Rumput yang Berpilin di Hati
August 22, 2024Kekuasaan dan Intrik Politik ‘Raja Jawa’ dalam Arus Demokrasi Indonesia
August 31, 2024Photo by Blake Guidry on Unsplash
OPINI
Menilik Istilah ‘Diaspora’, Memandang Perpindahan Manusia
oleh Asri Saraswati
Ramai suasana perayaan 17 Agustus 2023 yang terjadi di halaman masjid di Ibaraki, Jepang dilaporkan sebuah artikel media nasional. Di sana, diaspora Indonesia mengadakan lomba makan kerupuk dan balap karung dengan dana yang dikumpulkan bersama.
Serupa dengan itu, Victoria Park kerap digunakan Konsulat Jenderal Indonesia di Hong Kong untuk merayakan ulang tahun negara bersama para Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan diaspora Indonesia. Tahun 2023, sejumlah PMI yang ditunjuk menjadi pasukan pengibar bendera unjuk keterampilan dan menciptakan suasana hikmat dalam perayaan kemerdekaan negara.
Sekitar satu dekade terakhir, istilah ‘diaspora Indonesia’ mulai kita dengar di media. Kementerian luar negeri Indonesia mendefiniskan diaspora Indonesia sebagai masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri, yang mencakup warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA), seperti anak dari WNI, eks-WNI, dan anak dari eks-WNI.
Sebenarnya, bagaimana asal muasal kata ‘diaspora’? Dan, bagaimana kita memandang diaspora dalam hubungannya dengan patriotisme (sikap loyalitas pada negara)?
‘Diaspora’ dalam berbagai konteks
Diciptakan untuk menjelaskan fenomena migrasi berskala besar akibat penjajahan di Anatolia (kini, Turki) dan Mediterania pada 600-800 SM (Sebelum Masehi), istilah ‘diaspora’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata dia (‘melewati’) dan speiro (‘tersebar’). Bangsa Yunani kuno menggunakan kata itu untuk membahas pergerakan manusia akibat penguasaan militer dan ekspansi. Bagi mereka yang berpindah, istilah ‘diaspora’ bukanlah perayaan keberhasilan militer sebuah bangsa. Migrasi yang dilakukan oleh diaspora mengisyaratkan adanya kebrutalan manusia serta trauma kolektif di sebuah tempat.
Di akhir 1990an dan awal 2000an, pengalaman diaspora banyak diceritakan dalam karya sastra oleh berbagai penulis berlatar belakang migran. Sebut saja karya-karya milik Jhumpa Lahiri, Hanif Kureishi, Zadie Smith, dan Junot Diaz. Penulis-penulis itu bercerita tentang kehidupan migran dan keturunannya di negara-negara Dunia Utara (Global North). Persoalan mengenai identitas yang terkoyak di antara dua ruang, ingatan masa lalu, hingga beratnya tinggal di negara asing yang seringkali menolak mereka adalah sejumlah topik yang banyak mereka ceritakan.
Karya-karya sastra berkontribusi memberikan nuansa dan kompleksitas pada istilah ‘diaspora’ karena mampu menunjukkan perasaan yang pelik dan proses rumit seorang diaspora dalam membangun eksistensi diri. Mereka seringkali terbayang-bayang masa lalu dan kerap mencari cara untuk mendekatkan diri dengan ‘kampung halaman’, baik itu lewat masakan, berkumpul dengan sesama pendatang, ataupun melalui seni. Bagi diaspora, kampung halaman tak pernah benar-benar ditinggalkan, melainkan selalu hadir dan dihadirkan dengan berbagai cara.
Saat ini, akibat populernya paham modernitas dan narasi rags-to-riches (kesuksesan dicapai berkat kerja keras, versi masyarakat Amerika), istilah diaspora kerap diidentikkan dengan migran kelas menengah atas yang tinggal di luar negeri dengan pekerjaan kantoran (white collar worker) yang memperoleh kesuksesan di negara yang baru. Di saat yang sama, muncul pula istilah ‘ekspatriat’ yang memiliki konotasi tenaga profesional dengan pendapatan tinggi di negara yang bukan tempat kelahirannya dan mungkin memiliki privilese tertentu. Istilah dan makna yang terbangun itu mengisyaratkan kesuksesan justru diperoleh dari perpindahan.
Di tengah narasi kesuksesan yang dominan itu, cerita mengenai diaspora yang prekariat (memiliki pekerjaan tidak menentu) jarang dibicarakan di masyarakat. Ini bisa mencakup pengalaman kelompok rentan, seperti pekerja migran yang berprofesi sebagai pekerja domestik, buruh kasar, pengungsi, dan pencari suaka. Nasib pekerja domestik dan buruh kasar seringkali bergantung pada kontrak kerja yang tak pasti, di bawah kontrol pemberi kerja dan agennya, serta diatur melalui kebijakan imigrasi yang berubah-ubah. Sementara pengungsi seringkali sulit mendapat penghasilan dan pendidikan, menunggu lama untuk kepastian kewarganegaraan, dan bergantung pada bantuan berbagai pihak.
Untuk memetakan istilah ‘diaspora’ yang kini lebih rumit dibandingkan definisi yang ditawarkan bangsa Yunani Kuno, cendekiawan Robert Cohen mengategorikan diaspora menurut faktor sejarah, sosial ekonomi, dan agama. Ia menawarkan beberapa tipe diaspora, yakni diaspora korban (victim diaspora), diaspora pekerja (labor diaspora), diaspora perdagangan (trade diaspora), diaspora imperial (imperial diaspora), dan diaspora budaya (cultural diaspora). Pembagian Cohen itu menunjukkan bahwa diaspora tak melulu korban dalam penjajahan dan sebuah kelompok bisa memiliki beberapa peran sekaligus. Diaspora Inggris dengan kepercayaan Calvinist yang tiba di Amerika Serikat misalnya, adalah diaspora korban karena terpaksa berpindah akibat persekusi karena tidak mengikuti Gereja Inggris. Namun, mereka juga diaspora imperial karena lantas mengkoloni daerah yang mereka datangi.
Ketegangan antara nasionalisme dan migrasi
Perpindahan seseorang meninggalkan negaranya seringkali dinilai sebagai sikap yang tidak patriotik. Istilah ‘brain drain’ dalam bahasa Inggris misalnya, mewakili keluhan akibat berkurangnya tenaga ahli di sebuah negara karena mereka lebih memilih pergi dan mencari penghidupan di negara lain. Sikap cinta tanah air kerap dimaknai sebagai bentuk kesetiaan untuk menetap dan memperjuangkan negara, bagaimanapun kondisi negaranya. Di sinilah, tampak ketegangan antara ide nasionalisme dan migrasi.
Perspektif itu perlu kita kritisi dengan mencermati mengapa diaspora lebih memilih pindah dari negaranya? Apa situasi yang mendorongnya berpindah? Dan, apakah perpindahan tersebut sungguh-sungguh dilakukan secara sukarela? Dengan menemukan jawaban-jawaban itu, negara akan mengerti bagaimana menciptakan rumah yang nyaman untuk memastikan tak ada rakyat yang merasa mereka harus pergi.
Selain itu, pertanyaan yang tak kalah penting adalah apakah perpindahan harus selalu dimaknai sebagai sebuah pembelotan terhadap negara sendiri?
Sejumlah kebijakan negara menunjukkan kalau perspektif nasionalisme yang bertegangan dengan migrasi sudah mulai dikritisi, meskipun itu seringkali didorong oleh logika ekonomi. Pada 2006 misalnya, negara mengenalkan kebijakan Anak Berkewarganegaraan Ganda yang membuka kesempatan bagi anak WNI yang lahir di luar negeri dan anak pernikahan antara WNI dan WNA untuk memiliki dua kewarganegaraan hingga ia berusia 18 tahun. Pemerintah juga baru saja mensosialisasikan Visa Second Home yang memberikan kesempatan pada WNA untuk menetap di Indonesia yang juga mencakup eks-WNI dan masyarakat usia senior. Proses pengajuan visa itu melalui jalur khusus, di mana pendaftar perlu menjelaskan kontribusinya terhadap peningkatan ekonomi negara.
Seringkali rasa cinta kampung halaman dan kepedulian terhadap kondisi di negara asal bisa berkembang saat kita sedang jauh dari rumah. ~ Asri Saraswati Share on XKita perlu memahami bahwa diaspora tidak cukup didekati melalui kacamata ekonomi dan kontribusi mereka terhadap keuangan negara. Menarik untuk mencermati bahwa seringkali rasa cinta kampung halaman dan kepedulian terhadap kondisi di negara asal bisa berkembang saat kita sedang jauh dari rumah. Sejumlah diaspora banyak berkarya untuk Indonesia dan menggunakan posisi mereka sebagai migran untuk melakukan banyak hal. Dalang Publishing, misalnya, digagas oleh diaspora Indonesia di California, Amerika Serikat, untuk menjadi penerbit pertama yang berfokus menerjemahkan novel sejarah mengenai Indonesia untuk publik di Amerika. Sementara Buah Zine mengumpulkan berbagai narasi fiksi dan non-fiksi, serta esai dan wawancara dengan generasi muda diaspora untuk mengekspresikan identitas atau menceritakan proses mereka mengenal kembali budaya Indonesia. Nyatanya, kepedulian terhadap negara sendiri tak seharusnya diukur dengan batas geografis.
Bicara mengenai diaspora akan membantu kita menelisik banyak hal. Kita dapat mencermati hubungan antara ruang, hukum yang mengatur proses migrasi, dan posisi kita di antara berbagai kebijakan. Kita juga bisa membandingkan berbagai jenis perpindahan: mulai dari mahasiswa yang bisa berpindah ruang untuk belajar, profesional yang disponsori perusahaan untuk berkarir, hingga PMI yang melalui proses panjang dan keluar biaya besar untuk bisa bekerja dan menghidupi keluarga di kampung halaman. Hal ini membuat nyata kesenjangan kelas sosial yang ada di sekitar kita. Kebijakan yang mengatur dan memperbolehkan perpindahan sebuah kelompok diaspora juga tak sama dan bisa berubah dari masa ke masa.
Asri Saraswati adalah pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Ia mengajar dan meneliti mengenai isu migrasi, ras, gender, kelas dalam kajian sastra dan budaya.
Artikel Terkait
Nakba: Hak untuk Kembali dan Menentukan Nasib Sendiri Punya Siapa?
Tulisan ini merupakan artikel terakhir dari dua artikel di mana penulis merefleksikan tentang Nakba, petaka penjajahan tanah Palestina oleh Israel yang diperingati setiap tanggal 15 Mei. Dalam artikel ini, penulis mendiskusikan tentang hak untuk kembali dan hak untuk menentukan nasib sendiri; hak-hak yang seharusnya dimiliki semua orang, namun terpenuhi secara timpang dalam kasus Palestina dan Israel.Nakba: Petaka yang Tak Berkesudahan bagi Bangsa Palestina
Tulisan ini merupakan artikel pertama dari dua artikel di mana penulis merefleksikan tentang Nakba, atau petaka penjajahan tanah Palestina oleh Israel yang diperingati setiap tanggal 15 Mei. Dalam artikel ini, penulis bersama narasumber dari Palestina berefleksi tentang kehidupan di tanah terjajah dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang memfasilitasinya.Tidak Ada Pengungsi yang Ilegal
Label ilegal yang disematkan oleh media adalah salah satu bentuk kekerasan yang harus dihadapi oleh pengungsi. Di artikel ini, penulis merefleksikan peran media dalam membangun pandangan masyarakat terhadap pengungsi dan dampak dari pandangan-pandangan tersebut.