Kedewasaan itu Diperoleh atau Dipelajari?: Sekilas tentang Metakognisi
August 7, 2023Warna Film Perang Kemerdekaan dalam Tiga Babak Politik Indonesia
August 30, 2023
Photo Fadilah Im on Unsplash
OPINI
Menggagas Serikat Pekerja Kampus
oleh Nabiyla Rizfa Izzati
Beberapa bulan lalu, jagat media sosial dibuat gonjang-ganjing setelah diterbitkannya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPANRB) Nomor 1/2023 tentang Jabatan Fungsional.
Peraturan tersebut dikritik habis-habisan, terutama oleh kalangan dosen, karena dianggap menambah beban administrasi dosen dan menyulitkan proses dosen menjadi guru besar. PermenPANRB ini juga dianggap menghapuskan sistem penilaian kinerja dosen berdasarkan performa kerja (merit based system) dan lebih menggantungkan kenaikan jabatan fungsional dosen berdasarkan penilaian atasan.
Bak air bah, kritik terhadap peraturan jabatan fungsional pun membuka diskusi lebih luas mengenai isu dan permasalahan dosen yang sebelumnya jarang dibicarakan secara terbuka, seperti masalah beban kerja, upah dan kesejahteraan, dan kultur feodal dan seremonial di dunia akademik. Beragam isu ketenagakerjaan yang dialami oleh dosen juga mendorong lahirnya diskusi mengenai pentingnya solidaritas dan upaya-upaya kolektif untuk bersama mengubah keadaan. Hal itu termanifestasikan ke dalam kesadaran untuk membentuk wadah solidaritas berupa serikat pekerja.
Kesadaran Dosen sebagai Kelas Pekerja
Meski kritik terhadap PermenPANRB telah membuka diskusi yang lebih maju (progresif) tentang permasalahan yang dialami dosen, diskusi tersebut rupanya juga menunjukkan watak ‘eksklusif’ dosen yang merasa tak nyaman ketika dirinya disamakan dengan ‘buruh’.
Pandangan dosen yang menilai dirinya bukanlah buruh mendorong lahirnya anggapan bahwa ‘serikat buruh’ bukanlah wadah yang tepat bagi dosen. Bukan hanya bertentangan dengan kebutuhan untuk berserikat, watak semacam itu juga menghambat proses pembentukan serikat pekerja akademik itu sendiri.
Menempatkan dosen sebagai buruh biasa penting untuk digaungkan agar kesadaran dosen sebagai bagian dari kelas pekerja dapat tumbuh. ~Nabiyla Izzati Share on XPadahal, jika melihat pandangan umum terhadap pekerja atau buruh dalam peraturan perundang-undangan, semua orang yang melakukan pekerjaan dan mendapatkan upah dapat kita sebut sebagai pekerja. Selama dosen bukanlah pemilik modal dan berada dalam hubungan kerja, maka dosen adalah pekerja atau buruh.
Menempatkan dosen sebagai buruh biasa penting untuk digaungkan agar kesadaran dosen sebagai bagian dari kelas pekerja dapat tumbuh. Kesadaran ini juga diperlukan untuk memahami konsep bahwa dosen sebenarnya berada dalam relasi kuasa yang lebih lemah dalam hubungan kerja, sehingga memerlukan perlindungan untuk meningkatkan posisi tawarnya, salah satunya melalui serikat pekerja.
Pekerja Kampus bukan hanya Dosen
Salah satu inisiatif bersama yang serius menindaklanjuti kebutuhan akan serikat pekerja di lingkungan akademik adalah Serikat Pekerja Kampus. Digodok sejak awal Juni tahun ini, gerakan ini diinisiasi oleh dosen dari beragam universitas di Indonesia yang meyakini bahwa kebutuhan untuk berserikat bagi dosen sangatlah penting. Serikat ini rencananya akan dideklarasikan dalam Kongres Pembentukan Serikat Pekerja Kampus di Jakarta pada 17 Agustus 2023.
Salah satu hal menarik dari gerakan ini adalah pilihan untuk menggunakan nama “Serikat Pekerja Kampus”, alih-alih “Serikat Dosen.” Hal itu didasari oleh pemahaman bahwa permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan di kampus tidak hanya dialami oleh dosen, melainkan juga pekerja-pekerja kampus lainnya, baik pekerja akademik maupun non-akademik, seperti asisten lab, asisten dosen, penjaga perpustakaan, admin akademik, dan beragam tenaga kependidikan lainnya.
Pekerja kampus yang tidak memiliki kontrak jelas seperti asisten dosen dan asisten peneliti, misalnya, sangat rentan mengalami eksploitasi karena ketidakjelasan status kerja mereka. Tenaga kependidikan kampus juga sekarang makin banyak dipekerjakan dengan sistem kerja kontrak yang membuat kondisi kerja mereka rentan, seperti dikontrak melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih-alih dengan kontrak sebagai pekerja tetap. Karena itulah, Serikat Pekerja Kampus diharapkan mampu memupuk solidaritas lintas profesi dari beragam pekerja di lingkungan kampus.
Manfaat Serikat bagi Pekerja Kampus
Serikat pekerja di lingkungan kampus sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Di Inggris, misalnya, University and College Union (UCU) menjadi serikat pekerja terbesar di lingkungan universitas. Sebagaimana yang diwacanakan oleh Serikat Pekerja Kampus di Indonesia, UCU di Inggris tidak hanya beranggotakan dosen dan pekerja akademik saja, melainkan juga beragam pekerja universitas lainnya, seperti pustakawan (librarian) dan mahasiswa doktoral. Belakangan ini, anggota UCU sedang melakukan aksi mogok memberikan penilaian pada mahasiswa (marking boycott) untuk memprotes gaji yang rendah dan memperjuangkan kesejahteraan anggotanya.
Di Amerika Serikat dan Australia, serikat pekerja akademik juga lazim ditemui. Serikat-serikat pekerja di sana aktif melakukan aksi dan advokasi terhadap isu-isu yang melibatkan pekerja kampus. National Tertiary Education Union (NTEU) di Australia, misalnya, mengorganisir aksi mogok kerja sebagai bentuk protes atas semakin maraknya kasualisasi tenaga kerja, yaitu perekrutan pekerja kampus dengan status tidak tetap.
Menjadi anggota serikat pekerja diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar pekerja kampus dalam menegosiasikan perbaikan kondisi kerjanya. Pekerja akademik di Indonesia penting memperjuangkan hal itu mengingat kondisi pekerjaan mereka yang masih buruk.
Menjadi anggota serikat pekerja diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar pekerja kampus dalam menegosiasikan perbaikan kondisi kerjanya. ~Nabiyla Izzati Share on X
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Riset Kesejahteraan Dosen pada 2023, misalnya, menunjukkan bahwa terdapat 42,9% dari keseluruhan dosen responden penelitian yang menerima gaji di bawah 3 juta rupiah, nilai yang bahkan lebih rendah dari rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) di Indonesia. Artinya, isu kesejahteraan pekerja kampus sangatlah krusial untuk didorong perbaikannya, termasuk juga urusan hak-hak ketenagakerjaan lain, seperti status kerja, hak cuti melahirkan berbayar, hingga hak untuk didaftarkan sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Serikat Pekerja Kampus bisa memainkan peran penting untuk memperjuangkan kebutuhan tersebut.
Jika sudah terbentuk dan terdaftar secara resmi di Dinas Ketenagakerjaan setempat, Serikat Pekerja Kampus bisa memainkan peran politis yang lebih besar dalam membantu anggotanya yang mengalami perselisihan hubungan industrial. Misalnya, jika ada pekerja kampus yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa prosedur yang jelas atau menerima gaji di bawah UMP di daerah setempat, Serikat Pekerja Kampus bisa berperan mendampingi proses penyelesaian perselisihan tersebut.
Menerawang Masa Depan Serikat Pekerja Kampus
Gempuran neoliberalisasi pendidikan di Indonesia yang masif beberapa tahun belakangan telah membuat kondisi pekerja kampus makin rentan. Transformasi Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH), misalnya, justru berimplikasi pada ketidakjelasan status dosen dan tenaga pendidik lain yang bekerja di dalamnya.
Karena itulah, upaya konkret untuk membentuk Serikat Pekerja Kampus yang akan segera dideklarasikan pada 17 Agustus ini sangat penting untuk kita dukung bersama.
Memang masih terlalu awal untuk menilai apakah Serikat Pekerja Kampus akan mampu mendorong perbaikan kondisi kerja di lingkungan kampus. Namun, kita tidak akan pernah tahu jawabannya jika gerakan ini tidak dimulai. Lagi pula, sejarah juga telah mencatat bahwa pembentukan serikat pekerja di beragam penjuru dunia telah berhasil mendorong perubahan-perubahan struktural yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan pekerja.
Nabiyla Risfa Izzati merupakan dosen hukum ketenagakerjaan di Universitas Gadjah Mada dan kandidat doktor di Queen Mary University of London. Riset doktoralnya meneliti dimensi gender dalam pekerjaan-pekerjaan di ekonomi gig. Nabiyla banyak melakukan penelitian terkait hukum ketenagakerjaan dan hak-hak pekerja, khususnya pekerja perempuan dan pekerja prekariat dalam hubungan kerja non-standar.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini