Tanah Air Mesra yang Dikutuk Amnesia
December 18, 2021Tren Ikoy-ikoyan sebagai Produk Budaya
January 4, 2022OPINI
Bagaikan Lagu “Rocker Juga Manusia”, Narapidana Juga Manusia
oleh Tengku Raka
Kondisi overcrowding di Indonesia terjadi karena buruknya sebuah kebijakan. Salah satunya kebijakan narkotika di Indonesia yang masih sangat senang memenjarakan seseorang.
“Life must goes on…” ucap Ruth Slatter (diperankan oleh Sandra Bullock) dalam sebuah percakapan di film The Unforgivable, sebuah film yang menceritakan tentang seorang narapidana perempuan yang telah menjalani masa hukumannya dan berniat mencari adik kecilnya yang terpisah selama 20 tahun. Sayangnya, pasca menjalani hukumannya, ternyata masyarakat di luar sana banyak yang tidak bisa menerima kehadirannya.
Ruth Slatter sebenarnya hanya ingin menjalankan kehidupan secara normal, sebagai individu yang baru. Sayangnya, penerimaan publik terhadap dia tidak seindah yang dibayangkan. Sebagai narapidana atas kasus pembunuhan–membunuh seorang Polisi–Ruth harus berhadapan dengan kepahitan, ia dijauhi rekan kerja, dipukuli, bahkan diancam dibunuh oleh anak dari polisi yang dibunuhnya.
Film The Unforgivable menceritakan secara baik sekaligus menunjukkan bagaimana sikap sebagian masyarakat terhadap narapidana, dengan menganggap mereka sebagai seorang kriminal sekalipun mereka telah menjalani masa hukumannya. Itulah faktanya, di Indonesia pun kondisi tidak jauh berbeda seperti dalam film ini, banyak narapidana yang masih mendapatkan stigma, hingga mendapatkan perlakuan yang dinilai merendahkan martabat narapidana dan melanggar hak asasi.
Kondisi Penjara dan Narapidana
Jika membicarakan narapidana, kita tidak bisa melepaskannya dengan kondisi penjara. Di Indonesia sendiri kondisi penjara berapa pada posisi mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, saat ini penjara di Indonesia mengalami overcrowding sebesar 260%, separuhnya merupakan narapidana narkotika dan lebih dari 100%-nya hanya pengguna narkotika. Hal ini pun diamini secara tidak langsung oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dalam sebuah wawancara di sebuah media nasional. Ia mengatakan jika Indonesia mengalami over kapasitas penjara, hal ini didominasi oleh narapidana narkotika. Yasonna melanjutkan, “sangat aneh sekali satu jenis crime (kejahatan), yaitu kejahatan narkotika, mendominasi 50% isi lapas–there is something wrong.” Apa yang disampaikan oleh Pak Menteri, Yasonna Laoly adalah logis. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang bisa terjadi.
Seperti bom waktu, overcrowding bisa “meledak” kapanpun dan dimanapun. Seperti yang terjadi pada peristiwa September 2021 lalu, yakni kebakaran lapas Lapas Kelas 1A Tangerang yang memakan korban 49 orang. Bukan sebuah kebetulan, faktanya Lapas Kelas 1A merupakan tempat (blok) narapidana narkotika menetap. Tidak hanya sekali, peristiwa kebakaran ini merupakan peristiwa yang berulang terjadi. Kebakaran lapas adalah manifestasi dari kegagalan negara dalam melindungi, dan menghormati hak seorang narapidana.
Seperti bom waktu, overcrowding bisa “meledak” kapanpun dan dimanapun. ~Tengku Raka Share on XJika dilihat lebih jeli lagi, overcrowding nyatanya menyebabkan banyak masalah, seperti menciptakan kondisi yang tidak sehat bagi narapidana, mulai dari rendahnya sanitasi, kurangnya sirkulasi udara, dan minimnya asupan nutrisi turut berkontribusi pada penurunan kondisi kesehatan WBP dan tahanan.
Permasalahan yang ada semakin diperburuk dengan ketidaksiapan anggaran yang cukup untuk penjara. Pasalnya untuk anggaran kesehatan saja, negara hanya menggelontorkan anggaran kesehatan kurang lebih sekitar 30 ribu rupiah bagi narapidana setiap tahunnya. Kamar sel yang penuh desak, karena keterbatasan kamar, menyebabkan banyak narapidana yang harus rela tidur di koridor, bahkan banyak dari mereka juga harus bertarung dengan ketidaknyamanan yakni tidur seperti kelelawar.
Selain itu, kondisi penjara yang penuh berpotensi untuk memunculkan kejahatan baru, salah satunya peredaran narkotika di dalam lapas, berdasarkan data dari LBH Masyarakat (LBHM) tahun 2019, ditemukan 152 kasus peredaran dan upaya penyelundupan narkotika ke dalam penjara. Hal ini terjadi karena kebijakan yang salah penerapan, seperti yang sudah disebut sebelumnya, narapidana narkotika mendominasi jumlah narapidana di Indonesia kondisi overcrowding membuat mereka (pengguna) berbaur dengan narapidana narkotika lainnya yang merupakan bandar-bandar atau disebut dengan pemain.
Kenapa Terjadi dan Harus Bagaimana?
Kondisi overcrowding di Indonesia terjadi karena buruknya sebuah kebijakan. Salah satunya kebijakan narkotika di Indonesia yang masih sangat senang memenjarakan seseorang. Slogan war on drugs (kedepannya kebijakan war on drugs) yang dibanggakan pemerintah Indonesia justru tidak berdampak pada menurunnya angka kejahatan narkotika di Indonesia, dan hanya mengirim korban, dalam hal ini pengguna narkotika ke dalam penjara, padahal mereka adalah korban dari peredaran gelap narkotika.
Global Commission on Drug Policy menyebutkan jika sejak tahun 2018 saja terdapat 269 juta orang pengguna narkotika di seluruh dunia, 10 juta lebih pengguna narkotika berada di penjara, 20% karena kepemilikan narkotika. Bahkan menariknya war on drugs ini telah menghabiskan sekitar $100.000.000 setiap tahunnya. Bagaimana dengan Indonesia? Jumlah ini belum diketahui secara pasti, namun secara garis besar war on drugs sudah menghabiskan cukup banyak biaya. Bayangkan jika biaya sebesar itu dipergunakan untuk pemenuhan hak-hak narapidana, tentunya kondisi ‘mengenaskan’ di dalam penjara akan berubah secara signifikan.
Lantas apa solusi yang tepat untuk menghentikan overcrowding, stigma dan diskriminasi terhadap mereka?
Hal pertama yang bisa dilakukan adalah merubah kebijakan. Tidak sampai di situ, perubahan kebijakan ini juga harus dibarengi dengan implementasi yang benar agar tidak lagi mengirimkan korban ke dalam penjara lagi.
Selain itu, mengubah perspektif peradilan pidana, seperti yang terjadi pada Belanda, yang menerapkan mekanisme penyelesaian pidana di luar sistem peradilan. Menurut Miranda Boone, Profesor Kriminologi dari Universitas Leiden, keberhasilan Belanda dalam kebijakan peradilan pidananya criminal justice-nya berimplikasi baik bagi sistem pemasyarakatannya.
Hal selanjutnya yang mesti dilakukan, yang berkaitan dengan martabat narapidana, adalah dengan kembali melihat, menerapkan, dan mengimplementasikan praktik-praktik baik dalam Mandela Rules, sebagaimana tercantum dalam Rule 1—setiap narapidana harus dihormati haknya dan dianggap sebagai manusia seutuhnya.
Untuk menghentikan stigma dan diskriminasi. Kita bisa mulai dengan memberikan dukungan, dan sikap terbuka kepada anggota keluarga, teman, sahabat yang merupakan mantan ataupun salah satu narapidana. Hal ini perlu dilakukan, sebab mereka membutuhkan dukungan bukan stigma ataupun diskriminasi. Perlu diingat jika sistem dukungan yang kuat itu datang dari orang-orang terdekat.
Pada akhirnya, tidak ada perbedaan antara manusia yang berada di dalam penjara dengan di luar penjara, mereka hanya terpisahkan oleh dinginnya pintu besi penjara. Seperti judul lagu “Rocker Juga Manusia”, Narapidana juga manusia. Memanusiakan manusia adalah jawabannya.
Pada akhirnya, tidak ada perbedaan antara manusia yang di dalam penjara dengan di luar penjara. Seperti judul lagu “Rocker Juga Manusia”, Narapidana juga manusia. Memanusiakan manusia adalah jawabannya. ~Tengku Raka Share on XTengku Raka adalah seorang yang saat ini sedang bergelut dengan dunia kampanye kemanusiaan. Seorang yang menggemari semua tulisan tentang sejarah. Setiap ada kesempatan kerap kali mendokumentasikan kehidupan manusia disekitarnya lewat kamera.
Dapat dihubungi melalui akun sosial media Twitter: @rakafathr.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini