Seks dalam Sejarah Budaya Jawa
May 27, 2021Membentuk Klub Buku, Membangun Ruang Diskusi Inklusif
June 3, 2021OPINI
Menghidupkan Kembali Seni Lokal Kotagede
oleh Luki Antoro
Jika harus memilih ungkapan yang pas untuk menggambarkan Kotagede Yogyakarta, mungkin pilihan yang paling tepat adalah ‘Museum Hidup’.
Kawasan Kotagede memang telah lama populer. Kawasan unik yang berada di Yogyakarta ini mulai terkenal di abad ke-16, saat masih jadi Ibukota Kerajaan Mataram Islam dengan peradabannya yang maju. Apa yang terjadi di Kotagede menunjukan kesuksesan yang bisa diraih saat sebuah daerah mampu mengembangkan identitas warisan mereka. Warisan yang datang dari potensi khas yang ada di wilayah ini yang biasa kita sebut ‘kearifan lokal’. Kearifan lokal merupakan topik yang unik dan menarik untuk dibahas, khususnya bagi mereka yang berminat dengan keragaman seni dan kebudayaan di Indonesia.
Tulisan ini lahir dari diskusi-diskusi tentang sisi unik Kotagede dengan teman-teman mahasiswa sarjana hingga pascasarjana, baik dari dalam maupun luar Jogja. Banyak dari mereka menyuarakan kegelisahan yang sama, yaitu tergerusnya kearifan Kotagede sebagai ibukota kerajaan yang maju dalam prosesnya menjadi pusat seni budaya bertemakan urban. Saya tersenyum saja. Sebagai seseorang yang tumbuh di pinggiran Kotagede, saya sudah terbiasa dengan situasi yang mereka bicarakan. Biar bagaimana pun, memang begitulah kenyataannya.
Realitas ini cukup menggugah untuk direnungi lebih dalam. Seni dan budaya lokal yang terpinggirkan zaman ini adalah tanda diperlukannya peran generasi muda dalam usaha pelestariannya. Dalam usaha pelestarian seni budaya lokal di kawasan urban, sudah pasti akan ditemukan banyak rintangan. Salah satunya adalah kesulitan dalam penyampaian pemahaman dari karya seni tersebut. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar karya seni lokal tidak memiliki kerangka yang pasti, sehingga tentu memerlukan pemetaan yang mendetail dalam penafsirannya. Kotagede adalah kawasan yang sangat dinamis dan mampu beradaptasi dengan perkembangan di sekitarnya. Sayangnya, perubahan-perubahan yang dialami Kotagede lambat laun melunturkan identitas budaya lokalnya. Apakah iya modernitas harus dibayar dengan hilangnya kearifan lokal? Kalau begitu adanya, bagaimana seni budaya lokal di Kotagede bisa bertahan?
Apakah iya modernitas harus dibayar dengan hilangnya kearifan lokal? Kalau begitu adanya, bagaimana seni budaya lokal di Kotagede bisa bertahan? ~Luki Antoro Share on XKerajinan Logam Pasca Kejayaan
Sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda, kerajinan perak Kotagede sudah terkenal. Pamornya bahkan sampai ke Belanda. Menurut artikel Industri perak di Kotagede, kerajinan perak bahkan sempat dijadikan alat diplomasi antara Kotagede dengan Belanda. Hal ini bisa terjadi karena kualitas kerajinan logam dari Kotagede yang dinilai baik, khususnya oleh masyarakat Eropa.
Sayangnya, kejayaan kerajinan logam Kotagede kian memudar pasca Perang Dunia II. Sekarang ini, tinggal ada segelintir pengrajin logam di Kotagede yang mampu bertahan memasarkan kerajinan-kerajinan logamnya. Dalam upaya menyelamatkan bisnis di masa pandemi, beberapa tempat produksi kerajinan telah mulai memasuki pasar digital. Tapi apakah cukup? Bagaimana kita bisa memasarkan kerajinan logam Kotagede di tengah pandemi, banyaknya produk kebudayaan lokal yang bersaing, dan cepatnya kemajuan teknologi pengetahuan, agar dampaknya dapat dirasakan oleh para perajin logam tersebut?
Dalam tulisannya yang berjudul Culture and Society, Raymond Williams mendefinisikan budaya sebagai seperangkat cara hidup manusia. Karena itu, budaya mengandung makna dan nilai yang dipegang oleh sekelompok masyarakat dalam melakoni hidup. Makna dan nilai ini bisa dipaparkan secara implisit maupun secara eksplisit.
Begitu pula halnya dengan kerajinan logam di Kotagede. Ketika berkunjung ke Kotagede, kita bisa melihat banyak toko perhiasan dan kerajinan logam. Di balik toko-toko tersebut, terdapat rumah-rumah yang memproduksi kerajinan perak dan logam lainnya. Sayang, sekarang jumlah rumah-rumah produksi tersebut tampak sudah berkurang. Di era digital seperti sekarang ini, kita akan lebih banyak melihat pengrajin lokal yang mulai mengadu nasib di sosial media dan menjajakan karya mereka dengan bantuan hashtag (#).
Perjalanan panjang Kotagede sebagai kota kerajinan logam tidak semerta-merta membuat kawasan tersebut mapan. Meski potensinya dalam bidang ekonomi kreatif tidak dapat dipungkiri, masalah yang mereka hadapi juga tak kalah meriahnya. Pasar kerajinan logam terus menemui berbagai krisis. Meski demikian, ketekunan pengrajin Kotagede sebagai kawasan kreatif yang bisa dilihat dalam bagaimana usahanya beradaptasi demi menjaga ekonomi kreatif lokal terbukti membuahkan hasil. Salah satu hasil dari ketekunan ini adalah dikenalnya Kotagede untuk kemampuan senimannya memadukan aspek seni lokal (seperti teknik pembuatan dan motif tradisional) dengan bentuk kerajinan yang semakin modern sesuai permintaan pasar (yang sedang jadi trend).
Kalau kerajinan logam Kotagede begitu berjaya di masa lalu, mengapa kepopuleran kerajinan logam di Kotagede tidak dihidupkan kembali sekarang? Saya menduga, pembangkitan industri ini sulit terjadi karena sistem pengelolaan kerajinan logam di Kotagede yang masih belum jelas. Padahal, seni budaya lokal adalah bagian dari identitas khas yang menjadikan suatu daerah berbeda dengan lainnya. Tentunya bagian penting dari identitas Kotagede ini perlu dibangkitkan lagi–apalagi ketika bagian penting ini memiliki potensi begitu besar untuk membangkitkan kondisi ekonomi dan sosial masyarakatnya.
Kalau kerajinan logam Kotagede begitu berjaya di masa lalu, mengapa kepopuleran kerajinan logam di Kotagede tidak dihidupkan kembali sekarang? ~Luki Antoro Share on XKerajinan Logam Saat ini
Dalam 10 tahun terakhir, saya mengamati perkembangan kerajinan logam di Kotagede yang bergerak cenderung pelan. Sebelum adanya pandemi Covid-19, kami masih bisa menjumpai beberapa turis asing yang berkunjung. Namun, kini bisa dibilang tidak ada sama sekali. Selain itu, saya juga menemukan beberapa toko kerajinan yang beralih fungsi. Toko-toko yang tadinya menjual kerajinan perak, tembaga, dan kuningan, kini mulai menjual barang-barang lain, seperti sembako, baju, hingga madu.
Karena penasaran, saya berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Tampaknya, berbagai kesibukan yang mungkin dirasa lebih mendesak telah membuat baik pihak perajin logam, Dinas Kebudayaan, Dewan Kerajinan Daerah maupun pihak-pihak lain yang berada dalam lingkup kerajinan tersebut teralih dari misi mereka untuk merawat dan mengembangkan potensi kerajinan logam di Kotagede. Tentunya ini sangat disayangkan. Meski harus diakui bahwa pandemi telah membawa kemarau yang cukup panjang di pasar kerajinan logam, perlu juga kita ingat bahwa melestarikan kerajinan lokal bukan hanya penting untuk Kotagede hari ini, tapi juga untuk Kotagede di masa depan.
Potensi ekonomi dari kerajinan logam Kotagede memang cukup besar. Sejak dulu, keterampilan para pengrajin logam menunjukan bahwa profesi ini cukup menjanjikan. Namun, semakin ke sini pekerjaan ini dipandang sebagai sesuatu yang rumit dan tidak menarik. Akibatnya, kini banyak anak muda yang enggan menekuni profesi sebagai pengrajin logam. Banyak dari kami lebih memilih untuk kerja kantoran, karena memang pekerjaan kantoran dianggap lebih menjanjikan. Selain itu, ketidakjelasan situasi pasar kerajinan logam juga menambah sulitnya terjadi regenerasi di pengrajin logam di Kotagede.
Apabila situasi ini terus berlanjut, tentu seni budaya lokal, khususnya kerajinan logam ini, terancam punah. Untungnya, meskipun situasi ini telah berlangsung lama, masih ada beberapa tempat produksi kerajinan logam di Kotagede yang masih bisa bertahan. Tanpa dukungan pemerintah daerah maupun swasta, mereka terus bertahan seadanya.
Jika tidak ada perubahan yang berarti, kita akan menemukan rintangan-rintangan yang lebih berat lagi di masa depan. Mungkin akan lain cerita apabila misalkan anak-anak di Kotagede diajarkan mengenai kerajinan logam sejak bangku sekolah. Pengenalan kerajinan logam di usia dini tentu akan mempermudah regenerasi pengrajin. Dalam pelestarian karya seni kerajinan lokal, memang diperlukan keseriusan yang besar. Selain pengrajin, juga diperlukan keterlibatan pihak lain dalam pelestarian seni budaya lokal ini.
NBAS (Nursih Basuki Art Studio) Kotagede, sebuah studio seni kriya logam yang berlokasi di Kotagede, Yogyakarta, adalah salah satu pihak yang memahami pentingnya dukungan dari luar pengrajin biasa untuk kelestarian seni logam Kotagede. NBAS dikenal karena telah membuat berbagai kerajinan tembaga dan kuningan, seperti garuda pancasila, relief, hingga patung tembaga. Upaya NBAS Kotagede dalam pelestarian dan pengembangan seni logam dianggap sebuah angin segar yang mampu membangkitkan kembali kerajinan logam Kotagede. Dalam setahun terakhir, pergerakan NBAS ini sudah mendapatkan sorotan dari banyak media; mulai dari televisi swasta, media berita online, hingga program kementerian. Tampaknya, upaya yang dibuat NBAS Kotagede tidak hanya berpengaruh pada pengetahuan generasi muda mengenai kerajinan logam saja, namun juga pada mulai hidupnya kembali kerajinan logam di Kotagede itu sendiri.
Sebagai usahanya untuk bertahan di tengah pandemi, NBAS Kotagede juga hadir di dunia digital. Ini adalah pilihan yang tepat, mengingat ketidakpastian pasar yang terus berlanjut karena pandemi. Melalui usahanya inilah, NBAS Kotagede berhasil mendapat perhatian berbagai pihak, seperti konsumen-konsumen baru dari luar Kotagede yang mengenalnya dari platform digital. Sebelumnya, mereka hanya mengandalkan promosi mulut ke mulut oleh pengunjung studio. Kini, berkat pergerakan mereka ke dunia digital, pasar mereka pun menjadi semakin luas dan promosi dapat dilakukan kapan saja.
Digitalisasi pasar kerajinan logam memang perlu dilakukan. Baru dengan mencapai popularitas di dunia digital, seperti melalui media sosial seperti Instagram dan Twitter, dampak industri kerajinan logam dapat dimaksimalkan. Yang menarik, munculnya kesadaran dari pengrajin maupun pengelola studio seni kerajinan perak, tembaga, dan kuningan di Kotagede ini didasari oleh ketidakpastian di tengah pandemi. NBAS Kotagede mengakui, tak mudah baginya untuk terus merawat kerajinan kriya logam Kotagede, apalagi dalam musim pandemi Covid-19 seperti saat ini. Mereka pun harus menghadapi pasar yang sangat lesu, harga bahan baku yang terus naik, hingga pandangan orang awam yang menganggap kerajinan logam sebagai barang murahan.
Luki Antoro. Pemerhati dan pelaku ekonomi kreatif di Yogyakarta. Lahir pada 7 April 1996 di Bantul Yogyakarta. Pernah aktif diberbagai event besar seni budaya di Yogyakarta.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini