Vaksinasi dan Tubuh yang Didisiplinkan
January 29, 2021Mengarusutamakan konservasi multispesies di Indonesia
March 3, 2021RESENSI BUKU
Mencegah Matinya Kepakaran dengan Membuka Pikiran
oleh Muhammad Raji Fudin
Semua yang bernyawa pasti akan mati. Tumbuhan yang diberikan terlalu sedikit air atau terlalu banyak air bisa mati. Hewan, seperti manusia, memiliki banyak cara untuk mati, mulai dari kelaparan, wabah, hingga pembunuhan.
Hewan pun sering kali mati demi memenuhi kebutuhan logistik manusia. Manusia pun sering saling membunuh. Beragam faktor, publik maupun privat, bisa melatarbelakangi pembunuhan antar manusia. Faktor publik yang dapat mendorong terjadinya pembunuhan bisa berupa permasalahan politik, ekonomi, budaya, bahkan agama. Dalam ranah privat, berbagai hal remeh pun melatarbelakangi pembunuhan.
Buku berjudul Matinya Kepakaran (The Death of Expertise) ini mengangkat pertanyaan tentang “Siapa yang Membunuh Pakar?”. Meski terdengar provokatif, buku ini ternyata tidak menyalahkan satu pihak manapun secara khusus untuk kematian kepakaran.
Sederhananya, pakar adalah orang yang jauh lebih tahu mengenai satu pokok bahasan dibandingkan masyarakat umum. Orang yang pernah mengidap tumor ganas mungkin banyak tahu mengenai gejala tumor ganas, tapi mereka belum bisa disebut pakar. Pengalaman memang merupakan salah satu fondasi untuk menjadi pakar, tapi hanya dengan pengalaman saja tidak cukup. Untuk dianggap sebagai seorang pakar, seseorang memerlukan dua fondasi lain, yaitu pendidikan dan pengakuan dari rekan sejawat (peer). Tiga fondasi tersebut lah yang membedakan pakar dan yang disebut dalam buku ini sebagai “orang sok tahu”.
Gambaran mengenai “orang sok tahu” terdapat dalam pendahuluan buku, sebelum masuk bab awal. Untuk menggambarkan bahaya orang sok tahu, penulis menggambarkan sebuah situasi di mana ada seorang pejabat publik yang lebih memercayai pendapat orang sok tahu daripada otoritas pakar. Dampaknya sangat buruk bagi publik, karena keputusan yang dibuat berkaitan dengan kebijakan kesehatan yang berhubungan dengan nyawa manusia. Benturan dan dilema antara otoritas pakar dan pejabat publik juga menjadi salah satu bahasan yang dibawa buku ini. Meski pejabat tidak secara langsung membunuh kepakaran, pejabat juga tidak melakukan rekomendasi yang diberikan pakar.
Internet dan perkembangan teknologi yang sering diyakini sebagai pembunuh kepakaran pun nyatanya tidak terlalu berpengaruh. Bagaimanapun cepatnya, internet merupakan benda mati. Sulit bagi internet untuk melakukan pembunuhan, lain ceritanya bagi pengguna internet. Tapi ternyata pengguna internet pun bukan pembunuh kepakaran; mereka hanyalah sekumpulan orang dengan pengalaman yang mencoba berpendapat melawan pakar atau menegaskan pendapat pakar. Internet memang tidak membunuh kepakaran, tapi internet adalah pisau yang dijual bebas, berguna dan berbahaya dalam genggaman.
Internet lalu melahirkan orang-orang yang mampu memengaruhi orang-orang lain, dikenal dengan sebutan influencer. Para influencer ini tersebar dalam beberapa wadah media sosial. Dalam beragam kesempatan mereka muncul tidak hanya di layar komputer atau smartphone, tapi juga layar televisi. Cara mereka bekerja cukup sederhana. Kita bisa melihat seorang make-up artist memberikan ulasan terhadap produk kecantikan, atau kita bisa melihat seorang aktor memberikan pendapatnya tentang efektivitas vaksin dalam menangani wabah. Keduanya sama-sama bisa dipercaya publik, tapi pendapat siapa yang lebih akurat?
Masyarakat umum tentu bisa mengemukakan pendapat mereka terkait suatu isu tertentu. Mereka bisa menggunakan pengetahuan yang mereka miliki sebagai dasar argumentasi. Bisa jadi, aktor yang sedang memberikan pendapat terkait efektivitas vaksin dalam menangani wabah memiliki analisis yang tepat. Tetapi, bisa juga tidak.
Analisis yang dibuat aktor tadi mungkin tidak selengkap analisis pakar. Seorang pakar, dengan segala sumber daya yang ia dimiliki, bisa mendebat pendapat pakar lain dengan fondasi argumen yang lebih kokoh. Meski masyarakat umum bebas berpendapat, suara satu pakar tetap sulit untuk disamakan dengan suara seribu orang yang bukan pakar.
Salah satu hal yang membedakan pendapat seorang pakar dengan pendapat masyarakat umum adalah setiap pendapat pakar harus selalu diuji dan diperbaharui. Pengetahuan yang ada sekarang adalah pengetahuan yang terbaru, tapi bukan yang terakhir. Publik non-pakar bisa saja memiliki analisis yang benar dan pakar bisa saja tidak selamanya benar. Cukup melelahkan membaca buku yang tidak terlalu tebal ini. Bahkan, bab dua dalam buku ini pun diberi judul “Percakapan yang Kian Melelahkan.” Contoh-contoh yang dibeberkan terasa sangat nyata, lebih dari cukup untuk membuat pembaca gelisah. Posisi pakar, publik, dan pemerintah selalu berbenturan. Semua dengan perannya masing-masing dalam kematian kepakaran. Memang tidak ada pihak yang suci, semua berdosa dalam kematian kepakaran.
Kompleksnya relasi antara pakar dan pemerintah memang masih menjadi permasalahan dalam perumusan kebijakan. Namun, kematian kepakaran tidak semata-mata terjadi di sana. ~ Muhammad Raji Fudin Share on XPublik berdosa kepada pakar saat mereka tidak berlaku objektif dan mawas diri dalam menanggapi suatu isu. Misalnya saat orang dengan pengalaman yang masih sedikit merasa dirinya lebih berilmu dari semua orang lain dan mulai rajin berdebat mempertahankan keyakinannya. Mungkin mereka tidak sepenuhnya berdosa, melainkan hanya korban dari efek Dunning-Kruger, dimana orang-orang yang kurang tahu atau kurang kompeten cenderung tidak menyadari kekurangan pengetahuan atau ketidakmampuan mereka sendiri. Bias konfirmasi juga bisa terjadi saat publik hanya mau mendengar pendapat yang mendukung argumen mereka dan menutup kuping mereka terhadap argumentasi yang bertentangan.
Pakar sendiri juga memiliki dosa kepada publik. Mereka bisa menggali jurang dan memanjat tebing untuk melihat publik di dasar jurang. Pendeknya, eksklusivitas pakar membuat mereka jauh dari publik. Hal ini juga yang membenarkan popularitas influencer di masyarakat. Bahasa kaku dan keras yang sering kali digunakan pakar hanya memperlebar jarak tersebut. Di buku ini, Tom Nichols menyarankan adanya seorang intelektual publik; seseorang berpengetahuan yang menguasai bahasa populer yang mudah dipahami untuk berperan sebagai jembatan antara pakar dan publik.
Sering terjadi pula “pembunuhan” antara pakar satu dengan pakar yang lain. Pakar yang menolak kritik adalah sumber permasalahan yang cukup besar dalam dunia ilmiah. Biasanya, mereka akan berdalih bahwa penyampaian kritik harus didampingi dengan saran. Akan tetapi, kritik sendiri merupakan sebuah usaha mencari solusi. Saat seorang pakar menolak kritik, bisa jadi pakar tersebut sudah mengetahui kesalahannya, namun dia tidak bisa membetulkan dan terlalu malu untuk mengakuinya, atau bisa jadi memang dia merupakan sosok yang tidak mau pandangannya dianggap tidak sempurna.
Hubungan pakar dan pemerintah memiliki kerumitan tersendiri. Sebagus apapun rekomendasi yang diberikan pakar, implementasinya bisa saja berbeda. Pakar sendiri tidak memiliki otoritas untuk mengawasi atau memaksa karena tugasnya hanyalah memberikan rekomendasi. Pemerintah memiliki dunia yang berbeda dari pakar, mereka berhadapan dengan regulasi, birokrasi, dan sistem yang menuntut lebih dari sekadar menjalankan rekomendasi pakar.
Ketika pemerintah tidak melaksanakan rekomendasi seorang pakar bukan berarti pemerintah mengacuhkan para ahli. Belum lama ini pada Pilkada 2020, Pusat Penelitian Politik LIPI pernah mengeluarkan rekomendasi untuk menunda pelaksanaan Pilkada Serentak, namun rekomendasi tersebut bernasib sama dengan rekomendasi lainnya, hanya menjadi bahan perbincangan publik di dunia maya.
Kompleksnya relasi antara pakar dan pemerintah memang masih menjadi permasalahan dalam perumusan kebijakan. Namun, kematian kepakaran tidak semata-mata terjadi di sana. Ruang publik sendiri memiliki peran lebih besar; dengan membuka pandangan, bersikap objektif, menghindari bias informasi, dan menerima masukan pakar, publik dapat membantu menunda kematian kepakaran. Langkah lain tentu ada, sayangnya mereka berada di luar kewenangan publik.
Muhammad Raji Fudin adalah Alumni Program Studi Ilmu Politik, Universitas Negeri Semarang. Ia bisa dihubungi melalui Instagram: @rajifdn26
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini