She Would Never Know (2021) dan Hustle Culture
July 9, 2021Kritik untuk Kebijakan Negara
July 26, 2021OPINI
Mengenai Buku Bajakan
oleh Wahid Kurniawan
Bila saya dan Tere Liye bertetangga dan ia mengunjungi rumah saya empat tahun yang lalu, saya berani bertaruh bahwa ia akan marah besar. Bahkan, bukan tidak mungkin ia akan langsung menyemprot saya dengan, “Ya ampun, kamu dungu sekali. Ternyata selama ini kamu mengoleksi buku-buku saya yang bajakan!” Sementara itu, saya yang memang mengoleksi buku-bukunya mungkin hanya bisa melongo kebingungan.
Apakah ilustrasi itu tampak terlalu mengada-ngada? Oh, tidak. Ilustrasi itu bukan khayalan semata.
Pertama, saya membuat ilustrasi tersebut berdasarkan status Tere Liye yang diunggah beberapa waktu lalu di laman Facebook-nya. Dalam status itu, ia mencemooh para konsumen buku bajakan. Unggahan ini tentu memancing keramaian di jagat maya Indonesia.
Kedua, memang benar bahwa empat tahun yang lalu, saya mengoleksi beberapa novel karangannya. Tapi, baru belakangan ini saya tahu bahwa buku-buku tersebut adalah hasil bajakan. Harus saya akui, saat itu saya memang benar-benar kesulitan membedakan buku hasil bajakan dengan yang asli.
Saya mungkin perlu terlebih dahulu menegaskan bahwa saya tidak mendukung para pembajak dan konsumen buku bajakan. Sama seperti penikmat buku lain di luar sana, saya bahkan menentang setengah mati perilaku yang merugikan para pembuat karya itu.
Namun, persoalan yang saya kira penting untuk dibicarakan adalah: Apakah seorang penulis perlu sampai mencemooh para pembaca buku bajakan? Sebab, berdasarkan pengamatan pada orang-orang di sekitar saya, tidak semua pembaca buku sadar bahwa mereka telah membeli buku bajakan. Kalaupun sadar, banyak dari mereka yang belum paham soal hak intelektual penulis dan istilah-istilah dalam dunia perbukuan lainnya. Dalam skenario tersebut, bisa dibilang mereka adalah korban.
Bila ada korban, bisa dipastikan ada pelaku yang mencari peluang untuk dimanfaatkan. Pelaku di sini tak lain adalah para penjual buku bajakan yang semakin banyak jumlahnya dari tahun ke tahun. Setelah mengetahui keberadaan mereka yang kian menjamur ini, saya pun memahami kemarahan para pelaku perbukuan. Tak terkecuali kemarahan penulis seperti Tere Liye, yang tidak hanya ditujukan terhadap para pelaku pembajakan, tetapi juga kepada para korbannya—pembaca buku bajakan.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Yang jelas, perlu kita ketahui bahwa pembajakan adalah tindak kejahatan. Maka, terlepas dari kesan arogan status Tere Liye yang mengutuk keras para pembaca buku bajakan, kita pun perlu berdiri bersamanya dalam memerangi pembajakan buku.
Terlepas dari kesan arogan status Tere Liye yang mengutuk keras para pembaca buku bajakan, kita pun perlu berdiri bersamanya dalam memerangi pembajakan buku. ~Wahid Kurniawan Share on XNamun, usaha melawan pembajakan ini mungkin tidak sesederhana kedengarannya. Hal ini karena tindak pembajakan tidak hanya melibatkan para pelaku perbukuan, melainkan pula seluruh lapisan masyarakat yang berperan sebagai konsumennya. Maka, kita pun perlu mengedukasi masyarakat mulai dari tentang hak intelektual (HAKI) hingga pentingnya peran semua pihak di balik proses lahirnya sebuah buku.
Dengan pemahaman yang menyeluruh mengenai hal tersebut, kita baru dapat secara efektif melawan tindak pembajakan. Tugas ini memang tidak mudah. Di negeri yang persebaran bukunya belum merata ini, masih banyak yang belum bisa mengapresiasi buku dengan baik. Mengetahui hal tersebut, upaya ini pun mungkin akan berjalan paralel dengan usaha menyebarkan pemahaman pentingnya buku bagi perkembangan pengetahuan masyarakat, yang juga masih diperjuangkan.
Namun, bukan berarti upaya itu sama sekali mustahil untuk dilakukan. Upaya tersebut tentu dapat terealisasikan dengan efektif apabila melibatkan berbagai pihak seperti mereka yang bergerak di bidang pendidikan. Selain itu, kita juga bisa melibatkan pengelola komunitas baca dan para pejabat publik dalam perwujudan upaya ini. Apalagi, mengingat proses pembelajaran hari ini masih dilakukan secara daring (dalam jaringan). Selain bisa menggalakkan kegiatan membaca melalui platform-platform digital yang legal, kita pun bisa memberi pengetahuan mengenai hak intelektual (HAKI) dan tetek-bengek perbukuan.
Misalnya, untuk sumber bacaan yang mudah diakses, kita bisa mempromosikan platform digital seperti Ipusnas, Archive.org, Project Gutenberg, iJakarta, iCirebon, iSumedang, sampai platform yang marak di kalangan muda seperti Storial, Kwikku, Wattpad, ataupun Rakata.
Buku-buku di semua platform di atas bisa diakses dengan murah, legal, dan bebas. Tak hanya itu, koleksi mereka pun terus bertambah dari waktu ke waktu. Rekomendasi tersebut saya berikan atas pertimbangan intensitas penggunaan gawai di masyarakat yang terus meningkat.
Barangkali banyak dari kita yang lebih nyaman untuk menikmati buku melalui gawai, situs-situs tersebut bisa digunakan untuk membiasakan diri membaca buku asli. Selain itu, para pendidik pun bisa memanfaatkan buku-buku pada platform tersebut sebagai bahan materi pelajaran dan tugas sekolah.
Pembajakan buku bukan saja soal kerugian materil, namun juga soal tindak pencederaan terhadap proses transfer pengetahuan. ~Wahid Kurniawani Share on XSelain peran pendidik, peran pemerintah pun tidak kalah penting dalam perjuangan melawan pembajakan buku. Bila masyarakat telah berjuang sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang mereka miliki, maka pemerintah harus bersinergi dengan memperkuat undang-undang.
Selain itu, pemerintah juga punya peran penting juga untuk mempertegas tindakan yang diambil terhadap para pembajak buku karena saat ini tindak pembajakan masih dianggap sebatas delik aduan. Ini berarti perilaku pembajakan tidak akan ditindaklanjuti apabila yang melaporkan bukan pihak yang dirugikan.
Meski sudah ada yang melapor, persoalan tidak lantas selesai begitu saja. Para pelapor masih harus melalui proses yang panjang dan cenderung ribet. Selain itu, mereka pun harus menyertai laporannya dengan banyak berkas: Wujud buku yang dibajak, surat dari transaksi buku, sampai identitas pelaku pembajakan.
Semua itu jelas tidak bisa diperoleh dengan mudah. Apalagi ada ketimpangan jumlah antara korban—penulis atau penerbit—dengan pelaku pembajakan. Para pelaku perbukuan seperti penulis pun mesti aktif melengkapi berkas laporan atas pembajakan buku yang mereka perkarakan. Padahal, jelas-jelas mereka adalah korban yang dirugikan.
Hal inilah yang membuat miris. Sebagai korban pencurian atas karyanya mengapa mereka masih harus berjuang mencari bukti atas kejahatan yang menimpa mereka? Kalau dianalogikan, ini seperti menyuruh korban pencurian motor untuk mengusut sendiri identitas pelaku yang mencuri motornya. Kemudian setelah didapat, ia pun harus menyerahkannya ke berpihak berwajib yang tinggal menghukum si pelaku.
Mengingat ketidaktegasan dan ribetnya aturan tersebut, maka kebijakan pemerintah untuk memperbaiki aturan yang ada pun sangat dinantikan. Perlu kita ingat bahwa perjuangan ini adalah perjuangan bersama. Sebab, pembajakan buku bukan saja soal kerugian materil, namun juga soal tindak pencederaan terhadap proses transfer pengetahuan.
Upaya ini memang bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Maka, wajar saja bila ocehan soal pembajakan ini tidak kunjung usai digaungkan oleh banyak orang. Terlepas dari kesannya yang terkadang menyebalkan, pembicaraan mengenai perkara ini pun akan terus dibutuhkan selama tindak pembajakan buku masih berlangsung.
Ocehan ini pun bisa kita iringi dengan upaya menyebarkan pengetahuan mengenai peraturan tadi. Tak dapat dipungkiri, terlepas dari kata-katanya yang bijak atau tidak, ocehan mengenai isu pembajakan ini pun bisa membuat banyak orang sadar bahwa mengkonsumsi buku bajakan adalah kesalahan—sesuatu yang tidak saya ketahui empat tahun yang lalu.
Wahid Kurniawan,
Wahid Kurniawan adalah penikmat buku yang juga merupakan mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.
Akun media sosial : Instagram @karaage_wahid
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini