Murakami-esque dan Hikikomori: Refleksi Krisis Eksistensial Masyarakat Jepang Pada Sastra Kontemporernya
May 16, 2022Code Switching Sebagai Solusi Terjemahan Diskriminatif Minoritas Seksual dan Gender
June 4, 2022OPINI
Upaya Mendorong Kesetaraan Gender di Indonesia
oleh Wahyu Eka Styawan
Gender seringkali disebut sebagai “kelamin sosial”, berbeda dengan sex atau jenis kelamin biologis yang kita terima sejak lahir dan tidak bisa dipilih. Konstruksi sosial berupa “gender” ini dapat menimbulkan apa yang disebut sebagai ketimpangan gender. Sementara itu, kesetaraan gender merupakan keadaan berupa kemudahan dan kesamaan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya dan peluang, yang perlu terus didorong perwujudannya di Indonesia.
Walaupun sering mendengar istilah ketimpangan gender atau gender inequality, tidak sedikit di antara kita yang belum memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan kesetaraan gender. Padahal istilah tersebut seringkali hadir dalam kehidupan sehari-hari, bahkan melekat dalam kehidupan kita.
Sebelum membahas ketimpangan gender secara lebih jauh, mari kita mengenal apa sih arti dari gender, ketimpangan gender, dan keadilan gender. Menurut Mansour Fakih, gender adalah konstruksi sosial di mana laki-laki maupun perempuan memiliki peran sosial tersendiri atau identitas sosial yang dibangun berdasarkan budaya yang berlaku dalam masyarakat setempat. Semisal dalam budaya Jawa, laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga dan harus menafkahi perempuan. Sementara itu, perempuan memiliki peran sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi urusan rumah: dari memasak, mencuci, hingga bertanggung jawab soal anak jika memiliki keturunan. Dengan demikian, gender sangat erat hubungannya dengan budaya dan adat istiadat dalam suatu masyarakat. Gender ini seringkali disebut sebagai “kelamin sosial”, berbeda dengan sex atau jenis kelamin biologis yang kita terima sejak lahir dan tidak bisa dipilih.
Konstruksi sosial berupa “gender” tersebut dapat memunculkan apa yang dinamakan sebagai gender inequality atau ketimpangan gender. Menurut Julia Wood, ketimpangan gender merupakan perlakuan atau persepsi yang tidak setara antarindividu berdasarkan jenis kelamin mereka. Ini muncul dari perbedaan peran gender yang dikonstruksikan secara sosial. Seperti yang dapat kita lihat di Indonesia, khususnya Jawa, laki-laki merupakan pengambil keputusan utama dalam keluarga dalam banyak hal. Bahkan dalam masyarakat Jawa, laki-laki lebih diutamakan daripada perempuan dalam memperoleh pendidikan, akses modal (termasuk warisan), hingga kesempatan kerja.
Sementara itu, keadilan gender adalah keadaan berupa kemudahan dan kesamaan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya dan peluang, termasuk dalam partisipasi ekonomi dan pengambilan keputusan. Keadilan gender mengandaikan sebuah keadaan yang menghargai perilaku, aspirasi, dan kebutuhan yang berbeda secara setara tanpa memandang gender, di mana perempuan dan laki-laki, terutama anak-anak, menikmati hak, sumber daya, kesempatan, dan perlindungan yang sama.
Ketimpangan Gender itu Masalah Serius
Pada konteks Indonesia, ketimpangan gender masih cukup signifikan. Mengutip data dari databoks.katadata.co.id, menurut hasil survei Kesehatan dan Pengalaman Hidup Perempuan pada tahun 2021, satu dari tiga perempuan berusia 15-64 tahun di Indonesia melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Perempuan juga menghadapi hambatan hukum dan diskriminasi dalam ekonomi, kurang lebih sekitar 51% pada tahun 2017.
Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia, menurut World Economic Forum tahun 2020, jauh di bawah laki-laki dengan rasio 0,647, yaitu sekitar 83,9% berbanding 54,3%, dan lebih rendah dari rata-rata negara-negara pada tahap perkembangan yang sebanding. Sementara dalam konteks pendidikan dan kesehatan, situasinya lebih baik dengan skor 97,0% dan 97,4% pada subindeks masing-masing. Namun, dalam hal literasi masih terjadi ketimpangan, yaitu tingkat literasi perempuan sekitar 94% dibandingkan dengan skor laki-laki sekitar 97% . Selain itu, angka partisipasi sekolah dasar juga menunjukan perbedaan, yaitu perempuan sekitar 91% dan laki-laki 96%.
Paparan data di atas menjadi beberapa hal penting yang menunjukkan mengapa ketimpangan gender perlu diperhatikan, yaitu karena seringkali menjadi penghambat bagi kehidupan perempuan maupun laki-laki. Lingkungan sosial menjadi faktor yang menentukan, di mana budaya Indonesia yang lekat dengan patriarki (laki-laki sebagai pusat) telah menyebabkan subordinasi (menempatkan pada posisi bawah) terhadap perempuan, sehingga hal tersebut menyebabkan problem sosial yang akut. Seperti akses yang tidak setara dalam ekonomi, pendidikan dan kesehatan, langgengnya seksisme, kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan pemaksaan kehendak terhadap perempuan seperti pernikahan dini, dll.
Tak jarang juga hal tersebut menimpa laki-laki. Mereka mengalami tekanan sosial, seperti dalam budaya Jawa, mereka harus menjadi tulang punggung keluarga dan bekerja untuk menghidupi keluarga. Padahal, peran tersebut dapat dilakukan bersama-sama. Hal itulah yang menstimulasi terjadinya ketimpangan: laki-laki dipaksa mendalami peran dominan, yang secara sosial merupakan suatu tekanan berbasis budaya. Hal inilah yang oleh Kroska disebut sebagai “gender inequality dalam kerangka psikologi sosial”, di mana proses ketimpangan gender turut didorong oleh faktor persepsi dan behavior yang lekat dengan budaya dan determinasi patriarki.
Pada lingkungan perkotaan atau pedesaan, kita sering menjumpai beban perempuan yang begitu besar sehingga mereka rentan mengalami stres dan gangguan kesehatan mental, khususnya mereka yang berpenghasilan rendah. Seperti yang diungkapkan oleh survei dari American Psychological Association (APA) dalam laman website-nya. Survei yang dilakukan pada tahun 2010 tersebut mengungkapkan jika perempuan rentan mengalami stres yang diakibatkan oleh faktor keuangan dan ekonomi, serta tidak setaranya pengambilan keputusan dalam rumah tangga atau keluarga. Pada penelitian terbaru Fan, Lam, dan Moen mengungkapkan bahwa keluarga berpenghasilan rendah sangat memiliki asosiasi dengan kecenderungan peningkatan kondisi stres. Sederhananya, mereka rentan mengalami stres dan aneka masalah terkait kesehatan mental.
Pada lingkungan perkotaan atau pedesaan, kita sering menjumpai beban perempuan yang begitu besar sehingga mereka rentan mengalami stres dan gangguan kesehatan mental, khususnya mereka yang berpenghasilan rendah. ~Wahyu Eka Styawan Share on XPenelitian ini menggunakan metode survei dengan sampel 2.340 orang, baik laki-laki maupun perempuan. Hasilnya ditemukan hubungan positif antara ketidakamanan kerja dan work-to-family conflict untuk perempuan, tetapi tidak untuk laki-laki. Hal ini dilihat dari tingkat pendapatan rumah tangga, bahwa asosiasi tersebut hanya ditemukan pada responden yang berpenghasilan paling rendah. Lebih jauh, gender bersinggungan dengan pendapatan rumah tangga untuk membentuk proses yang memperbanyak stres. Sementara hubungan ketidakamanan dengan work-to-family conflict berlaku untuk perempuan di semua tingkat pendapatan rumah tangga. Untuk laki-laki, hubungan ini bergeser dari positif pada pendapatan terendah dan menjadi negatif pada pendapatan tertinggi. Temuan riset ini menunjukkan bahwa ekspektasi gender yang mengakar di sekitar pekerjaan dan keluarga dapat membuat perempuan (terlepas dari pendapatan rumah tangga) dan pria kelas bawah menjadi yang paling rentan terhadap penyebaran stres. Menarik jika penelitian psikologis seperti ini juga dilakukan di Indonesia, agar kita tahu betapa ketimpangan gender memiliki dimensi yang sangat luas.
Apa yang Dapat Dilakukan?
Dalam upaya untuk mendorong perubahan secara bertahap, diperlukan semacam proses perlahan dalam mengikis dominasi patriarki yang bertautan dengan budaya serta diterima sebagai hal yang umum. Dibutuhkan sebuah pemahaman bahwa antara laki-laki dan perempuan memang berbeda secara fisik, tetapi dalam kehidupan sosial, keduanya setara: memiliki hak yang sama dan dapat menjalankan peran sesuai dengan keahliannya masing-masing. Berikut upaya-upaya nyata yang dapat didorong:
Individu
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengubah gender inequality secara perlahan adalah dengan memahami bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama. Bahkan, pekerjaan rumah tangga pun dapat dilakukan oleh laki-laki sehingga beban rumah tangga bisa dipikul bersama-sama. Laki-laki bisa mencuci, memasak, dan menyapu tanpa harus malu. Sementara perempuan juga dapat bekerja mencari nafkah dan belajar tanpa harus merasa tertekan dengan pekerjaan rumah tangga, apalagi bagi yang telah menikah. Menciptakan lingkungan keluarga yang setara dengan pembagian kerja yang fleksibel merupakan sebuah upaya maksimal untuk mencapai kesetaraan. Sementara langkah minimal juga dapat dilakukan dengan membantu meringankan beban domestik perempuan, misalnya laki-laki dapat cekatan dalam melakukan pekerjaan domestik tanpa harus diminta.
Menciptakan lingkungan keluarga yang setara dengan pembagian kerja yang fleksibel merupakan sebuah upaya maksimal untuk mencapai kesetaraan. ~Wahyu Eka Styawan Share on XOrganisasi dan Institusi
Sementara untuk di ranah tempat kerja, kampus, dan lainnya, upaya mendorong kesetaraan gender dapat dilakukan dengan tidak mengungkapkan ujaran atau pernyataan yang menjurus pada seksisme atau merendahkan perempuan. Kedua, berupaya untuk menciptakan ruang aman sehingga perempuan tidak merasa takut untuk beraktivitas. Ruang aman ini dibangun atas kesepakatan, misalnya: melibatkan dan menjamin suara perempuan dalam setiap pengambilan keputusan, menjaga privasi mereka, meminimalisasi seksisme, dan aneka tindakan yang menjurus pada pelecehan dan kekerasan seksual.
Ketiga, mengadakan workshop atau semacam edukasi bagi laki-laki dan perempuan perihal gender dan kesetaraan. Hal ini merupakan upaya jangka panjang untuk menghilangkan gender inequality. Terlebih pendidikan di rumah, dilakukan untuk mengenalkan anak dengan kesetaraan sejak dini.
Kebijakan dan Regulasi
Penting untuk mendorong sebuah kebijakan dan regulasi yang mengutamakan kesetaraan gender. Pemerintah perlu membuat sebuah aturan yang adil berbasis partisipasi masyarakat sipil yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan gender. Regulasi yang perlu dikawal penerapannya salah satunya adalah Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru saja disahkan. Kemudian, berbagai elemen masyarakat sipil juga perlu mendorong kebijakan dalam pendidikan, seperti penjaminan akses yang setara, perlindungan dari kekerasan, dan kejahatan seksual.
Dalam aspek pekerja, pemerintah harus mempertegas kebijakan non-diskriminatif serta memberikan dan menjamin hak-hak perempuan seperti hak menyusui, melahirkan, dan cuti haid tanpa ada ancaman pemecatan. Persoalan upah juga seharusnya setara, tidak dibedakan antara perempuan dengan laki-laki. Penting juga mendorong kebijakan anggaran yang lebih sensitif gender sehingga tidak ada lagi gap pembangunan yang lebih menguntungkan laki-laki dalam hal fasilitas publik. Sementara di ranah perdesaan, perlu pemberian akses yang setara bagi perempuan dalam akses modal, pengetahuan, dan kesempatan yang dapat menaikkan taraf hidupnya karena selama ini masih mengutamakan ke laki-laki. Terakhir di ranah kesehatan, penting juga mengadakan layanan psikologi sebagai pencegahan dampak ketidakadilan gender.
Upaya-upaya di atas menjadi penting untuk diwacanakan. Ketiga aspek tersebut perlu dilibatkan dalam upaya mendorong keadilan gender. Hal tersebut akan menjadi sebuah rancangan wacana yang mungkin dilakukan, sebagai upaya pengarusutamaan pengikisan ketimpangan gender dan mendorong secara perlahan keadilan gender, khususnya di Indonesia.
Wahyu Eka Styawan, pernah belajar Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga dan Sosiologi Pedesaan di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Sehari-hari bergiat di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), serta menjadi peneliti lepas. Sangat tertarik dengan Sosiologi Pedesaan dan Lingkungan khususnya pendekagan Human Ecology, Psikologi Komunitas, dan Kajian Gender. Hobi mendengarkan musik, membaca dan menjelajahi kampung-kampung, serta kuliner.
Dapat dihubungi melalui akun sosial media Instagram: @longlonelyjune
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini