Reproduksi dan Resistensi: Neoliberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia yang Terdigitalisasi
May 29, 2024Mengapa Istilah ‘Tobrut’ Berbahaya?
June 5, 2024Photo by Jixiao Huang on Unsplash
OPINI
Menunggu Senja Kala di Panti Wreda: Solusi atau Tragedi?
oleh Meutia Faradilla
“(Menaruh orang tua di) panti jompo (panti wreda) bukan budaya kita. Itu model luar negeri. Agama kita juga tidak mengajarkan untuk menelantarkan orang tua (di panti jompo),” begitu kurang lebih pernyataan Menteri Sosial Republik Indonesia, Tri Rismaharini, dalam sebuah kunjungan kerja di Aceh Utara pada 29 Mei 2024 lalu.
Bu Risma, sapaan akrabnya, kemudian menceritakan pertemuannya dengan salah satu lansia (orang lanjut usia) yang menderita penyakit stroke, tetapi tidak diasuh oleh anak-anaknya. Padahal, menurutnya, sang anak cukup mampu merawat karena memiliki sumber daya ekonomi yang memadai.
Menghabiskan usia senja dan menua di tengah orang-orang terkasih memang menjadi harapan kebanyakan orang. Namun, pernyataan Bu Risma itu bermasalah dan perlu kita telaah lebih dalam lagi.
Pertama, angka harapan hidup penduduk Indonesia terus naik setiap dekade sejak 1950-an. Artinya, penduduk Indonesia di masa lampau, atau yang saat ini sudah menjadi lansia, tidak terlalu dibebani kerja-kerja pengasuhan pada orang tua. Jadi, pengasuhan terhadap lansia itu sebenarnya bukan budaya yang turun temurun ada sejak zaman nenek moyang kita. Itu baru muncul di kemudian hari, ketika angka harapan hidup penduduk Indonesia semakin tinggi.
Kedua, ukuran keluarga inti di Indonesia juga semakin mengecil. Pada 1950-1970an, satu keluarga bisa mempunyai lebih dari empat anak. Sementara pada 2017 saja, satu keluarga rata-rata hanya memiliki dua orang anak. Hal ini tentu saja berdampak pada kerja-kerja pengasuhan dalam keluarga. Bila tujuh dekade yang lalu beban pengasuhan bisa dibagi pada beberapa orang anak, kondisi itu berbeda pada masa sekarang. Saat ini, beban pengasuhan lansia kemungkinan besar hanya bisa dibagi kepada dua atau tiga orang anak, bahkan ada yang harus menanggungnya sendiri karena ia merupakan anak tunggal.
Ketiga, menurut saya, masyarakat Indonesia saat ini semakin memahami otonomi individu, termasuk individu yang ada dalam keluarga. Seorang anak sekarang semakin didorong untuk menjadi mandiri, baik secara kepribadian maupun ekonomi. Seiring dengan perubahan lanskap ekonomi, tidak jarang juga kita temukan anak yang merantau jauh dari orang tua untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Situasi semacam itu relatif berbeda pada dekade-dekade sebelumnya.
Pada akhirnya, semua konteks tersebut akan berdampak pada pengasuhan lansia di kemudian hari. Mengapa?
Ketika Data Berbicara
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 yang berjudul “Statistik Penduduk Lanjut Usia 2023”, Indonesia sudah memasuki masa populasi menua sejak tahun 2021 di mana 1 dari 10 penduduk Indonesia masuk ke dalam kategori lansia. Dalam laporan tersebut, dapat kita lihat juga bahwa setiap 100 orang penduduk berusia produktif menanggung 17 orang lansia. Menariknya, jumlah lansia perempuan lebih banyak daripada lansia laki-laki dan jumlah lansia di perkotaan lebih banyak daripada di pedesaan.
Sebenarnya, temuan jumlah lansia itu seiring sejalan dengan data angka harapan hidup penduduk Indonesia yang terus mengalami kenaikan setiap tahun. Data menunjukkan bahwa pada 2022, angka harapan hidup penduduk Indonesia adalah 72 tahun, naik dari tahun 1980 di mana angka harapan hidup penduduk Indonesia saat itu hanyalah 57,7 tahun. Bila melihat data tersebut, maka pada 1980-an, tidak banyak lansia yang hidup di Indonesia, berbeda dengan saat ini di mana terdapat 11,75% lansia dari total 275,5 juta penduduk Indonesia.
Penduduk lansia adalah bagian dari populasi yang perlu diberikan perhatian khusus. Tantangan utama bagi lansia adalah penurunan kemampuan fisik dan kesehatan yang berdampak pada kualitas hidup sehari-hari mereka. Lansia sendiri merupakan kelompok rentan, baik secara ekonomi, kesehatan, maupun kebutuhan untuk memperoleh pengasuhan yang layak. Mereka mengalami penurunan, bahkan kehilangan produktivitas ekonomi, sehingga menjadi rentan terhadap berbagai risiko dan guncangan.
Selain itu, masih menurut laporan BPS, terdapat celah angka harapan hidup sehat penduduk Indonesia sebesar 8,5 tahun. Artinya, penduduk Indonesia hidup sehat hanya sekitar 62-63 tahun dari total usia 71-72 tahun. Angka itu menunjukkan bahwa setidaknya lansia akan membutuhkan pengasuhan selama 8 tahun kehidupannya.
Celah selama delapan tahun tersebut mengindikasikan bahwa satu keluarga harus memikirkan bagaimana mengasuh lansia di masa senjanya. Hal itu tidak sering terjadi di beberapa dekade sebelumnya. Maka, keluarga-keluarga yang ada hari ini harus mempertimbangkan betul keputusan mereka dalam merawat orang tuanya.
Dengan jumlah anak yang semakin sedikit dalam satu keluarga, beban pengasuhan yang dibagi pun akan semakin besar. Itu pun bila skenario yang kita bayangkan selalu ideal: anak berada di satu area tempat tinggal dengan orang tuanya. Bahkan, bila anak berada di satu wilayah tempat tinggal pun, mereka juga punya kebutuhan ekonominya sendiri. Hal itu membuat mereka belum tentu bisa memberikan pengasuhan atau pendampingan pada orang tuanya.
Mempertimbangkan skenario tersebut, maka kehadiran panti jompo bisa menjadi alternatif solusi bagi para lansia untuk mendapatkan pendampingan dan pengasuhan yang baik di masa senjanya.
Panti Jompo: Ruang Sepi yang Penuh Ratapan?
Menitipkan orang tua ke panti jompo bukan berarti membuang orang tua, seperti yang dipikirkan oleh Bu Risma. Ada beberapa kondisi di mana anak mungkin secara fisik mampu merawat orang tuanya, tetapi mereka tinggal di tempat yang berbeda. Dalam konteks lain, seorang anak juga punya beban pekerjaan lain yang harus ia dahulukan karena menyangkut keberlangsungan hidupnya.
Pertama, kita perlu menyadari bahwa lansia adalah individu yang punya agensi, sikap, pertimbangan, perasaan, dan pilihan hidupnya sendiri. Tidak semua lansia senang tinggal di kediaman sang anak. Karena lansia juga butuh bersosialisasi, meninggalkan akar tempat ia pernah hidup selama puluhan tahun bukanlah hal yang mudah, apalagi untuk memulai bersosialisasi di tempat yang baru di usia senjanya. Termasuk dalam sikap dan pilihan itu adalah lansia yang tidak ingin tinggal bersama dengan anaknya karena mereka tidak ingin menyusahkan sang anak atau karena ia merasa perlu hidup dengan otonominya sendiri. Pertimbangan dan pilihan tersebut nyata dan perlu kita hargai.
Pengasuhan lansia di panti jompo menjadi suatu pilihan yang perlu dipertimbangkan bagi lansia dan keluarganya. Pada prinsipnya, di panti jompo, lansia memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan sesama lansia.~ Meutia Faradilla Share on XKedua, sama seperti lansia, anak juga adalah individu yang punya agensi, sikap, pertimbangan, perasaan, dan pilihan hidupnya sendiri. Tidak semua anak mahir dan terampil dalam melakukan pekerjaan perawatan. Merawat orang tua, terutama orang tua yang sakit, apalagi sudah pikun, membutuhkan kemahiran, keuletan, dan kesabaran yang luar biasa. Tidak semua anak mampu dan memiliki energi lebih untuk mengurus orang tua, terutama setelah menghabiskan waktu seharian untuk bekerja mencari sumber penghasilan. Bila dipaksakan, tidak aneh kalau kita kerap mendengar kasus kekerasan pada lansia yang dilakukan oleh sang anak, baik dalam bentuk kekerasan fisik, verbal, maupun emosional. Malahan, kalau dibiarkan terjadi berlama-lama, hal itu akan semakin menurunkan kualitas hidup lansia itu sendiri.
Menimbang berbagai hal tersebut, pengasuhan lansia di panti jompo menjadi suatu pilihan yang perlu dipertimbangkan bagi lansia dan keluarganya. Pada prinsipnya, di panti jompo, lansia memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan sesama lansia. Mereka juga bisa mengikuti kegiatan-kegiatan yang sudah dirancang sedemikian rupa untuk memastikan kondisi fisik, kognitif (pikiran), dan psikis (jiwa) mereka tetap terjaga. Di panti jompo pula, pemantauan terapi obat bagi lansia bisa dilakukan dengan lebih intensif dan teratur. Pemantauan kondisi fisik juga bisa dilakukan dengan saksama apabila para lansia berada di panti jompo. Keuntungan-keuntungan itu berdampak pada kualitas hidup lansia di usianya yang sudah senja.
Masalah Lansia Sifatnya Struktural
Terlepas dari perdebatan tentang apakah menitipkan orang tua ke panti jompo merupakan budaya kita atau bukan, ada isu lain yang lebih penting dan perlu kita diskusikan. Kita perlu mempertanyakan, sejauh mana upaya yang dilakukan oleh negara untuk menjamin penghidupan yang layak bagi para lansia di Indonesia.
Pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2021 Tentang Strategi Nasional (Stranas) Kelanjutusiaan, sudah berupaya memberikan acuan bagi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk menyusun berbagai peraturan dan program terkait kelanjutusiaan. Lima strategi kelanjutusiaan yang disusun sudah terarah untuk meningkatkan kualitas hidup dan keamanan bagi para lansia. Namun, yang perlu kita cermati dan awasi bersama adalah implementasinya di lapangan. Berdasarkan laporan penelitian Prakarsa pada 2020, cakupan pelaksanaan berbagai program kelanjutusiaan dari pemerintah masih rendah. Beberapa kendala yang ditemui di lapangan antara lain masalah administrasi, pendataan, dan rendahnya keterlibatan pemerintah daerah.
Lebih jauh lagi, laporan Asian Development Bank pada 2021 juga menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 277 panti wreda dengan kapasitas tempat tidur mencapai 18.100. Dari jumlah tersebut, tiga panti wreda dikelola oleh pemerintah pusat, 71 lainnya oleh pemerintah lokal, dan 189 sisanya berstatus swasta. Meskipun jumlahnya cukup banyak, sebagian besar panti wreda tidak memberikan dukungan perawatan yang memadai bagi lansia, khususnya panti wreda yang dikelola oleh pemerintah. Misalnya, mereka tidak melakukan pemeriksaan awal yang memadai ketika lansia pertama kali datang, menyebabkan sulitnya mengidentifikasi kebutuhan lansia, baik kebutuhan secara fisik maupun psikologis. Berlainan dengan itu, panti wreda milik swasta memberikan paket layanan yang lebih beragam, tetapi mematok harga yang relatif lebih mahal. Situasi kualitas panti jompo di Indonesia lebih serius untuk diperdebatkan dalam rangka menangkal pandangan negatif masyarakat terhadap panti wreda.
Selain itu, mempertimbangkan kerentanan ekonomi lansia, pemerintah juga menginisiasi program perlindungan sosial untuk lansia yang diintegrasikan ke dalam Program Keluarga Harapan (PKH) di tingkat nasional maupun program-program serupa di tingkat daerah, seperti program ASLURETI (Asistensi Lanjut Usia Resiko Tinggi) di Aceh. Sayangnya, penelitian SMERU Research Institute menunjukkan bahwa penerima manfaat program tersebut hanya sekitar 2 persen dari total lansia di Indonesia. Meskipun tidak secara langsung berhubungan dengan kebijakan penyediaan panti jompo, situasi itu memengaruhi kesejahteraan lansia secara umum.
Tanpa memperbaiki permasalahan struktural tersebut, pengasuhan terhadap lansia akan selalu jatuh pada pundak keluarga. Padahal, negara juga memikul tanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan lansia. Pandangan masyarakat tentang panti jompo sebagai alternatif perawatan lansia pun akan selalu buruk dan keluarga yang memilih alternatif itu akan selalu dianggap durhaka berikut sederet label negatif lainnya. Dengan mengatasi masalah-masalah struktural di atas, kita berharap para lansia bisa tetap menikmati masa senjanya sebagaimana ia menikmati masa mudanya dahulu. Sementara itu, sang anak tetap bisa tetap memiliki kehidupan berkualitas dan hubungan yang baik dengan orang tuanya.
Meutia Faradilla, bisa dipanggil Muthe atau Dilla, adalah pengajar di Departemen Farmasi, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Selain dalam dunia farmasi dan kesehatan, ia juga memiliki minat pada topik feminisme, kesehatan mental, dan kesejahteraan sosial. Artikel-artikel hasil refleksi dapat dilihat di akun medium pribadinya (medium.com/@meutia.faradilla).
Artikel Terkait
Masalah Sosial, Solusinya Apa?
Masalah selalu akan berjodoh dengan solusi. Lalu, bagaimana dengan solusi dari beragam masalah sosial yang saling berkaitan dan sering kali melahirkan problem baru? Di tengah banyaknya solusi yang ditawarkan, ada satu hal yang mungkin sering luput dari alam pikiran kita; solusi itu bernama pemberdayaan atau empowerment.Spektrum Lansia yang Terlewat
Melekatnya berbagai identitas pada individu yang sudah lansia perlu dilihat sebagai suatu spektrum yang harus diperhatikan. Kekosongan pemahaman terhadap status ini akan menyuburkan bentuk-bentuk kerentanan pada lansia. Lansia berpotensi untuk mendapatkan kekerasan verbal, fisik, eksploitasi secara perekonomian, kerentanan dalam akses kesehatan, dan ditelantarkan oleh pemberi perawatan atau caregiver.