Menggali Makna Rasa Takut dan Strategi Pengendaliannya
January 15, 2024Kedudukan Ateisme dalam Wacana Kebebasan Beragama
January 26, 2024Photo by Marius Masalar on Unsplash
OPINI
Musik Pop memang Dirancang Pendek agar Cuan, tapi Perhatian Kita jadi makin Kusut
oleh Giofanny S.
Hari ini, saya menonton sebuah video yang menarik perhatian. Orang di video itu bilang kalau dua detik pertama adalah waktu krusial untuk mendapatkan perhatian penonton.
Lalu, saya ingat-ingat lagi. Selama ini, banyak lagu viral di aplikasi TikTok yang hanya memperdengarkan bagian reff atau intinya saja. Saya tahu penggalan lagu Cupid-nya Fifty-Fifty, “I’m feeling lonely,” tapi saya tidak tahu lagu penuhnya seperti apa.
Hal ini membuat saya teringat dengan sebuah cuitan yang viral tahun lalu. Cuitan ini menanyakan apakah menonton film atau series di kecepatan 1,5x itu bisa disebut menikmati karya dan menghargai tim pembuatnya? Jawabannya pun beragam: ada yang merasa menonton film di kecepatan normal kelamaan, ada pula yang bahkan berharap bisa mendapat jodoh yang mau menonton film di kecepatan 1,5x juga.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa konsentrasi kita semakin menurun. Attention span atau rentang perhatian yang berarti lama waktu seseorang untuk fokus pada suatu hal sebelum terdistraksi ternyata berkurang banyak.
Menyusutnya Rentang Perhatian Kita
Gloria Mark, dalam Attention Span: Finding Focus and Fighting Distraction, menulis bahwa kini rata-rata rentang perhatian orang hanya berada di 47 detik, sedangkan pada 2004 lalu, rata-rata attention span orang bisa sampai 150 detik di layar. Penelitian lain dari King’s College London menunjukkan bahwa 49% dari 2.000 orang dewasa merasa bahwa attention span mereka semakin sedikit. Penelitian lainnya dari Technical University of Denmark juga menyatakan bahwa rentang perhatian global semakin mengecil karena terlalu banyak mengonsumsi dan memproduksi konten. Itu berakibat pada menyusutnya rentang perhatian orang terhadap topik individual dan tingkat pergantian budaya populer yang semakin tinggi atau cepat.
Contoh sederhananya, dulu ketika film Avengers sedang viral-viralnya, banyak konten tentang Avengers dibuat dan banyak pula orang yang berbondong-bondong ke bioskop untuk menonton film besutan Marvel Cinematic Universe itu. Namun, perlahan-lahan, topik yang viral berubah dan orang-orang pun membicarakan hal-hal lain. “Semakin banyak konten yang dibuat, semakin cepat juga masyarakat merasa bosan,’’ kata Lorenz-Spreen, melansir dari VOX.
Kemarin sedang tren film Barbie buatan Greta Gerwig dan Oppenheimer besutan Christopher Nolan. Lalu, film atau hal apalagi yang akan viral besok?
Itu baru film. Bagaimana dengan musik?
Musik Pop dan Durasinya yang Memendek
Musik memang punya genre (tipe) yang sangat luas, tapi musik pop adalah genre paling populer saat ini. Pop menjadi top genre pertama di layanan aplikasi streaming seperti Spotify, Amazon Music, dan YouTube Music. Namun, di Apple Music, genre hiphop atau rap lebih berada di pucuk pertama. Di Amerika sana, remaja berusia 16-19 tahun merupakan pendengar terbanyak dari musik pop, sedangkan rock klasik didominasi oleh boomer dan millenial yang usianya lebih tua.
Musik pop sering didefinisikan sebagai musik yang sedang hits saat ini. Tidak sepenuhnya salah karena definisinya bisa berbeda-beda. Namun, yang paling membedakan adalah musik pop menggunakan chorus yang berulang-ulang dengan beat (ketukan) atau ritme yang bikin badan ingin joget. Melodi musik pop biasanya juga simpel dan bernuansa riang. Itu berbeda dengan musik rock yang didefinisikan Collins Cobuild English Dictionary sebagai musik yang memiliki beat sangat kuat dan dinyanyikan dengan kencang dalam suatu grup dengan latar gitar dan drum elektrik yang dominan.
University of California (UCLA), pada 2020, menunjukkan durasi rata-rata lagu yang rilis di Spotify hanya sekitar 3 menit 17 detik. Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa rentang perhatian pendengar menurun seiring waktu karena beragamnya hiburan yang bisa dikonsumsi. Sekarang ini, lagu yang populer di internet dan dimainkan di radio juga berdurasi rata-rata hanya sekitar 3 menit. Mengambil dari Big Time Musicians, rata-rata durasi lagu pop hanya 3 menit 30 detik, sedangkan lagu rock 4 menit 15 detik.
Penelitian seorang kritikus musik, Hubert Léveillé Gauvin, yang berjudul ‘Drawing listener attention in popular music: Testing five musical features arising from the theory of attention economy’ menemukan bahwa pembukaan lagu sekarang empat kali lebih pendek ketimbang musik di 1986. Hubert bilang bahwa intro (pembuka) lagu di era 80-an bisa bertahan sampai 20 detik, sedangkan rata-rata sekarang hanya 5 detik.
Pikiran sempit saya berkata kalau teknologi semakin maju, tentu bisa buat lagu semakin lama. Tapi, kenyataannya mengapa bisa berbeda? Salah satu alasannya adalah piringan hitam 45 rpm (revolusi per menit) yang muncul di tahun 1949 dan menggantikan 78 rpm. Saat itu, kalau band ingin lagunya diputar di radio, lagu harus menggunakan 45 rpm yang terbuat dari material vinyl, sehingga lebih mudah dibawa dan tahan lama. Rekaman 45 rpm atau bisa juga disebut single itu lebih murah, jadi bisa lebih mudah dibeli oleh masyarakat dan radio.
Antara Durasi dan Profit
Seberapa lama seseorang bisa fokus terhadap suatu hal menjadi ukuran seberapa produktif seseorang bisa berpengaruh terhadap ekonomi. Keyakinan bahwa fokus sama dengan waktu dan uang sudah menjadi bagian dari dunia periklanan modern. Fokus seseorang agar mendengarkan lagu hingga akhir itu sangat berharga sehingga banyak produk yang ingin mengambil perhatian seseorang sebanyak-banyaknya dengan cara ‘3 minutes rule’ yang artinya, agar komersial sukses, maksimal panjang suatu musik harus tiga menit. Awal mula ‘3 minutes rule’ ini formula dari ide ‘Drake Clock’ yang digagas oleh Bill Drake dan Ron Jacobs.
Ron Jacobs, yang waktu itu menjabat sebagai direktur program radio KHJ di Los Angeles, bisa me-review ratusan lagu dalam waktu setengah jam hanya dengan mendengarkan intro pada 4 detik pertamanya. Jacobs bilang bahwa ia tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan semua lagu yang ada di album, karena munculnya album baru setiap 90 menit sekali di Amerika. Single yang terpilih dimainkan di peak hour (jam sibuk) radio, tiga menit kemudian disusul dengan iklan, dan tujuh menit kemudian diikuti dengan obrolan atau berita. Bagi Drake dan Jacobs, lagu dan iklan didesain supaya sesuai dengan batasan waktu radio. Jika tidak, dua hal tersebut tidak akan bisa disiarkan.
Berdasarkan riset yang diambil dari Stat Significant-Daniel Parris, era 80-90an merupakan puncak artis berkreasi dalam musik dari segi durasi. Sementara itu, di era 50-an, durasi musik pop hanya 2 menit 30 detik dan di era 60-an bisa sampai sekitar 3 menit.
Kalau kamu adalah musisi pada era 60 dan70an dan ingin lagumu disiarkan radio, lagumu harus berupa single, karena kalau tidak, kamu akan kehilangan kesempatan untuk bisa hits (populer). ~ Giofanny S. Share on XIntinya, kalau kamu adalah musisi pada era 60 dan70an dan ingin lagumu disiarkan radio, lagumu harus berupa single, karena kalau tidak, kamu akan kehilangan kesempatan untuk bisa hits (populer). Tapi, bukan berarti tidak ada pengecualian: lagu Righteous Brothers bertajuk You’ve Lost That Loving Feeling yang berdurasi 3 menit 45 detik pun pernah menjadi sebuah hits. Durasi pendek 3 menit sempurna untuk radio agar bisa memperdengarkan iklan lebih banyak lagi di sela-sela lagu yang berarti membuat profit naik. Bagi produser utamanya, untuk apa membuat musik panjang yang tidak hit kalau bisa membuat musik pendek dan bisa muncul di stasiun radio?
Tren TikTok dan Berubahnya Lanskap Industri Musik
Daniel Parris berpendapat lain. Baginya, berkurangnya rentang perhatian merupakan hasil dari dinamika di industri musik itu sendiri. Menurutnya, iTunes dan streaming platform membedakan bagian single dan album yang membuat artis lebih berfokus mengkomersialisasi single daripada keseluruhan konsep album. Selain itu, streaming platform membayar artis per lagu berdasarkan jumlah pendengar, bukan total waktu mendengarkan. Terlebih lagi, streaming pada 30 detik pertama bisa dibayar sejumlah $0.0030 sampai $0.0038, bukan dari total mendengarkan 310 detik lamanya lagu.
Lainnya, penelitian Hubert berkesimpulan bahwa streaming platform saat ini menciptakan ekosistem ketat yang mendorong tingkat persaingan demi mendapatkan perhatian pendengar. Selain itu, selama tiga dekade ini, perubahan besar yang terjadi pada industri musik adalah jumlah kata pada judul berkurang, rata-rata tempo musik meningkat, waktu sebelum masuk suara (nyanyian) telah lebih singkat, dan waktu sebelum judul dinyanyikan juga berkurang.
Tren TikTok semakin berperan penting pada label besar, terutama di Amerika Serikat. Banyak label musik yang meminta artis mengunggah lebih banyak lagu di TikTok. FKA Twigs, Florence and The Machine, dan Charli XCX termasuk jajaran artis yang komplain karena tekanan dari label. Teringat pula pada kasus Halsey ketika ia tidak bisa merilis lagu baru, kecuali lagunya viral di TikTok. ”Semuanya cuma tentang marketing (pemasaran) dan mereka melakukan ini kepada banyak artis,’’ kata Halsey di video TikToknya.
Charlie Harding, salah satu host podcast Switched On Pop juga berkata kepada VICE, “TikTok telah membuat dampak kepada bagaimana musisi menulis lagu. Platform itu merupakan salah satu yang paling penting untuk menemukan dan memperkukuh musik lama dan baru.’’
Penelitian Lamere pada 2014 menerangkan data Spotify tentang jutaan konsumen yang menggunakan tombol “skip (lewati)”. Hasilnya, ada 21% dari miliaran konsumen mengeklik tombol skip pada 5 detik pertama, kemudian 34% setelah 20 detik pertama. Sementara itu, hanya ada 51% lagu yang benar-benar didengarkan sepenuhnya.
Karena banyaknya lagu yang sengaja dilewati oleh pengguna, algoritma pun akan lebih mempromosikan lagu-lagu pendek agar pendengar tetap mau mendengarkan (engaged/stay). Ini, secara tidak langsung, menyukseskan lagu yang berdurasi pendek itu. Dengan pendeknya durasi lagu, pendengar bisa semakin cepat mengganti ke lagu lain, sehingga lagu-lagu tersebut berkesempatan lebih banyak untuk masuk ke dalam playlist (daftar dengar) yang terkenal.
Durasi Pendek lebih Menjanjikan?
Lagu-lagu viral seperti Heat Waves, CUPID, Die For You, dan Golden Hour yang hanya berdurasi sepersekian detik memiliki reff yang ramah di telinga banyak orang. Orang-orang memang bisa dengan mudah mengenal bagian yang viral dari sebuah lagu. Namun, ketika disodorkan lagu dengan versi durasi penuh, belum tentu mereka akan mau mendengarkan apalagi dengan attention span yang sebentar.
Lebih lanjut, entertainer Charlie Harding berkata bahwa lebih pendek lagu berarti lebih pendek musik pembuka sehingga bisa mendapatkan perhatian penikmat musik secara lebih instan. “Setidaknya ada empat perubahan karena TikTok: durasi lagu semakin pendek, hook up di awal, vibe snatching dan lo-fi estetik,’’ jelas Harding, dilansir dari VICE.
Semua penjelasan di atas berhubungan di benang merah yang sama. Produksi musik yang membuncah, radio/platform dan label pun menginginkan musik durasi pendek agar lebih cuan (menghasilkan uang lebih banyak). Selain itu, terlalu banyaknya hal di internet membuat orang lebih terbiasa mendengarkan musik dalam durasi 3 menit, bahkan diperpendek lagi hanya beberapa detik untuk video singkat. Hal itu membuat rentang perhatian kita, secara tanpa sadar, jadi berkurang.
Giofanny S. adalah seorang mahasiswa jurnalistik yang sedang ingin mengeksplor berbagai topik, terutama budaya populer, isu minoritas, dan HAM. Kesehariannya hanya riset untuk liputan, menulis artikel, membaca novel dan mendengarkan Ryuichi Sakamoto serta meminum teh hijau hangat. Suka nonton film yang dingin dan lambat.
Artikel Terkait
Lagu Lawas dan Harmoni Antargenerasi
Walaupun kaitan antara musik dan kelancaran dialog antargenerasi belum terlihat begitu mencolok, saya terka musik punya daya yang besar dan berarti untuk memperlancar hubungan itu. Indonesia bisa berstrategi melalui lagu lawas sebagai pemantik nostalgia dan komunikasi.Dari Dangdut hingga Frankfurt
“Suka dengerin musik apa?” suatu saat teman kencan saya bertanya seperti itu. Saya diam sejenak. “Dangdut. Sekarang, sih, lagi suka dengerin Via Vallen atau Nella Kharisma.” jawab saya pada akhirnya. Lalu, saya melihat raut muka teman kencan saya sedikit berubah. Tiba-tiba dia mengajak saya pulang. “Adakah yang salah dengan dangdut?”Musik, Murakami, dan “Ma”
Renungan Bayu tentang identitasnya sebagai seorang jurnalis, penulis fiksi dan skenario di artikel ini sangatlah menarik. Ia menegaskan betapa konsep diri bisa berbeda, tergantung dari kacamata mana kita melihat.