Sembilu Bermata Ganda: Dilema Sertipikat Tanah
October 10, 2024‘Kabinet Besar’ Prabowo, Akankah Ulangi Kegagalan ‘Kabinet 100 Menteri’ Sukarno?
October 21, 2024Photo by Amazon
RESENSI BUKU
Menjalani Masa Remaja Lebih Mudah Jika Tinggal di Samoa
oleh Ariane Meida
Pada 2022, satu dari tiga remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental Tidak hanya di Indonesia, buruknya kesehatan mental remaja juga dilaporkan terjadi di Amerika Serikat (AS). Pada 2021, empat dari sepuluh pelajar di AS mengalami sedih berkepanjangan dan merasa putus asa.
Mengapa begitu banyak remaja yang merasa tidak baik-baik saja?
Menurut G. Stanley Hall, psikolog asal Harvard University, masa remaja memang merupakan fase hidup yang penuh pergolakan dan tekanan (storm and stress). Tiga tanda utama dari fase ini adalah gangguan suasana hati (depresi), konflik dengan orang tua, dan perilaku berisiko (seperti kebut-kebutan dan menggunakan narkoba). Hall menilai gejolak remaja itu dipengaruhi oleh faktor biologis, sehingga semua orang pasti akan mengalami masa remaja yang menyiksa tanpa kecuali.
Namun, pandangan Hall dibantah oleh Margaret Mead, antropolog asal Columbia University. Mead menilai banyak remaja mengalami gangguan kesehatan mental karena tekanan kebudayaan, bukan karena masalah hormon atau perkembangan otak yang belum matang. Mead mendapatkan kesimpulan itu setelah meneliti remaja-remaja putri yang hidup di Samoa, kepulauan beriklim tropis di tengah Samudra Pasifik.
Tulisan ini adalah sinopsis hasil penelitiannya yang dibukukan dengan judul Coming of Age in Samoa atau Menjadi Dewasa di Samoa.
Remaja Putri di Kepulauan Pasifik, Seperti Apa Hidup Mereka?
Samoa terletak di pertengahan jalan antara Hawaii dengan New Zealand. Saat Mead berangkat ke Samoa pada 1925, masyarakatnya terbilang masih minim pengaruh kebudayaan Barat. Mead memang mencari masyarakat yang cara hidupnya kontras dengan masyarakat di AS. Ia ingin menjawab pertanyaan utama dalam penelitiannya, yaitu apakah kesulitan yang dialami remaja memang bawaan alamiah atau karena ‘peradaban’? Dalam kondisi yang berbeda, apakah masa remaja menyajikan gambaran yang berbeda?
Mead tinggal di Samoa selama sembilan bulan untuk meneliti berbagai aspek kehidupan remaja putri di sana: mulai dari bagaimana mereka diasuh dan dididik, berelasi dengan keluarga, teman, dan pasangannya, bekerja dalam rumah tangga dan komunitasnya, hingga pengalaman seksualnya. Mead menemukan, siklus kehidupan remaja putri hingga menjadi dewasa di Samoa jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan remaja putri di AS.
Para Ibu melahirkan dan bersama bayi saat mereka masih menyusui. Setelah disapih, bayi-bayi akan dijaga oleh kakak atau saudara perempuannya yang berusia sekitar 7 tahun. Anak-anak perempuan terus mengasuh bayi sampai mereka dianggap cukup kuat untuk bekerja di kebun dan menggotong hasil tani dari kebun ke desa. Lalu, mereka belajar menenun tikar, melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya, menikah, dan kemudian melahirkan anak yang jika perempuan akan mengulang siklusnya.
Dalam pandangan Mead, masa remaja untuk gadis-gadis Samoa hanya masa dimana fisik bertumbuh dengan pesat, sehingga badan mereka menjadi lebih kuat dan bisa bekerja dan berkontribusi lebih untuk keluarga dan komunitasnya. Ketimbang menjadi masa yang penuh tekanan, masa remaja justru jadi masa yang membahagiakan, karena para gadis Samoa lepas dari beban mengasuh bayi yang menyita perhatian dan menahan mereka dari kesempatan berpetualang di laut atau bermain dengan teman sebaya. Dengan kata lain, menurut Mead, para gadis Samoa menjalani siklus hidupnya sebagai remaja tanpa gejolak dan tekanan, seperti yang diasumsikan Hall terhadap semua anak muda. Mereka tidak mengalami gangguan suasana hati, tidak memberontak terhadap aturan masyarakat dan keluarga, tidak berkonflik dengan orang tua, dan tidak melakukan perilaku yang dianggap berisiko.
Mead kemudian beralih pada pertanyaan lain, yang membuat bukunya menjadi terasa relevan bagi banyak orang di AS. Pertanyaannya, jika gadis-gadis di Samoa tidak mengalami gejolak dan tekanan saat remaja, lalu apa yang menyebabkan remaja di AS mengalaminya?
Kunci Bebas dari masalah mental: tinggal di kepulauan pasifik dan hidup sederhana
Mead mencoba menjawabnya dengan menyebutkan beberapa kontras masyarakat Samoa dengan AS. Diantaranya, berbeda dengan orang-orang AS yang berambisi untuk kaya dan sukses, masyarakat Samoa yang dianugerahi tanah yang subur, minim bencana, dan laut yang sehat, tidak punya hasrat tinggi dan perasaan dalam terhadap apapun di kehidupan mereka. Tidak pada harta atau tahta, tidak pada ilmu pengetahuan, tidak pada agama, bahkan tidak ada perasaan dalam pada pasangan atau keluarga mereka sendiri. Tidak ada tuntutan untuk mengejar cita-cita setinggi langit, tidak ada yang bersikap fanatik, dan tidak ada cinta atau dendam yang terlalu besar.
“Samoa adalah tempat di mana tidak ada seorang pun yang mempertaruhkan nyawanya, tidak ada seorang pun yang membayar harga yang sangat mahal, tidak ada seorang pun yang menderita karena keyakinannya atau berjuang sampai mati demi tujuan khusus … dan dalam hubungan pribadi, kepedulian itu kecil. Cinta dan benci, kecemburuan dan balas dendam, kesedihan dan kehilangan, semuanya hanya dalam hitungan minggu.” (Mead, 1928:161).
Memang ada anggapan bahwa manusia hebat tidak dilahirkan dari masyarakat yang tidak punya ambisi, yang ingin hidup biasa-biasa saja, yang lebih memilih menghindari konflik seperti masyarakat Samoa. Tapi, Mead ingin kita melihat pokok lain. Tidak seperti remaja di AS, remaja di Samoa tidak dituntut menjadi hebat. Hal ini yang membebaskan remaja Samoa dari rasa yang menyiksa seperti paksaan belajar dengan tekun atau merasa rendah diri, karena kalah hebat dari sebayanya yang lain.
Perbedaan lain yang mencolok antara peradaban AS dengan peradaban sederhana yang hidupnya terisolasi seperti di Samoa adalah banyaknya pilihan yang tersedia dan banyaknya kepercayaan yang diperjuangkan oleh masyarakatnya. Kaum muda di AS dihadapkan pada pilihan kursus piano atau gitar, belajar ilmu alam atau ilmu sosial, bercita-cita menjadi dokter atau pengacara. Sedangkan remaja di Samoa hanya punya pilihan berkebun, melaut, atau melakukan pekerjaan rumah tangga dengan rajin demi ketahanan keluarga dan komunitasnya.
Selain dihadapkan pada banyak pilihan, remaja di AS juga bertemu beragam kepercayaan yang mungkin saling bertentangan. Setiap orang menganut agama yang berbeda. Apa yang diizinkan di rumah, dilarang di sekolah. Apa yang menurut ibunya boleh, tidak boleh menurut ayahnya. Sementara, hanya ada satu kepercayaan dan praktik agama di Samoa. Jika ada yang tidak percaya, pilihannya hanya jadi orang yang kurang saleh dan tidak ada keyakinan baru yang bisa ia pilih.
Menurut Mead, tidak tersedianya banyak pilihan dan kepercayaan adalah penyebab remaja di Samoa bebas dari gangguan psikologis. Mereka yakin bahwa hal yang mereka lakukan sehari-hari adalah hal yang memang harus mereka lakukan, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai di komunitasnya. Tidak ada rasa cemas karena merasa salah mengambil jurusan kuliah. Tidak ada rasa takut buat orang tua kecewa karena memilih berkarya seni ketimbang mengejar prestasi akademis.
Perbedaan lain, menurut Mead, adalah sikap masyarakat Samoa yang santai terhadap seks. Anak-anak muda, dikatakan Mead, bebas melakukan hubungan seks pranikah meski secara diam-diam. Bahkan, remaja laki-laki di Samoa masturbasi dengan teman-teman sebayanya dan menganggapnya sebagai permainan. Sedang remaja perempuan melakukan kegiatan masturbasi secara lebih tertutup. Cerita mengenai sikap masyarakat Samoa yang permisif terhadap seks ini adalah topik yang kontroversial dan sempat dipermasalahkan oleh pembaca buku Mead.
Masyarakat yang santai, pangan yang melimpah, lingkungan yang indah dan aman, minimnya pilihan dalam hidup, dan birahi yang tersalurkan tanpa rasa bersalah, adalah hal-hal yang menurut Mead membuat remaja Samoa tidak mengalami kesalahan fungsi psikologis (psychological malfunction).
Karya etnografi klasik yang cocok jadi bacaan santai
Coming of Age in Samoa atau Menjadi Dewasa di Samoa adalah buku pertama Margaret Mead yang langsung melejitkan dan mengabadikan namanya sebagai akademisi terkemuka di bidang antropologi. Namun, Sam Dresser, editor Aeon, mengatakan kalau Menjadi Dewasa di Samoa lebih layak disebut buku populer ketimbang akademis, karena dalam buku ini tidak ada catatan kaki dan tidak ada daftar pustaka. Buku ini hanya mengandung penafsiran yang sangat panjang mengenai Samoa.
Masyarakat yang santai, pangan yang melimpah, lingkungan yang indah dan aman, minimnya pilihan dalam hidup, dan birahi yang tersalurkan tanpa rasa bersalah, adalah hal-hal yang menurut Mead membuat remaja Samoa tidak mengalami… Share on XMeski begitu, bagi pelajar antropologi, buku ini tetap layak dibaca karena menjadi karya penting yang memperlihatkan fase awal kerja etnografi. Buku ini menunjukan argumen Mead mengenai metode penelitiannya, yaitu bagaimana sebagian besar tipe data yang dibutuhkannya tidak bisa diperoleh dengan metode penelitian kuantitatif dan bagaimana Mead menarik kesimpulan dari data yang dikumpulkannya.
Bagi pembaca umum, buku ini akan memberikan gambaran keunikan budaya asing, yaitu kehidupan remaja yang tanpa tekanan dan tuntutan tinggi dari masyarakatnya, sehingga para remaja ini melewati fase hidupnya dengan mudah dan ceria dan tanpa konflik dengan keluarga maupun komunitasnya.
Ariane Meida adalah lulusan Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia.
Artikel Terkait
Trauma Masa Kecil dan Kesehatan Mental Masa Dewasa
Masa kecil tidak hanya mempengaruhi perspektif kita, tetapi juga penafsiran dan penghayatan dari sebuah pengalaman negatif yang kita alami di masa selanjutnya.Bias Gender, Pembagian Kerja dan Pemberian Perawatan
Makna Bias Gender, Pembagian Kerja dan Pemberian Perawatan Di tahun 2018, seringkali kondisi masyarakat dunia digambarkan sebagai masyarakat yang semakin maju, terutama dalam keterkaitannya dengan hak-hak […]