Melawan Pelecehan Seksual bersama Never Okay Project
January 19, 2020Selamat Hari Pers Nasional, Ricky!
February 13, 2020Waktu aku hidup di luar kota, Imlek menjadi salah satu momen yang aku nantikan dan rindu pulang ke rumah. Tapi dua tahun belakangan ini aku merasa malas dan tidak antusias dengan momen perayaan setahun sekali ini. Ternyata aku tidak sendiri. Iseng-iseng aku mengetik kata kunci “hate Chinese New Year Celebration” di mbah Google, dan tak dinyana ada beberapa tulisan di luar Indonesia yang berpikir hal serupa sepertiku.
Melalui tulisan ini aku mengidentifikasi dua alasan utama mengapa aku malas merayakan Imlek. Selama ini aku urung saja menyampaikannya karena aku berusaha menghargai tradisi. Sekarang rasanya sudah tidak tahan lagi dan sepertinya masyarakat umum perlu tahu. Sebab terlepas etnisitas dan tradisi yang kita miliki di Indonesia, banyak anak muda yang terjebak pada lingkaran tradisi yang barangkali outdated dengan dinamika hidup masa kini.
Semua menjadi repetitif
Meskipun senang dapat banyak angpao dan makanan, aku butuh daya tarik lebih yang membuatku secara sukarela merayakannya Imlek dengan senang hati. Aku lelah mengikuti rangkaian ritual selama Imlek, mulai dari cari baju baru yang semakin lama semakin meroket harganya, potong rambut untuk buang energi buruk, makan tiada henti dan membuka pembicaraan basa-basi dengan kerabat. Sebagai seorang introvert, aku mengalami emotional hangover karena perayaan ini. Padahal kita bisa saja atur waktu untuk ketemuan dan makan bersama selain saat Imlek. Beberapa temanku memilih bepergian liburan di saat Imlek karena mereka juga lelah dengan selebrasi. Belum lagi jika kerabatnya tinggal berjauhan, maka harus mengunjungi keluarga dari satu tempat ke tempat lain. Syukur kalau dapat angpao untuk menutup biaya bensin atau tiket perjalanan.
Tekanan sosial semakin besar seiring bertambah usia
Di saat semua saudara berkumpul, aku semakin sulit menemukan irisan ketertarikan dan kesamaan yang bisa mempermudah pembicaraan dengan kerabatku agar tetap mengalir. Aku dan saudara sepupuku adalah generasi millennial yang semuanya sudah punya pekerjaan masing-masing. Tentunya, ada banyak perubahan dari segi interest dan kepribadian kami masing-masing. Setidaknya itu menurutku. Andaikan aku memilih diam, ada hidden pressure yang menghakimi kalau aku tidak memberi usaha lebih untuk tahu lebih dalam tentang kerabatmu. Yah zaman aku kecil, baca buku atau main game di saat lagi kumpul-kumpul was a big no no. Aku pasti dihakimi generasi yang lebih tua, jadi aku harus mencoba menjadi normal dan aktif seperti saudara yang lain juga.
Seandainya jika para tetua bisa menciptakan nuansa Imlek yang lebih cocok dengan perkembangan zaman...aku pikir kami generasi muda akan kembali semangat berkumpul bersama keluarga. ~ Melissa Mina Share on XTidak ketinggalan, hal yang paling sering dialami dan memberikan tekanan yang besar ke generasi muda adalah pertanyaan-pertanyaan seputar kondisi fisik dan kehidupan pribadi. “Kamu kok tambah bulet? Kayaknya gendutan ya? Kapan punya pacar? Sudah punya pacar belum? Kamu kan banyak teman, masa gak ada satupun yang cocok sama kamu? Kapan mau nikah? Kapan rencana punya anak? Kamu gak mau hamil lagi?”
Baik yang masih lajang, sudah menjalin hubungan, maupun yang telah berumah tangga, Imlek ibarat sebuah press conference untuk setiap orang melakukan klarifikasi. Setidaknya aku harus tebal muka, tetap tersenyum, dan tertawa terpaksa menjawab setiap pertanyaan yang sama sekali tidak lucu. Meskipun aku tambah gendut, wong aku bahagia karena punya pekerjaan yang membuatku makmur, bukankah itu yang terpenting? Urusan nikah juga bukan semudah kamu petik daun, Ferguso. Biarpun kerabatku mapan, mereka pasti perlu menabung dan perencanaan yang matang terlebih dahulu.
Kendati demikian, aku bersyukur keluargaku tergolong berpikiran terbuka dan paham tentang equality dibandingkan dengan keluarga lain. Pada Imlek beberapa tahun lalu, aku ingat menyampaikan niat melanjutkan studi master. Tidak ada pernyataan seperti “anak perempuan buat apa sekolah tinggi-tinggi?”, malahan kalimat yang aku dengar adalah “Go for it, we are proud of you.” Kalau tentang equality sudah oke, seharusnya jangan sampai double standard dan menghargai kondisi mental kami para anak muda.
Seandainya jika para tetua bisa menciptakan nuansa Imlek yang lebih cocok dengan perkembangan zaman now dan tidak terlalu ribet dengan berbagai ritual, aku pikir kami generasi muda akan kembali semangat berkumpul bersama keluarga. Kami respek terhadap budaya kok, tapi bisakah kita memaknai Imlek dengan cara baru? Semoga para pembaca mengalami perayaan Imlek yang menyenangkan. Gong Xi Fa Cai.
Melissa Mina adalah lulusan Institute of Social Studies (ISS), Erasmus University Rotterdam, fokus studi Social Policy for Development. Penikmat film, fitness, dan makanan di kala senggang. Sesekali menulis untuk menuangkan pikiran dan kegelisahan terhadap dinamika sosial. Saat ini Melissa bekerja sebagai sustainable specialist di sebuah perusahaan swasta.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini