Mengingat Peristiwa 1965: Jalan Terjal Mencari Keadilan
September 30, 2023Apa itu Keadilan?: Sebuah Perdebatan Tanpa Akhir
October 17, 2023Photo by Gerard Van der Laun on Flickr
OPINI
Oppenheimer dan Teknokrasi dalam Politik
oleh Ridho Izzulhaq
Saat saya membuat tulisan ini, saya sendiri sejujurnya belum menyaksikan film Oppenheimer. Meskipun demikian, saya mencari tahu sosok J. Robert Oppenheimer, fisikawan teoretis Amerika Serikat, yang memimpin pengembangan bom atom dalam Proyek Manhattan selama Perang Dunia II. Tak disangka, proyek itu membawanya pada penyesalan dan mendorongnya melakukan aktivisme anti-nuklir pada babak terakhir kehidupannya.
J. Robert Oppenheimer, sama seperti banyak terpelajar lain di era 1930-an, ikut mengutuk munculnya kekuatan politik fasis di Jerman. Ia mengekspresikan pandangan politiknya dengan mengikuti berbagai diskusi bertemakan sosialisme dan memberikan donasi rutin pada ilmuwan yang mencoba melarikan diri dari Jerman.
Pandangan politik itu agak mirip dengan Albert Einstein, rekan sejawatnya yang juga sempat menulis artikel berjudul “Why Socialism?” pada 1949. Namun, dalam surat yang ia tulis untuk saudaranya, Frank Oppenheimer, ia mengatakan, “I need physics more than friends (saya lebih membutuhkan fisika daripada teman).” Surat itu mengisyaratkan bahwa Oppenheimer lebih memilih jalan sunyi sebagai seorang ilmuwan ketimbang mengikuti kontestasi politik atau berambisi menjadi pejabat publik. Sementara, Albert Einstein mengalami hal yang berbeda, dimana ia sempat diusulkan menjadi presiden di awal berdirinya negara Israel pada 1952.
Teknokrat dan Reformasi Ekonomi Tiongkok
Ide meletakkan ilmuwan, ekonom, dan insinyur sebagai pengambil keputusan dan pembuat kebijakan publik bukanlah ide baru. Ide yang disebut dengan teknokrasi ini menjadi besar pada awal abad ke-20, ketika Amerika Serikat mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat berkat industrialisasi.
Teknokrasi pertama kali diprakarsai oleh insinyur-insinyur progresif, seperti William H. Smyth serta digambarkan sebagai sebuah tatanan masyarakat yang diatur oleh ilmuwan dan insinyur. Dua tahun setelahnya, Thorstein Veblen, dalam tulisannya yang berjudul “Engineers and the Price System”, merumuskan konsep teknokrasi yang ia sebut sebagai konsep yang berfokus pada peran insinyur dalam mengelola sumber daya dan pengambilan keputusan ekonomi.
Salah satu negara yang memberikan peran besar pada teknokrat untuk mengelola urusan publik adalah Tiongkok. Dalam buku Republik Rakyat China: dari Mao Zedong sampai Xi Jinping yang ditulis oleh Michael Wicaksono, Presiden pertama Tiongkok, Mao Zedong, mula-mula memperkenalkan Great Leap Forward atau lompatan maju ke depan guna memajukan perekonomian. Kebijakan itu melibatkan sejumlah program radikal yang tidak berbasis pada kajian dan pengetahuan, seperti membangun sistem pertanian komunal (kolektivisasi) yang mengakibatkan kelaparan massal dan penurunan produksi pangan secara drastis. Selain itu, kampanye pembasmian burung sebagai hama juga mengganggu ekosistem dan menyebabkan ledakan populasi hama serangga. Akibatnya, jutaan orang di Tiongkok meninggal karena kelaparan, terjangkit penyakit, dan kekurangan pangan.
Pada masa itu, terjadi pula konflik antara politisi komunis dengan para intelektual atau ilmuwan yang dikenal dengan istilah “red versus expert”. Sejumlah atribut organisasi ilmiah, seperti kebebasan dalam pemilihan topik penelitian, penelitian berorientasi internasional, dan berfokus pada kelompok peneliti yang profesional daripada persoalan administratif, dianggap sebagai unsur borjuis dan dikecam. Pada masa ini, pengakuan terhadap ilmuwan sering kali bergantung pada loyalitas politik daripada keahlian profesional mereka. Hal itu menghasilkan kerusakan besar pada ilmu pengetahuan dan teknologi di Tiongkok yang ditandai dengan banyaknya kegiatan riset ilmiah yang terhenti dan institusi pendidikan tinggi yang mengalami permasalahan serius.
Tragedi itu memberi pelajaran berharga pada Deng Xiaoping, Presiden Tiongkok berikutnya (1978-1989), untuk melakukan reformasi kebijakan secara lebih terbuka. Hal itu ia lakukan dengan menyertakan para teknokrat untuk mengelola sumber daya dan mengambil keputusan ekonomi. Melalui reformasi ekonomi dan kebijakan terbuka yang diperkenalkannya pada awal 1980-an itu, Xiaoping menggeser fokus kebijakan Tiongkok dari yang berbasis ideologi politik menjadi pembangunan ekonomi yang lebih pragmatis. Xiaoping memahami bahwa para teknokrat memiliki pengetahuan teknis yang sangat berharga untuk mengembangkan ekonomi Tiongkok. Oleh karena itu, dia memberikan lebih banyak kesempatan kepada teknokrat untuk berkontribusi dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi.
Salah satu teknokrat yang memiliki peran penting pada masa itu adalah Zhao Ziyang, seorang sarjana di bidang teknik elektro yang dikenal mendukung reformasi ekonomi dan modernisasi negara. Ia memegang beberapa posisi kunci dalam pemerintahan, termasuk menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok (1987-1989) dan Perdana Menteri Tiongkok (1980-1987). Sebagai seorang teknokrat, Ziyang mendukung perubahan ekonomi yang lebih terbuka dan berbasis pasar, yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di Tiongkok selama era tersebut.
Dalam dunia industri, reformasi ekonomi membuka keran kebangkitan industri teknologi di Tiongkok. Salah satu perusahaan yang lahir dan tumbuh di era itu adalah Huawei, didirikan pada tahun 1987 oleh Ren Zhengfei di Shenzhen. Berawal dari produksi perangkat komunikasi skala kecil bagi tentara pembebasan di desa-desa, Huawei kini menjelma menjadi pemain utama dalam pasar peralatan jaringan, perangkat seluler, dan teknologi 5G. Huawei juga mengklaim telah mempekerjakan lebih dari 202.000 orang di seluruh dunia dan menjadi perusahaan dengan riset dan pengembangan terbesar keempat di dunia menurut EU Industrial R&D Investment Scoreboard pada 2022.
Menyukseskan Teknokrat pada Pemilu Amerika Serikat
Bila Tiongkok baru berfokus pada teknokrasi di dekade 1980-an, Amerika Serikat sudah memulainya lebih awal. Herbert Hoover, Presiden ke-31 negara tersebut, merupakan seorang insinyur pertambangan dan pengusaha yang menjabat sejak 1929 sampai 1933. Sebelum menjadi presiden, dia telah bekerja di berbagai posisi di pemerintahan, seperti menjadi Menteri Perdagangan di bawah Presiden Warren G. Harding dan Calvin Coolidge.
Tradisi untuk menempatkan teknokrat sebagai eksekutif masih terus berlanjut. Misalnya, Janet Yellen, seorang ekonom yang menerima Nobel Ekonomi pada 2010, bersama dengan Peter Diamond, diangkat menjadi Menteri Keuangan oleh Presiden Joe Biden pada 2021. Yellen sebelumnya juga menjabat sebagai Ketua Federal Reserve dari 2014 hingga 2018.
Saat ini, masyarakat Amerika Serikat berupaya menyukseskan lebih banyak teknokrat dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Upaya itu mereka manifestasikan dalam “314 Action”, yaitu sebuah gerakan yang didirikan untuk mendukung para ilmuwan, insinyur, dan profesional teknis yang mencalonkan diri dalam Pemilu. Mereka berkomitmen untuk mempromosikan dan memilih para teknokrat karena dinilai mampu memecahkan masalah-masalah publik dengan pendekatan berbasis bukti ilmiah serta mengutamakan sains, teknologi, dan data.
Dalam menjalankan roda organisasinya, 314 Action melakukan berbagai aktivitas selama Pemilu, seperti penggalangan dana, kampanye, dukungan media, dan penyuluhan pemilih. Selama beberapa tahun terakhir ini, upaya tersebut telah berhasil membantu beberapa teknokrat untuk memenangkan Pemilu, termasuk membawa mereka duduk sebagai anggota kongres dan posisi-posisi lainnya di berbagai tingkatan pemerintahan. Organisasi ini mewakili upaya untuk membawa pengetahuan teknis yang kuat dan pendekatan berbasis bukti ke dalam dunia politik Amerika Serikat.
Teknokrat dalam Pemilu: Bukan Tanpa Catatan
Memilih tokoh berlatar belakang teknokrat dalam pemilihan umum bukanlah tanpa cela. Ada dua catatan yang ingin saya cantumkan, khususnya dalam konteks politik di Indonesia.
Catatan pertama adalah terkait integritas pakar. Kita bisa belajar dari kasus Gubernur Sulawesi Selatan, Prof. Nurdin Abdullah, yang juga merupakan gubernur pertama di Indonesia yang memiliki gelar profesor. Sebelum menjadi terdakwa kasus korupsi, Nurdin bukanlah sosok sembarangan. Ia adalah salah satu penerima Bung Hatta Award, yaitu sebuah penghargaan untuk pejabat publik yang berkomitmen dalam pemberantasan korupsi. Kasus Nurdin menunjukkan kalau integritas ternyata tidak hanya perlu dibangun, melainkan juga perlu dirawat.
Pengamat politik, Arie Putra, menyinggung kalau kasus korupsi Nurdin Abdullah tidak terlepas dari keperluan ongkos politik yang sangat besar. Merujuk pada kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2019, partai politik di Indonesia membutuhkan 16 ribu rupiah per suara untuk memenangkan Pemilu. Bahkan, menurut LPEM FEUI, modal menjadi calon legislatif di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) mencapai 1 sampai 2 miliar rupiah. Meskipun tidak mudah, Indonesia perlu membangun sistem politik yang bisa meringankan ongkos politik guna menjaga integritas politisi dari kalangan teknokrat.
Kita bertanggung jawab menjaga demokrasi melalui partisipasi aktif dalam pemilihan dan memberikan dukungan pada kandidat-kandidat yang memiliki integritas. ~ Ridho Izzulhaq Share on XCatatan kedua adalah menentukan pakar sungguhan. Masifnya pertumbuhan internet memudahkan semua orang bisa berpendapat di media sosial, sehingga memunculkan fenomena pakar gadungan. Pakar jenis ini dapat dengan mudah dicintai masyarakat yang minim literasi digital. Publik pasti masih mengingat dr. Lois Owen, dokter kulit yang tidak mempercayai Covid-19 dan mengaku sebagai penasihat Donald Trump. Ia dengan mudah dipercaya masyarakat, sekalipun kebenaran informasi yang dia sampaikan tidak pernah terbukti. Oleh karena itu, kita memerlukan upaya ‘saling jaga’ di masyarakat guna memperkecil kemungkinan bagi pakar gadungan memenangkan kontestasi politik.
Saya meyakini kalau sistem demokrasi memang tidak sempurna, tetapi itu merupakan perjalanan yang berkelanjutan. Masing-masing dari kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga kekuatan demokrasi melalui partisipasi aktif dalam pemilihan dan memberikan dukungan pada kandidat-kandidat yang memiliki integritas.
Ridho Izzulhaq adalah seorang mahasiswa jurusan ilmu komputer yang sejak duduk di kelas 4 Sekolah Dasar sudah mempercayai kekuatan teknologi untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial di masyarakat.
Artikel Terkait
Memerangi Maskulinitas Beracun, Tanggung Jawab Siapa?
Memerangi maskulinitas beracun bukan berarti mengutuk laki-laki atau atribut laki-laki, melainkan untuk memerangi dampak berbahaya dari maskulinitas tradisional, seperti dominasi dan persainganMenjadi Admin Akun Psikologi: Bukan Sekadar Berbagi, Tapi Juga Menerima
Di Catatan Pinggir ini, Ayu Yustitia berkisah tentang pengalamannya menjadi admin media sosial Pijar Psikologi. Ayu tersadar bahwa bahwa banyak orang di luar sana yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya. Pengalaman ini mendorong Ayu untuk mendorong kita semua untuk lebih baik kepada diri sendiri dan orang di sekitar kita.Tanya Kenapa
Di usianya yang muda, Putri Hasquita Ardala sudah mengenyam banyak pengalaman tentang pentingnya kesehatan mental. Di Catatan Pinggir ini, Putri mengingatkan kita semua tentang panjangnya jalan menghadapi depresi dan bagaimana kita semua perlu meminta bantuan.