Apa itu Neurodiversity?

Neurodiversity atau keragaman dalam fungsi otak adalah pemahaman bahwa otak manusia memiliki cara berpikir dan merasa yang berbeda, dan variasi ini natural. Neurodiversity juga dapat diterjemahkan sebagai “keragaman saraf” dalam bahasa Indonesia.
Dalam bahasan seputar neurodiversity, kita akan temukan dua istilah;  Neurodivergent adalah sebutan untuk individu dengan variasi fungsi otak yang dianggap tidak umum seperti autisme, ADHD, disleksia, dispraksia, dan lainnya. Sementara itu, neurotypical merupakan sebutan untuk individu dengan variasi fungsi otak yang umum ditemukan di dalam masyarakat sehingga dipandang lebih normal.
Neurodiversity

Dari Disleksia sampai Autisme

Ada banyak variasi yang masuk ke dalam kategori neurodivergent, mulai dari ADHD, Autisme, Disleksia, Dyspraxia/ Developmental Coordination Disorder (DCD), Tourette Syndrome (TS), Dyscalculia, hingga Dysgraphia.
Variasi-variasi ini tadinya dikenal dengan istilah neurodevelopmental disorder atau gangguan fungsi otak karena dianggap memengaruhi perkembangan otak sehingga tumbuh tidak normal. Konsep neurodiversity menantang asumsi negatif yang telah umum beredar tentang variasi–variasi yang bukan neurotipikal.Kalau ada begitu banyak variasi fungsi kerja otak, bagaimana bisa ada satu saja yang “normal”?

Kebutuhan dan Tantangan Neurodivergent

Ragam fungsi otak yang tidak umum biasanya direduksi masyarakat sebagai kecacatan. Padahal, pengalaman yang dirasakan oleh seorang neurodivergent kompleks dan bernuansa beragam. Dengan pemahaman yang baik, tidak jarang kita menemukan kekuatan dalam perbedaan. Dengan adanya dukungan dan akomodasi yang tepat, individu neurodivergent bisa mengembangkan diri dan kemampuan dengan baik. Karena itu, kita pemahaman tentang pengalaman individu neurodivergent menjadi penting. Klik nama ragam fungsi otak di bawah untuk pahami kebutuhan mereka lebih jauh.

Autisme

Sensitivitas terhadap stimulus membuatnya kerap tidak nyaman bersosialisasi. Contohnya tidak nyaman menatap muka atau disentuh. Akibatnya, mereka dianggap aneh.

Disleksia

Sering kali dicap bodoh karena kesulitan membaca, menulis atau menyusun pikirannya.

ADHD

Sering mendapat label hiperaktif, sulit memperhatikan, dan pembuat masalah karena tidak mampu mengendalikan dirinya.

Dispraksia

Individu dengan dispraksia sering dibuat minder saat berpartisipasi di kegiatan bersama karena dianggap ceroboh, berantakan, dan lamban.

Sindrom Tourette

Teman-teman dengan sindrom Tourette sering dianggap aneh karena tiba-tiba membuat gerakan atau mengucapkan sesuatu secara berulang.

Lainnya
Ada banyak lagi keragaman syaraf seperti sindrom OCD (Obsessive Compulsive Disorder), disgrafia, sindrom Irlen, diskalkulia dan lain-lain.
Selain sulitnya memperoleh akomodasi, individu neurodivergent juga harus menghadapi pandangan masyarakat yang penuh stigma. Hal ini kerap menyebabkan perundungan (bullying) atau diskriminasi di tempat kerja.

Melawan Stigma, Membongkar Konstruksi Sosial

Setiap masyarakat memiliki konsep apa yang baik dan buruk, apa yang normal dan tidak normal. 3 dari 10 orang adalah neurodivergent. Meski begitu, memiliki ragam fungsi otak yang “berbeda” masih dianggap tidak normal. 

Tapi, perlu kita ingat bahwa konsep ‘tidak normal’ dan ‘normal’ dibentuk oleh masyarakat; sebuah konstruksi sosial yang dirancang dan bisa dibentuk ulang. Sama halnya dengan bagaimana dulu wanita karier dianggap sesuatu yang tidak normal, sementara kini wanita karier menjadi sesuatu yang normal.

Model Disabilitas

Dalam kesehariannya, individu neurodivergent bisa menemukan berbagai hambatan. Ketika sampai jadi penghalang dalam berkegiatan, hambatan tersebut dapat dibilang memunculkan disabilitas. Tapi apa itu disabilitas? Tergantung lensa yang digunakan, ada berbagai cara mendefinisikan disabilitas.

Neurodiversity sebagai Sebuah Gerakan

Istilah neurodiversity muncul pada akhir 1990-an dan diperkenalkan oleh Judy Singer, seorang sosiolog yang fokus mempelajari spektrum autisme. Dia menolak gagasan bahwa autisme merupakan gangguan yang sudah pasti menyebabkan berkurangnya kualitas hidup seseorang.

Menurutnya, otak individu neurodivergent bekerja dengan cara yang berbeda dengan otak orang kebanyakan (neurotypical). Istilah ini kemudian menyebar dengan cepat di antara aktivis di komunitas autisme dan lainnya. Mereka menggunakan istilah untuk melawan stigma dan mendukung inklusivitas di sekolah dan tempat kerja.

 

Logo neurodiversity "infinity"

 

Gerakan tersebut disimbolkan oleh simbol infinity yang bermakna keberagaman otak manusia dan menekankan bahwa tujuannya bukan selalu untuk “menyembuhkan”, melainkan mendukung dan memberdayakan individu neurodivergent agar bisa menjadi bagian dari masyarakat.

Bagaimana gerakan neurodiversity di Indonesia?

Sayangnya, kesadaran seputar neurodiversity di Indonesia masih sangat rendah. Jika pun ada, biasanya kesadaran dan dukungan yang tersedia hanya berfokus pada anak-anak. Tak hanya itu, representasi neurodivergent di media juga terus mempertegas stigma buruk. 

Gambar adam levine menderita penyakit adhd

Pembingkaian ragam fungsi otak sebagai penyakit mengabaikan kompleksnya pengalaman seorang neurodivergent.

Screenshot artikel tentang Gerakan Neurodiversity di Indonesia Dinilai Masih Rendah

Ragam fungsi otak berbeda dengan penyakit. Individu neurodivergent memiliki tantangan dan kelebihan yang berbeda dengan individu neurotipikal. Karena itu, diperlukan dukungan yang sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Kadang, tantangan ini bersifat sosial seperti diskriminasi. Kadang juga, tantangan bisa bersifat medis seperti kecemasan, masalah pencernaan, atau sakit kepala berlebih.

 

Artikel di jakarta post tentan autistic diplomacy

Penggunaan ragam fungsi otak sebagai sinonim untuk sifat-sifat negatif datang dari stigma yang ditempelkan masyarakat pada individu neurodivergent. Stigma ini sering kali tidak benar dan sangat berbahaya. Sayangnya istilah-istilah ini secara umum diterima oleh masyarakat, sehingga bahkan bisa digunakan di ranah formal.

Tantangan di tempat kerja
Meski neurodiversity diketahui membawa perspektif baru yang menguntungkan untuk perusahaan, data International Labour Organization menunjukkan bahwa 80% individu neurodivergent menjadi pengangguran. Di dunia kerja, individu neurodivergent tetap menemukan tantangan; mulai dari sistem rekrutmen yang tradisional hingga lingkungan yang tidak suportif.

Wawancara sebagai penentu rekrutmen

Mengukur performa kerja karyawan

Kurangnya akomodasi sensorik

Komunikasi yang tidak sesuai

Executive Dysfunction

Proses Kognitif dan Adaptasi