Feminisme ≠ Membenci Laki-Laki
April 7, 2021Makna Perayaan Hari Kartini, Lebih dari Peragaan Busana Adat & Memasak
April 21, 2021OPINI
Pandemi Covid-19: Tragedi dan Anomali
oleh Muhammad Fitrah Mahaini
Pandemi Covid-19 ini adalah sebuah tragedi. Karena pandemi ini, semua orang di bumi mengalami satu permasalahan yang sama, yaitu adaptasi. Manusia yang pada dasarnya adalah makhluk sosial saat ini harus menyesuaikan diri untuk tidak melakukan berbagai kegiatan yang biasanya dilakukan secara beramai-ramai.
Pandemi Covid-19 ini juga memicu berbagai anomali atau keanehan. Banyak kegiatan yang sebelumnya dianggap tidak biasa, kini mau tak mau harus dijalankan. Berbagai aktivitas dibatalkan, banyak jadwal berantakan, kebiasaan baru ditumbuhkan dan banyak penyesuaian dilakukan.
Sejak pasien pertama positif Covid-19 dikonfirmasi oleh pemerintah pada 2 Maret 2020, virus ini telah membawa kegemparan bagi masyarakat Indonesia. Bukan hanya karena pola penyebarannya yang begitu cepat dan besar, tapi juga karena terlalu banyak informasi (benar maupun salah) yang disebarkan mengenai Covid-19 ini. Akibatnya, sulit bagi kita untuk memilah kebenarannya. Lebih dari itu, kecemasan juga muncul dari berbagai sudut kehidupan, seperti media, jejaring sosial, bahkan orang-orang terdekat.
Pemerintah meminta seluruh pihak untuk ikut terlibat dalam menurunkan angka penyebaran Covid-19. Pembatasan Sosial Berskala Besar dilakukan, isolasi dan karantina bagi yang terdeteksi diadakan, masker dan hand sanitizer diwajibkan, hingga berbagai kampanye mengenai protokol kesehatan digaungkan. Semua ini dilaksanakan demi menekan angka penularan. Telah satu tahun lebih pandemi betah bermukim di negeri ini, sampai sekarang masih belum ada tanda-tanda pasti kapan ia akan berakhir. Vaksin telah ditemukan dan saat ini sudah disebarluaskan. Sayangnya, hal tersebut tidak bisa dijadikan jaminan.
Telah banyak hal yang dikorbankan, lebih dari 41.669 nyawa telah menjadi taruhan. Menurut Badan Pusat Statistik, lebih dari 2,56 juta orang kehilangan pekerjaan, dan jutaan lainnya kehilangan momen bersama orang-orang tersayang.
Perspektif melihat kebenaran itu sendiri selalu relatif, begitu pula dengan perspektif kita dalam menyikapi pandemi ini. ~Muhammad Fitrah Mahaini Share on XPenyesuaian di sana sini tentunya tak dapat dihindari. Pandemi ini membuat manusia seperti kehilangan esensi. Harus pula disadari bahwa akhir dari situasi ini masih sangat abstrak karena masih belum ada kepastian kapan semuanya dapat disudahi. Banyak pertanyaan muncul mengenai akhir dari pandemi ini. Masyarakat mulai berspekulasi, dan media makin sering memancing kontroversi melalui penyebaran hoax dan konspirasi tanpa menyertakan bukti yang valid. Semua ini dilakukan hanya demi menarik perhatian.
Para ahli dan pemerintah telah menegaskan bahwa siapa pun tak boleh meremehkan ancamannya. Penekanan ini juga mencakup gagasan New Normal yang bersifat mutlak. Mantan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, pernah menegaskan bahwa New Normal merupakan fase dimana kita harus mengubah kebiasaan lama dengan kebiasaan baru untuk menciptakan situasi aman di tengah pandemi. Kewajiban untuk mengikuti protokol kesehatan ini menjadi satu-satunya pilihan yang tak dapat ditawar.
Pertanyaan selanjutnya muncul, apa yang mesti dilakukan dalam situasi ini? Tentunya tak ada jawaban pasti, namun pandemi ini dapat dilihat melalui perspektif lain.
Kenyataan mengenai pandemi ini memang begini adanya, begitu pula dengan berbagai upaya penyelesaian di dalamnya. Namun pada dasarnya, perspektif melihat kebenaran itu sendiri selalu relatif, begitu pula dengan perspektif kita dalam menyikapi pandemi ini.
Adanya kebijakan pemerintah untuk melakukan kegiatan pendidikan dan beberapa bidang pekerjaan melalui media daring serta upaya untuk mengurangi aktivitas secara tatap muka mungkin membuat membuat banyak orang yang pekerjaannya sangat erat dengan keramaian harus berhenti dan tiba-tiba memiliki waktu luang tanpa pekerjaan.
Meski tidak bisa menjalankan rencana itu sulit, mungkin pandemi bisa menjadi waktu untuk refleksi diri. Kita diajak untuk berhenti sejenak dari mengejar ambisi dan bersyukur atas apa yang dimiliki. Waktu luang tersebut dapat digunakan untuk melakukan hobi lama yang sempat ditinggalkan karena kesibukan. Kegiatan-kegiatan kesukaan yang sebelumnya harus dikorbankan kala mengejar ambisi, dapat dilakukan kembali di masa pandemi. Kegiatan-kegiatan ini pun dapat menjadi sarana aktualisasi diri.
Berbicara tentang aktualisasi diri, masa pandemi ini juga saat yang sangat tepat untuk membantu sesama. Apabila kamu menemukan dirimu di posisi yang masih berkecukupan, mungkin kamu bisa turut mengulurkan tangan ke mereka yang mengalami kesulitan secara finansial. Penelitian ilmiah pun telah membuktikan bahwa membantu sesama adalah cara paling tepat untuk pengembangan diri dan menemukan kebahagiaan yang abadi.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan lebih banyak waktu untuk diri sendiri (me time). Hal ini bisa dilakukan dengan kembali menghubungi keluarga dan teman-teman lama, mengapresiasi hal-hal yang sebelumnya terlewatkan seperti lebih menghargai alam, merenungi kesunyian, berolahraga, membaca buku, dan banyak hal lainnya.
Sama halnya dengan pandemi, sikap positif pun dapat menular dan menyebar. ~Muhammad Fitrah Mahaini Share on XSelama pandemi ini, kita dipaksa untuk bisa memahami betapa tidak pastinya hidup ini. Pandemi adalah suatu hal yang berada di luar kendali; itulah kenyataannya. Tapi, kita tetap dapat menentukan nasib kita (dan orang lain) lewat bagaimana kita melakukan tindakan pencegahan, yaitu dengan menaati protokol kesehatan dan memilih perspektif positif dalam menyikapi berbagai keadaan.
Mengapa berpikir positif sangat penting dalam menghadapi Covid-19 ini? Banyak dari kita tentunya pernah mendengar istilah Law of Attraction atau Hukum Ketertarikan. Hukum ini pada dasarnya menyatakan bahwa “what you think is what you manifest.--apa yang kau pikirkan adalah apa yang akan kau dapat” Ketika kita benar-benar memfokuskan pikiran terhadap suatu hal, terlepas dari baik atau buruk, sadar atau tidak sadarnya hal tersebut dipikirkan, maka hal tersebut akan benar-benar terjadi. Tentunya, apabila hukum ketertarikan ini benar adanya, pola pikir positif ini sangat penting untuk diterapkan selama masa pandemi.
Melihat segala hal dari perspektif yang berbeda juga dapat membantu kita berpikir lebih rasional. Dengan begitu, kita juga bisa lebih tenang dalam memilah dan menentukan mana berita yang didasari oleh fakta dan mana yang hoax. Apalagi, hoax yang beredar saat ini jumlahnya semakin tidak terkendali. Media juga semakin menjadi-jadi dalam memberitakan hal yang tidak mempunyai bukti. Hal ini tentunya berimbas kepada orang-orang dengan akses informasi yang terbatas, khususnya mereka yang masuk ke dalam generasi tua. Di sini lah anak muda berperan penting sebagai agen pencegahan berita hoax. Anak muda yang dinilai lebih mampu mengikuti laju arus informasi serta dapat mengkritisi sebuah berita sudah seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengantisipasi penyebaran berita palsu.
Sayangnya, tragedi pandemi ini masih berlanjut. Berbagai anomalinya pun lambat laun menjadi hal yang normal. Maka dari itu, perubahan perspektif sangat diperlukan untuk menghadapinya. Sama halnya dengan pandemi, sikap positif pun dapat menular dan menyebar. Nanti, saat pandemi Covid-19 ini akhirnya berakhir dan semuanya kembali seperti semula, kita dapat memulai kembali hal yang sebelumnya ingin kita capai sambil melanjutkan kebiasaan baik dari pembelajaran yang sudah kita dapatkan.
Muhammad Fitrah Mahaini merupakan seseorang mahasiswa Akuntansi, Universitas Sriwijaya yang cukup terobsesi dengan hal-hal berbau sejarah dan sastra. Hidupnya cukup banyak didedikasikan untuk membaca buku dengan berbagai genre. Hasil review bacaannya bisa dilihat di akun Instagram: @ftrhmhn.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini