Seruan Provokatif untuk Seluruh Penghuni Universitas
June 12, 2024Perang Bahasa di Masa Pergerakan
June 18, 2024Photo by Komunitas Bambu
RESENSI BUKU
Jalan Panjang Menuju Republik Harapan
oleh Riqko Nur Ardi Windayanto
Hari-hari ini kita hidup di Indonesia dalam dua situasi yang bertentangan.
Ada orang muda (akan) menduduki jabatan tinggi di republik ini. Dia dibenarkan lewat argumen “anak muda yang menginspirasi”. Saya yakin, pembaca Anotasi tahu bahwa orang muda tersebut ditopang oleh modal politik yang sangat besar. Tidak semua orang muda memiliki akses yang sama. Riset Tirto dan Jakpat justru menunjukkan bahwa keterbatasan dana membuat kaum muda enggan masuk di arena politik. Jadi, menginspirasi siapa dan apa yang diinspirasikan? Tidak ada.
Di mana pun dan kapan pun, peradaban, negara, dan masyarakat berhutang kepada perempuan. Sialnya, di republik ini, kekerasan menimpa perempuan sebanyak 289.111 kasus. Di luar data ini, kekerasan juga mewujud dalam berbagai bentuk: kekerasan bahasa, kekerasan berbasis media, dan sebagainya. Bagaimana perempuan sebagai mata air justru diperlakukan sebagai air mata? Ironis.
Sekitar Desember 2023 lalu, sebuah fakultas di kampus besar melarang paham gender tertentu, yakni lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Tindakan ‘melarang paham’ ini bisa diartikan memusuhi pengetahuan sebab itu dipelajari, misalnya, oleh mahasiswa ilmu sosial dan politik, filsafat, serta ilmu budaya. Jadi, fakultas pengetahuan memusuhi pengetahuan? Aneh.
Sekitar Agustus 2022, saya punya kesempatan berkunjung ke sebuah sekolah dasar di perkebunan di Banyuwangi selatan, Jawa Timur. Sekolah tersebut memiliki fasilitas yang amat terbatas. Suatu siang, sejumlah siswa berlatih pramuka. Yang mereka gunakan bukanlah bendera semafor merah-kuning, melainkan ranting dedaunan. Mereka tidak mempunyai alat pramuka. Bukankah negara mengingkari tujuan ‘hidupnya’, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa? Tentu.
Mengaktifkan Filsafat
Soal demokrasi dan politik, gender, serta pendidikan di atas hanyalah sedikit dari banyaknya persoalan di Indonesia. Kita bisa menderetnya lebih panjang dan deret yang makin panjang itu meyakinkan argumen saya bahwa kita menikmati Indonesia yang paradoks. Dalam situasi ini, saya pun teringat pada pidato kebudayaan Rocky Gerung, seorang tokoh filsafat, di Dewan Kesenian Jakarta bahwa republik harus dirawat meskipun pekerjaan ini melelahkan. Dalam keharusan ini, bagi saya, buku Obat Dungu Resep Akal Sehat: Filsafat untuk Republik Kuat karangan Rocky Gerung (2024) perlu dibaca sebagai modal merawat republik.
Demokrasi bersifat retak, tidak pernah sempurna, dan terus berada dalam ruang falabilitas, yaitu bisa dipermasalahkan, dipersoalkan, diperdebatkan, dan dipertanyakan ~ Riqko Nur Ardi Windayanto Share on XBuku ini memuat 85 tulisan, yang sebelumya terbit dalam berbagai format dan media sejak 1985-2018, dan ditulis dengan gaya yang bermacam-macam, dari yang bersifat catatan pendek, kajian secara teoretis, ulasan kompleks, gagasan preliminer (awal), hingga telaah yang meluas dan mendalam. Semua tulisan itu bisa dibaca dan dipahami sebagai satuan-satuan yang terpisah dengan berbagai topik, seperti politik, ideologi, demokrasi, masyarakat sipil, pembangunan kota, ekonomi, hukum, kebudayaan, sastra, gender, dan feminisme. Pada sisi lain, semua tulisan dapat pula—bahkan perlu—dibaca sebagai kesatuan tunggal yang saling menyempurnakan dalam menghadirkan suara. Pertanyaannya, apa yang terutama hendak disuarakan oleh Rocky Gerung dalam buku ini?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya berangkat dari kenyataan bahwa Rocky berasal dari tradisi akademik. Skripsinya di Departemen Filsafat, Universitas Indonesia saja berjudul “Marxisme Kultural dan Teori Kritis Jurgen Habermas”. Menurut Rocky, membicarakan filsafat Habermas berarti meletakkan analisis di wilayah suprastruktur (ideologi, nilai, budaya) sehingga hambatan yang secara ideologis menghalangi perubahan dapat dibongkar. Dalam upaya ini, filsafat Habermas beroperasi dengan mengerahkan perangkat-perangkat filosofis. Melalui pembacaan skripsi ini, saya melihat bahwa Rocky menggunakan filsafat secara emansipatoris (sebagai pembebasan) untuk mengungkapkan persoalan yang terjadi pada level ideologi, konseptual, atau paradigmatik, bukan teknis. Kerja pemikiran dan penulisan semacam itulah yang tampak dalam buku ini.
Filsafat yang Melawan Kepastian
Dalam buku yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu ini, berulang kali Rocky menegaskan bahwa demokrasi adalah realitas sosial. Artinya, ia berada dalam jangkauan bahasa manusia. Karena itu, demokrasi bersifat retak, tidak pernah sempurna, dan terus berada dalam ruang falabilitas, yaitu bisa dipermasalahkan, dipersoalkan, diperdebatkan, dan dipertanyakan. Secara singkat: demokrasi tidak pernah final. Namun, selalu ada upaya untuk memfinalkan kebenaran. Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Maka, barang siapa berupaya melawan rezim ini, berarti melawan Pancasila dan kekerasan adalah taruhannya.
Watak rezim semacam ini mengalir dan mengisi kehidupan politik Indonesia pasca-Reformasi. Padahal, upaya untuk membakukan kebenaran bertentangan dengan pilihan untuk hidup dalam dunia demokrasi modern. Upaya itu didukung oleh berbagai kekuatan: komunalisme (perkumpulan) yang tidak menghormati hak individu, kearifan lokal yang justru menjadi sarang patriarki, dan kekuatan agama yang bertolak belakang dengan keadilan feminis (seperti kasus peraturan daerah berbasis agama dan anggaran daerah yang buta feminisme). Korbannya adalah perempuan.
Dalam tulisan-tulisan yang dihasilkan pada era Reformasi, Rocky menyoroti berbagai lembaga: pemerintah, media, parlemen, masyarakat lokal, sipil, kampus, komunitas cendekiawan, dan partai politik. Bagi saya, nyaris semua tulisannya menekankan satu dalil: kehidupan bernegara harus diselenggarakan secara sekuler. Sekularisme bukan anti-agama. Justru, agama dibela karena sebagai urusan suci, nilai agama tidak perlu diturunkan menjadi urusan politik di bumi. Agama adalah praktik final, maka tidak kompatibel dengan demokrasi yang anti-finalitas. Sementara itu, sebagai praktik sekuler, Rocky mengingatkan bahwa demokrasi harus terbuka pada ide baru. Misalnya, ia mengajukan ide queer bahwa seorang gay bisa berhubungan dengan lesbian. Demokrasi mesti mengakui keberagaman pengalaman, orientasi, dan preferensi seksual.
Dalam urusan kehidupan sekuler, Rocky menunjukkan berbagai silang sengkarut. Warga kampus tidak paham feminisme; riset cendekiawan dijalankan atas pesanan, bukan untuk etos perubahan; kegagalan negara dalam menghormati hak asasi manusia; juga pers yang melupakan kontra etis sebelum menentukan posisi keberpihakan (dalam kasus Pilpres 2014). Lagi pula, pers juga tidak cukup awas untuk membongkar bahwa transaksi kepentingan, oligarki, dan feodalisme partai-partai pengusung sama-sama membayangi kontestan pemilu. Richard Robison dan Vedi R. Hadiz membenarkan fakta ini bahwa elemen-elemen dalam patron Orde Baru (kekuatan politik, bisnis, militer) bercokol di semua partai besar. Dalam kondisi politik demikian, rakyat hanyalah suara yang dikeruk untuk mengakumulasi kekuasaan saat proses politik berlangsung. Setelah itu, sirkulasi kekuasaan dibagi-bagi di kalangan elit.
Kondisi kepartaian inilah yang disorot oleh Rocky. Misalnya, sebagai alat demokrasi, ada apatisme (ketidakpedulian) generasi muda pada partai secara operasional, yakni pengelolaannya. Max Lane menengarai bahwa perkembangan partai-partai politik hanya mencerminkan faksi (kelompok) berdasarkan kepentingan ekonomi-politik sebagai praktik politik transaksional, bukan ideologi dan program. Bagi Rocky, demokrasi bersandar pada transaksi politik. Jika modal politik adalah reasoning—argumen, yang terjadi justru sebaliknya: pendidikan politik kurang dan kepentingan kartel berlebih.
Filsafat yang Merawat Republik
Dengan memahami sinopsis garis besar di atas, hal yang dapat digarisbawahi adalah demokrasi harus terus ditempatkan dalam ruang hakikatnya, yaitu ruang falabilitas (bisa dipermasalahkan, dipersoalkan, diperdebatkan, dan dipertanyakan). Dengan cara ini, ia dapat terbuka pada berbagai kebaruan ide sekaligus memiliki potensi untuk digugat. Ia tidak final dan, sebab itu, tidak boleh ada kebenaran dalam kehidupan demokrasi yang dianggap pasti. Saya kira, inilah ide mendasar yang hendak ditawarkan oleh buku ini. Melalui ide dasar inilah, Rocky dapat menunjukkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan atau disebabkan oleh praktik demokrasi, dari politik sampai gender-feminisme seperti yang saya sebutkan di atas.
Dengan penunjukan yang demikian, buku ini mengafirmasi kerja akademik Rocky Gerung seperti dalam skripsinya, yaitu mempersoalkan superstruktur. Dia menyelami berbagai persoalan dalam kehidupan demokrasi modern, yang berimbas pada berbagai praktik kehidupan, dari level negara sampai tubuh. Saya kira, perangkat filosofis utama yang dia gunakan untuk menganalisis hal itu adalah postrukturalisme. James Williams mengatakan bahwa kerja postrukturalis adalah aktivitas radikal dalam proses aktif untuk mengubah situasi tanpa norma, nilai, dan kebenaran yang tetap; bagi postrukturalisme, demokrasi harus terbuka pada berbagai kemungkinan baru.
Rocky menempuh kerja dekonstruksi (pemaknaan ulang) untuk membongkar kebenaran yang hendak difinalkan. Dalam mitologi, terbukanya kotak pandora adalah kesalahan perempuan yang mengumbar aib dunia. Rocky mendekonstruksi mitologi ini bahwa terbukanya kotak pandora justru menandakan kekuatan perempuan untuk menyingkap berbagai persoalan agar dunia paham yang mesti diperbuat untuk memperbaikinya. Karena itu, buku ini tidak sedang mengumbar aib, tetapi justru mengungkap nasib yang perlu diperbaiki dari negara yang memilih demokrasi. Demokrasi ialah realitas fantastis yang diterima. Artinya, meskipun demokrasi tidak pernah mencapai kesempurnaan dan kita hanya berupaya mencapai fantasi kesempurnaan itu, demokrasi tetap diperlukan. Hingga satu waktu, kita tidak menjumpai Indonesia yang penuh dengan paradoks.
Maka dari itu, kata Rocky Gerung, kita perlu mengaktifkan politik untuk menghindarkan diri dari pesimisme dan disilusi (kekecewaan). Kita merawat keberlangsungan republik ini dengan demokratisasi sebab itulah proyek harapan.
Menurut saya, untuk terus memproyeksikan harapan, tugas minimal yang dapat dilakukan bukanlah cinta tanah air yang naif, melainkan mencintai sekaligus membenci. Kita membenci untuk menjadi warga negara yang mencintai secara adil dan terbuka, yaitu mau melihat persoalan bukan sebagai aib yang harus dikubur dalam-dalam, melainkan persoalan yang layak diungkap terang-terang. Dengan cara ini, kita menjadikan republik sebagai rumah harapan, tempat kehidupan bersama bisa dijaga dan dirawat. Dalam upaya melaksanakan tugas ini, buku Rocky Gerung menyumbangkan energi intelektual agar kita tetap berjalan, kendati melelahkan, di atas jalan panjang menuju republik harapan.
Riqko Nur Ardi Windayanto menamatkan studi S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Gadjah Mada pada 2023. Saat ini ia menjadi asisten peneliti di almamaternya dan Klaster Sosial, Sekolah Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia. Pada 2024, diterima untuk menempuh studi S-2 pada peminatan filologi, Departemen Susastra, Universitas Indonesia. Secara akademik, tertarik pada bidang sastra Melayu, sosiologi sastra, dan naratologi. Di luar itu, mencoba menyempatkan diri untuk membaca buku-buku sosial politik dan humaniora.
Artikel Terkait
Matinya Cendekiawan Kampus
Kaum terpelajar menjadi anak tiri dengan berbagai macam tekanan yang lahir dari struktur opresif negara. Negeri ini lahir dari rahim kaum terpelajar. Namun, negeri ini seperti dibesarkan oleh kultur kekerasan yang sangat kuat dan cendekiawan dicurigai sebagai kelompok yang akan merubah status quo kekuasaan. Apakah memang negeri ini bukan tempat yang nyaman bagi para kaum terpelajar?Selamat Hari Pers Nasional, Ricky!
Terlepas dari wacana mana yang lebih dominan, perayaan hari pers nasional selalu terasa jauh dan asing serta tidak dekat dengan kita sebagai masyarakat biasa.Membayangkan Demokrasi di Indonesia: Trauma Kolektif dan Toleransi
Lirik lagu Mars Pemilu 2019 mencerminkan semangat demokrasi modern Indonesia dengan lugas hanya dalam sembilan baris singkat. Lagu ini menggarisbawahi pentingnya hak pilih rakyat bagi keberlangsungan negara Republik Indonesia sebagai negara demokrasi muda yang hampir berusia 74 tahun. Lalu bagaimana keadaan demokrasi Indonesia saat ini?