuan new normal. Menurut WHO, tingkat R0 negara harus di bawah 1 bila ingin menuju new normal.
Hitung-hitungan R0 di atas 1 berarti bahwa wabah diperkirakan bakal tumbuh secara signifikan. Kemudian ketika R0 di bawah 1, tandanya wabah di wilayah tertentu diprediksi berkurang. Pemerintah, dengan mengandalkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengklaim angka R0 di beberapa daerah sudah turun di bawah 1 sehingga wacana new normal dapat segera diterapkan. Akan tetapi, oleh epidemolog, tingkat penularan virus Covid-19 di Indonesia disebut masih berada di atas 1.
Data-data di atas, sebetulnya, memperlihatkan dengan jelas bahwa rencana new normal belum ideal untuk diterapkan. Rencana membuka kembali keran kegiatan serta perekonomian yang digaungkan pemerintah telah memantik kritik dari kalangan ilmuwan, akademisi, sampai aktivis. Mereka menilai rencana pemberlakuan new normal merupakan keputusan yang terburu-buru lagi gegabah.
Alasannya sederhana: kurva kasus di Indonesia belum melandai dan kapasitas pengujian Covid-19 masih jauh dari maksimal. Ketakutan terbesarnya yakni pemberlakuan new normal hanya akan menambah jumlah pasien positif, yang nantinya berdampak buruk pada sistem kesehatan yang dimiliki Indonesia.
Namun, apabila melihat gelagat pemerintah dalam beberapa waktu belakangan yang begitu getol mempersiapkan tatanan kehidupan baru di masa pandemi, kritik yang dialamatkan, kiranya, tak lebih dari angin lalu.
***
Perasaan aneh mengiringi saya saat menyaksikan kehidupan masyarakat kota di masa jelang new normal. Hal ini sudah muncul tatkala saya berada di fasilitas publik macam halte Trans Jakarta.
Tak seperti biasanya, penumpang yang ingin menaiki bus harus lebih dulu melewati pengecekan suhu tubuh. Para petugas yang berjaga pun meminta orang-orang agar senantiasa memakai masker. Selain itu, demi mengurangi kontak fisik, pembayaran tunai juga dihilangkan.
Ketika memasuki bus, kondisi tak banyak berubah. Kapasitas penumpang tidak boleh lebih dari 50 persen. Implementasinya: tidak ada lagi penumpang yang saling berdempet, baik itu di bangku tempat duduk maupun di ruas-ruas yang tersedia.
“Ini perintah dari pusat, mas,” terang Ardi, petugas Trans Jakarta yang berada di Halte Sarinah, kepada saya. “Suka enggak suka, demi menanggulangi Corona, kami [dari Trans Jakarta] harus bertindak seperti ini.”
Pemandangan serupa terdapat pula di stasiun. Kebijakan pengecekan suhu tubuh, imbauan jaga jarak, sampai penyemprotan cairan disinfektan secara rutin dilakukan para petugas. Sempat beberapa kali saya menyaksikan petugas menegur calon penumpang yang kedapatan tidak memakai masker.
“Pak, mohon maskernya dipakai,” demikian kata seorang petugas di Stasiun Jakarta Kota yang menggunakan face shield kepada calon penumpang yang ‘nakal’ tersebut.
Bisakah kita berdamai setelah melihat fakta bahwa kasus positif Covid-19 di Indonesia masih belum memperlihatkan tanda-tanda bakal mereda? ~ Faisal Irfani Share on XJelang pemberlakuan new normal, ruang-ruang publik, tidak bisa dipungkiri, diselimuti nuansa was-was, insecure, bahkan ketakutan. Setiap orang seperti tak leluasa bergerak dan menaruh curiga terhadap orang lain yang berada di sekelilingnya.
“Jujur aku agak parno juga. Contohnya aja kalau ada suara [orang] batuk di dekatku, aku langsung yang ngelihat dengan gelisah gitu. Takut kena [droplet],” ujar Vina, karyawan di salah satu perusahaan keuangan, ketika ditemui di Halte Sarinah.
Rasa takut, sudah pasti, akan terus mengiringi. Tapi, bagi Vina, kuncinya adalah bagaimana berusaha menyesuaikan diri di kondisi yang serba baru semacam ini. Itu artinya, “Kita harus terus pakai masker, siapkan hand sanitizer, dan jangan terlalu dekat sama orang,” terangnya.
Pandemi telah membuat banyak aspek dalam kehidupan kita berubah, dan slogan new normal jadi salah satu cara untuk berdamai dengan perubahan tersebut. Yang jadi persoalan: bisakah kita berdamai setelah melihat fakta bahwa kasus positif Covid-19 di Indonesia masih belum memperlihatkan tanda-tanda bakal mereda?
Faisal Irfani sehari-hari bekerja sebagai jurnalis. Sempat menimba pengalaman di Tirto.id selama dua setengah tahun dan sekarang lebih banyak menggarap laporan untuk VICE Indonesia. Tidak suka senja, kopi, atau musik indie.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini