Menghidupkan Kembali Seni Lokal Kotagede
May 28, 2021Desainer Masa Depan: Apa Itu Speculative Design?
June 21, 2021OPINI
Membentuk Klub Buku, Membangun Ruang Diskusi Inklusif
oleh Hestia Istiviani
Siapakah yang sebenarnya bisa membentuk klub buku? Apakah klub buku hanya boleh dinikmati oleh kaum intelektual dari kelas tertentu?
Dua pertanyaan itu sempat terpikir oleh saya ketika mengetahui keraguan teman-teman pembaca untuk membuat klub buku. Jangankan membuat, untuk sekadar bergabung pun mereka sudah diliputi keraguan. Ada yang mengatakan bahwa kesan yang diberikan oleh klub buku selalu serius, apalagi kalau moderator dan narasumbernya adalah orang-orang yang yang berasal dari kaum terpandang atau mereka yang namanya sering dibicarakan di medsos. Bagi sebagian orang, hal ini bisa membuat minder duluan.
Ruang Publik dan Kaitannya dengan Klub Buku
Menurut Jurgen Habermas, setiap individu memiliki peran yang sama dalam membentuk ruang publik (public sphere). Dengan kata lain, setiap orang berhak membentuk “ruang publik”nya sendiri, termasuk klub buku. Bahkan, mereka yang merasa dirinya tidak termasuk ke dalam golongan “intelektual” pun punya hak yang sama untuk membentuk sebuah klub bukunya sendiri. Jika belum memiliki keberanian untuk membentuk, mereka bisa memulai dengan bergabung ke klub buku yang cocok untuk mereka. Untuk itu, klub buku tidak boleh memberikan kesan eksklusif atau mengintimidasi. Untuk memudahkan mereka yang ingin mencicipi pengalaman bergabung ke dalam klub buku, saya sudah mengumpulkan beberapa klub buku daring dalam utas Twitter ini.
Ola! Melihat banyak sekali yg menanyakan keberadaan komunitas literasi daring (online book community/book club), aku bikinin utas sederhana u/ memudahkan kalian memilih mana yang cocok ya!
Sila di-like atau di-RT agar banyak yg tau :3 pic.twitter.com/qamcBihIeA
— Hz (@hzboy) May 22, 2021
Apabila ruang publik hanya didominasi oleh kaum tertentu, maka informasi yang disalurkan tidak akan berkembang. Justru, hal itu hanya akan membuat ruang publik tersebut eksklusif. Apabila dikaitkan dengan konteks klub buku, eksklusivitas ini hanya akan mempertajam kesan bahwa kegiatan membaca dan berdiskusi hanya boleh diikuti oleh segelintir orang, misalnya mereka yang berpendidikan tinggi atau yang bacaannya “berat”. Jika kesan ini terus berlanjut, tentu akan berdampak pada kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis dan berliterasi.
Dalam bukunya yang berjudul How to be An Anti-Capitalist in 21st Century, Erik Olin Wright mengatakan bahwa informasi seharusnya bersifat gratis. Hal ini dapat dikaitkan dengan klub buku, spesifiknya penyebaran informasi dan wawasan yang ada di dalamnya. Kalau terus memberikan kesan mengintimidasi, bagaimana kita bisa membuktikan bahwa membaca adalah kegiatan inklusif? Inklusivitas ini tentu tidak hanya berlaku dalam lingkup literasi, tapi juga pada praktik-praktiknya di bidang lain. Selain itu, sifat inklusif ini juga harus bisa mendukung keberadaan ruang publik.
Klub Buku Bukan Milik Kelompok Tertentu
Berdasarkan kutipan dari Habermas dan Wright, setiap orang bisa membentuk klub bukunya sendiri. Di dalamnya, mereka dapat membangun diskusi dan melakukan kegiatan lain yang berkaitan dengan literasi. Toh, melalui klub buku, mereka bisa menularkan serunya kegiatan membaca dan meningkatkan minat masyarakat terhadap literasi.
Keraguan untuk membuat klub buku sendiri, selain karena minder, bisa juga karena mereka merasa belum mampu untuk memandu diskusi dengan baik. Padahal, keraguan tersebut bisa saja diatasi apabila ada kesempatan untuk mencoba. Sayangnya, peluang itu rasanya masih dimiliki oleh sebagian kecil orang. Padahal kalau ditilik, kita bisa mengatasi ini dengan cara memanfaatkan media sosial sebagai titik mula dalam menciptakan kesempatan. Contohnya, menggunakan fitur live Instagram. Berdiskusi dengan berbicara secara monolog dan menanggapi komentar yang masuk juga bisa menjadi awalan dalam menciptakan ruang publik yang bersifat daring.
Perlu diketahui, klub buku tidak perlu bersifat mengikat. Ia bisa juga bersifat fleksibel mengikuti keadaan. Dengan keluwesan tersebut, siapa saja bisa membentuk klub buku, mengembangkannya menjadi obrolan ringan yang tidak memerlukan SOP tersendiri. Misalnya, menjadikan diskusi ini bagian dari obrolan rutin di salah satu sesi telepon dengan teman di akhir pekan. Bisa saja, lho!
Dengan keberadaan ruang diskusi yang bersifat inklusif, kita bisa mencapai apa yang dicita-citakan oleh Antonio Gramsci: kelas pekerja intelektual untuk melawan kapitalisme. ~Hestia Istiviani Share on XMengapa Kehadiran Klub Buku Menjadi Penting?
Dalam risetnya yang berjudul Reading the Romance, Janice Radway pernah meneliti tentang manfaat membaca bagi perempuan di Smithton. Dari situ, diketahui bahwa perempuan membaca dan mendiskusikan bacaannya kepada sesama pembaca perempuan sebagai bentuk pembebasan diri dari budaya patriarki. Apakah mereka membentuk forum resmi? Tidak. Kelihatannya seperti tatap muka biasa, tapi ternyata obrolan tentang buku yang mereka baca berhasil membawa mereka pada kebebasan berpikir yang tidak mereka miliki di kehidupan sehari-hari.
Itu baru salah satu contoh manfaat klub buku. Bagaimana jika kegiatan diskusi buku tersebut diadakan secara berkelanjutan?
Idealnya, jika semua orang bisa membuka ruang diskusi sederhana tentang bacaan mereka, maka akan tercipta working-class intellectual (intelektual dari kelas pekerja). Dengan adanya ruang diskusi ini, opini dari mereka yang mungkin dikesampingkan dan tidak begitu didengar bisa lebih tersalurkan. Kritik-kritik yang muncul dari mereka yang memiliki latar belakang berbeda pun mungkin bisa merepresentasikan pandangan masyarakat umum dengan lebih baik. Melalui teorinya mengenai ruang publik, Habermas menyatakan bahwa demokrasi muncul bukan karena keterbatasan pihak yang terlibat, melainkan karena adanya opini dari seorang individu yang memancing adanya diskusi lebih lanjut, sehingga tercapai sebuah kebijakan. Dengan keberadaan ruang diskusi yang bersifat inklusif, kita bisa mencapai apa yang dicita-citakan oleh Antonio Gramsci: kelas pekerja intelektual untuk melawan kapitalisme.
Hestia istiviani adalah seorang reading-buddy yang bercita-cita menjadi pustakawan suatu saat nanti. Kini, ia sedang sibuk menggaungkan kesetaraan dan kebebasan dalam membaca melalui inisiatifnya yang bernama Baca Bareng. Ia bisa dikontak melalui Twitter: @hzboy dan Instagram: @hzboy1906
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini