Jika Membaca Adalah Bentuk Aksi, Lalu Bagaimana Dengan Menulis?
October 28, 2020Sexual Politics of Meat karya Carol J. Adams
November 10, 2020RESENSI BUKU
Memperkarakan Kematian
oleh Wahid Kurniawan
Nama Lucius Annaeus Seneca tentu tidak asing lagi bagi para peminat filsafat. Filsuf yang hidup dari tahun 4 masehi sampai 65 masehi ini memang tokoh penting dalam perkembangan mazhab Stoisisme.
Namanya terpandang bersama nama-nama lain seperti Epictetus dan Marcus Aurelius. Dalam berkiprah, Seneca pun memiliki peran penting dalam mazhab purba yang telah berusia lebih dari 2.000 tahun itu. Dari sekian buah pemikirannya, salah satu yang cukup terkenal adalah buku How to Die (Sebuah Panduan Klasik Menjelang Ajal).
Sama seperti para pemimpin pada eranya, Seneca menemukan kerangka moral yang dirasa tepat untuk diterapkan pada masa itu dalam mazhab Stoisisme. Dalam mazhab ini, kaum Stoa mengajarkan kepada para pengikutnya untuk mencari kerajaan dalam diri sendiri, yakni kerajaan akal budi atau tempat kesetiaan pada kebenaran dan pemahaman alam mampu mendatangkan kebahagiaan. Bagi kaum Stoa, harta dan pangkat dianggap sebagai adiaphora, yang berarti ‘netral’ atau keberadaannya tidak akan memberikan kebahagiaan maupun kesedihan. Dalam praktiknya, mazhab Stoa memiliki tujuan utama untuk hidup dengan dengan emosi negatif yang terkendali dan memadukannya dengan kebajikan atau virtue.
Lalu apa yang membedakan Seneca dengan filsuf lainnya? Dalam pengantar buku ini, James S. Romm, menjelaskan kalau Seneca memberi penekanan baru pada doktrin-dokrtin pemikiran Stoa, terutama yang berkaitan dengan berbagai bentuk kematian. Topik kematian pula yang menjadi garis besar pemaparan Seneca dalam buku ini.
Selaku editor sekaligus pemberi kata pengantar buku, James S. Romm terlebih dahulu membahas mengenai bentuk pemikiran Seneca. Satu hal yang sudah ditekankan olehnya sedari awal, Seneca dalam buku ini banyak menjelaskan soal kematian, terutama yang berkaitan dengan bunuh diri atau dalam istilah Stoa disebut sebagai eutanasia. Bahkan, pemikiran Seneca yang berkaitan dengan bunuh diri ini tampak mendominasi. Karena itu, pengantar dari James bisa dipandang sebagai ancang-ancang sebelum berhadapan langsung dengan buah pemikiran Seneca yang mungkin bagi sebagian orang terpandang cukup ekstrem. Dalam Ihwal Singkatnya Kehidupan (7.3) Seneca menulis:
“Kita butuh seumur hidup mempelajari cara untuk hidup, dan—mungkin ini yang lebih membuat kita terkejut—kita juga butuh seumur hidup untuk mempelajari cara untuk mati,”
Bagi Seneca, proses kematian itu bukan sesuatu yang mudah diabaikan. Karenanya, ia menekankan pentingnya mempersiapkan diri sebaik mungkin. Persiapan diri ini mencangkup membebaskan diri dari belenggu kehidupan. Dalam pandangannya, kematian datang secara pasti, dan hanya soal waktu yang masih menjadi misteri. Untuk itu, persiapan diri menurut Seneca menjadi pokok penting, seperti ucapannya dalam Surat-surat (114. 27) berikut ini: “Apa pun yang kau jalani, arahkan selalu pandanganmu pada kematian.”
Tentu persiapan diri sesuai dengan apa yang dikatakan Seneca bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Untuk itu, Seneca menambahkan bahwa melenyapkan ketakutan akan datangnya kematian menjadi pokok penting lainnya. Dalam bab kedua, ‘Jangan Merasa Takut’, Seneca menjabarkan petuah-petuah yang ditujukan untuk sahabat dan keluarganya yang dirundung kehilangan orang terkasih. Di dalam petuah yang terkandung dalam surat-surat bertajuk Penghiburan untuk Marcia, Seneca menekankan untuk merelakan kepergian orang-orang terdekat. Baginya, kematian datang sebagai pembebasan dari derita nestapa, dan kehadirannya untuk mengembalikan kita pada kedamaian yang menaungi kita sebelum lahir (hlm. 13).
Sebagai bagian dari filsafat Stoisisme, buku ini bisa melengkapi cara kita menjalani hidup. ~ Wahid Kurniawan Share on XSeneca juga menjelaskan bahwa kita semestinya mengukur hidup bukan berdasarkan kuantitas, melainkan kualitas semata. Menurutnya, apa gunanya orang hidup selama delapan puluh tahun, tetapi menghabiskan waktunya sekadar untuk bermalas-malasan? Bagi Seneca, kehidupan semacam itu hanya membuang-buang waktu saja. Orang yang hidup dengan cara seperti itu hanya menjalankan takdirnya sebagai manusia yang sekadar ada. Tentu, Seneca tidak menafikan bahwa kendali kehidupan di muka bumi ini tidak dipegang oleh masing-masing individu, ia percaya akan keberadaan tangan ilahi yang mengatur jangka waktu kehidupan seseorang. Oleh karena itu, ia menekankan untuk memberi makna dalam proses kehidupan kita, sebab yang terpenting adalah seberapa baik kita hidup, bukan seberapa panjang. Dan sering kali ‘baik’ tidak berarti berumur panjang (hlm. 75).
Sebuah Pembebasan
Setelah menjelaskan perihal kebermaknaan hidup, kini tiba kita membahas bagian yang kontroversial dari buku ini, yakni tindakan bunuh diri atau eutanasia. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa Seneca menempatkan bahasan eutanasia dengan kadar keagungan tersendiri. Seneca, setidaknya di dalam buku ini, seolah mengglorifikasi tindakan bunuh diri itu. Menurutnya, tindakan bunuh diri perlu dipertimbangkan tatkala seseorang tengah didera penderitaan tak tertahankan. Oleh karena itu, ia begitu menghormati seseorang yang berani mendahului ajal yang menyakitkan (baca: penyiksaan atau eksekusi mati).
Pikiran yang terbilang ekstrem tersebut mesti kita maklumi, sebab Seneca hidup di dua periode pemimpin Romawi yang terkenal bengis dalam berkuasa, yakni kaisar Caligula dan Nero. Kala itu, mereka secara rutin memerintahkan para lawan-lawan politiknya untuk menghabiskan nyawa mereka sendiri, sehingga Seneca terlampau sering menyaksikan tindakan bunuh diri, sehingga ia kerap mempertanyakan ‘apakah’ dan ‘kapan’ kita perlu melarikan diri dari rasa sakit atau tekanan politik tersebut. Inilah yang menjadi cikal-bakal pemikirannya mengenai laku eutanasia itu.
Kendati demikian, Seneca tak sepenuhnya yakin dengan tindakan bunuh diri sebagai pembebasan yang perlu. Dalam salah satu suratnya, yakni Surat-Surat Moral, Seneca turut mengagumi ketabahan seseorang yang tak mau melakukan tindakan bunuh diri, sebab dia memikirkan satu alasan: jika keluarga dan teman-teman bergantung pada kita, maka kita harus menyeret kembali kehidupan kita dari tubir jurang. Artinya, ada yang lebih mulia dari mengakhiri nyawa sendiri demi pembebasan diri dari sebuah penderitaan.
Begitulah, pemikiran Seneca dalam buku ini mungkin terpandang ekstrem dan begitu terobsesi dengan kematian. Namun, satu hal yang kiranya ingin Seneca sampaikan adalah ia hendak mengingatkan kita akan adanya kesucian kematian. Bagi Seneca, mati dengan baik sangatlah penting, entah itu berarti menerima kematian kita dengan lapang dada, memilih waktu dan metode kematian kita sendiri, ataupun menanggung penderitaan demi alasan yang lebih mulia dari menjemput kematian diri sendiri.
Membaca buku karya Seneca ini tentu bukan tindakan yang salah. Walaupun ada perbedaan pandangan dan keyakinan di dalamnya, tetapi menamatkan buku ini bukan pula hal yang sama sekali sia-sia. Justru, ada cukup banyak pandangan yang sejalan dengan keyakinan beragama kita. Untuk itu, buku ini menjadi rujukkan yang patut dilirik bagi siapa pun, apalagi yang berminat dalam kajian Stoisisme secara mendalam. Sebab, sebagai bagian dari filsafat Stoisisme, buku ini bisa melengkapi cara kita menjalani hidup. Lebih-lebih lagi, stoisisme bukan agama kepercayaan, jadi tidak perlu ada ketakutan untuk mengambil banyak ilmu dan pengetahuan dari filsafat ini.
Wahid Kurniawan, pembaca buku yang tak tahan godaan. Saat ini tengah menempuh pendidikan Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia. Ia bisa dihubungi melalui Twitter dan Instagram: @karaage_wahid
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini