Menunggu Senja Kala di Panti Wreda: Solusi atau Tragedi?
June 4, 2024Seruan Provokatif untuk Seluruh Penghuni Universitas
June 12, 2024Photo by Monika Kozub on Unsplash
OPINI
Mengapa Istilah ‘Tobrut’ Berbahaya?
oleh M. Ja’far Baihaqi
Kebanyakan dari pembaca Anotasi mungkin sudah tidak asing dengan istilah ‘tobrut’. ‘Tobrut’ adalah akronim dari ‘toket brutal’ yang merujuk pada perempuan yang dianggap memiliki payudara besar.
Entah sejak kapan istilah itu pertama kali ada, yang jelas, akhir-akhir ini kita bisa melihat bahwa istilah itu masif digunakan oleh warganet (netizen) untuk memberikan komentar seksis pada perempuan. Di platform sosial media mana pun, baik itu Tiktok, Facebook, Instagram, maupun X, kita bisa dengan sangat mudah menemukan istilah ‘tobrut’ di setiap unggahan yang menampilkan tubuh perempuan.
Bahasa Seksis yang Berulang
Fenomena semacam ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Ia adalah fenomena tahunan yang terus berulang karena mampu mereproduksi dirinya ke dalam istilah dan bentuk yang baru. Sebelumnya, kita mungkin familiar dengan frasa serupa, misalnya “ada yang menonjol tapi bukan bakat”, “ada yang bulat tapi bukan tekad”, dan lain sebagainya.
Jika mau mencari lebih jauh, ada lebih banyak lagi kata atau frasa yang memiliki konotasi semacam itu. Namun, apapun istilah yang digunakan sebenarnya tidak terlalu penting. Pada intinya, istilah semacam itu menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat kita masih memiliki kecenderungan untuk memandang perempuan hanya dari ketubuhannya semata, alih-alih gagasan serta kontribusinya.
Dalam tradisi pemikiran feminis, kecenderungan semacam itu disebut sebagai objektifikasi seksual, yakni sebuah cara pandang yang menempatkan seorang individu sebagai objek untuk memenuhi hasrat seksual dari subjek. Objektifikasi seksual semacam itu memang bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, tetapi, umumnya, korban selalu perempuan. Perempuan yang diobjektifikasi dipisahkan dari keunikannya sebagai manusia yang memiliki dimensi mental dan kompleksitas hidup. Ia kemudian hanya dipahami sebagai tubuh kosong tanpa jiwa untuk memenuhi hasrat seksual semata. Pada akhirnya, ia hanya akan dilihat dari kecantikan wajah serta tubuhnya yang menawan, sementara keunikannya sebagai manusia yang utuh sama sekali diabaikan.
Ironisnya, karena kita berada dalam masyarakat yang patriarkis, objektifikasi seksual terhadap perempuan bisa dengan sangat mudah termanifestasi. Laki laki bisa dengan sangat mudah melakukan catcalling, memberikan komentar atas tubuh perempuan dengan cara yang seksis, dan melakukan pelecehan seksual. Mirisnya, banyak dari laki-laki sama sekali tidak berpikir bahwa hal itu adalah sesuatu yang salah. Bahkan tidak jarang mereka justru membenarkan tindakan mereka, dengan menyalahkan perempuan atas apa yang mereka lakukan, misalnya karena perempuan mengenakan pakaian yang seksi.
Dalam kasus komentar seksis ‘tobrut’ yang sedang kita bahas, misalnya, laki-laki biasanya memberikan pembenaran atas tindakannya dengan mengatakan “salah sendiri memakai pakaian yang terbuka”. Padahal, dalam banyak kasus, perempuan yang sudah memakai pakaian yang tidak terbuka, tidak ketat, dan dianggap sopan pun, masih banyak mendapatkan perlakuan serupa.
Kita mungkin masih ingat beberapa bulan yang lalu, ada seorang pembuat konten di sosial media bernama Nisa yang menyajikan tontonan edukatif bagi balita melalui Youtube yang mendapatkan komentar seksis ‘tobrut’ dari warganet. Padahal, dalam setiap konten yang ia buat, Nisa selalu memakai pakaian yang sopan, bahkan dia mengenakan jilbab. Peristiwa itu membuat kita bisa menyimpulkan bahwa objektifikasi seksual yang dialami perempuan jelas di luar kendali mereka. Mereka tidak diobjektifikasi karena memakai pakaian ketat, memiliki payudara yang besar, ataupun memiliki wajah yang cantik, melainkan karena memang sejak awal laki-laki menempatkan mereka sebagai objek seksual.
Mental Mengobjektifikasi Mau Dipelihara Sampai Kapan?
Objektifikasi seksual terhadap perempuan bukanlah masalah yang bisa dianggap remeh. Tindakan itu memberikan dampak yang mengerikan pada kehidupan perempuan, baik secara sosial maupun eksistensial. Objektifikasi adalah salah satu akar dari ketertindasan yang selama ini dialami perempuan. Ketika diobjektifikasi secara seksual, perempuan tidak dipandang sebagai manusia, tetapi direduksi sampai pada taraf yang setara dengan barang atau hewan.
Perempuan tidak dianggap sebagai manusia yang perasaannya layak dihargai, sehingga ia kerap kali mendapatkan perlakuan yang kurang mengenakkan. Gagasan-gagasannya pun kerap kali tidak dipertimbangkan sehingga beberapa dekade lalu, feminisme liberal masih memperjuangkan hak pilih perempuan dalam politik. Dengan diperlakukan sebagai objek, perempuan juga dinilai tidak perlu memberikan kontribusi signifikan pada masyarakat. Menjadikannya ibu rumah tangga dianggap sebagai hal yang wajar. Perempuan benar-benar mengalami dehumanisasi, sehingga hak-haknya sebagai manusia seringkali terabaikan.
Selain itu, perempuan yang diobjektifikasi secara seksual bisa terjebak dalam objektifikasi diri. Perempuan yang telah terjebak dalam objektifikasi diri, bisa mengalami suatu kondisi yang disebut dengan self-surveillance, yakni sebuah kondisi di mana seseorang akan mengawasi diri atau tubuh mereka secara berlebihan agar terlihat menarik di mata orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Richard Calogero dari Virginia Wesleyan College telah menunjukkan bahwa self-surveillance memiliki dampak buruk, baik secara psikologis maupun fisik, seperti memunculkan rasa malu atas tubuh, cemas, takut, depresi, berkurangnya nafsu makan, hingga disfungsi seksual.
Akhir kata, kita bisa mengambil satu kesimpulan bahwa ‘tobrut’ dan istilah semacamnya adalah istilah yang tidak seharusnya digunakan. Meski terdengar cukup menggelikan, istilah semacam itu memiliki implikasi yang mengerikan. Ia digunakan untuk mengobjektifikasi perempuan secara seksual. Objektifikasi seksual semacam itu sangat merugikan perempuan karena mendehumanisasi mereka dan membuat perempuan seringkali kehilangan hak-haknya sebagai manusia. Tak hanya itu, objektifikasi seksual juga menjadikan perempuan turut mengobjektifikasi dirinya sendiri, yang pada gilirannya, membuat mereka teralienasi dan berimbas pada kesehatan mental serta fisik mereka.
Istilah 'tobrut' sangat merugikan perempuan karena mendehumanisasi mereka dan membuat perempuan seringkali kehilangan hak-haknya sebagai manusia ~ M. Ja'far Baihaqi Share on XPengungkapan
Penulis adalah seorang laki-laki yang memiliki pengalaman kebertubuhan berbeda dengan perempuan. Pandangan penulis dalam artikel ini sangat mungkin bias dan tidak mewakili pengalaman perempuan secara bermakna.
M. Ja’far Baihaqi adalah mahasiswa gabut yang sedang belajar menulis.
Artikel Terkait
Seperti Dendam, Dominasi Harus Diredam Tuntas
Berlatar belakang akhir tahun 80-an, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menjadi sebuah film percintaan yang memiliki gaya yang seratus persen berbeda. Film ini membawa narasi besar tentang maskulinitas, tidak hanya terselubung, namun juga muncul dalam tiap adegan yang ada. Latar kekerasan di sepanjang film menjadi sebuah budaya yang tumbuh karena orde pemerintahan yang mengamini kekerasan pula. Kasus-kasus kekerasan seksual dan objektifikasi perempuan karena dominasi yang terjadi antar sesama manusia pun terlihat gamblang dalam film ini.Budaya dan Konstruksi Sosial: Bagaimana Kita Memahami Dunia
Pernahkah kamu bertanya, bagaimana kita bisa menilai suatu hal, perilaku, atau fenomena sosial tertentu sebagai baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas? Siapa yang menentukannya?