Perlawanan Akademik dan Seruan Moral Memperjuangkan Demokrasi
February 6, 2024Aktivisme K-Pop dan Politik di Indonesia
February 9, 2024Photo by Nathan Cima on Unsplash
OPINI
Partai Buruh: Harapan Politik Kelas Pekerja?
oleh Margianta Surahman Juhanda Dinata
Setiap kali saya melihat negara lain, seperti Australia, Jerman, Selandia Baru, dan Norwegia, saya seringkali gigit jari dan iri. Mereka memiliki partai politik yang bisa mengakomodasi agenda progresif untuk mendorong negara melindungi hak pekerja dan petani, mendukung jaminan sosial, serta membuat kebijakan yang anti-diskriminasi. Di negara-negara tersebut, partai politik dengan agenda progresif itu disebut sebagai Partai Buruh.
Bagaimana dengan Indonesia?
Frustasi Politik
“Saat ini, kita melihat dampak dari perang tanpa henti melawan gagasan politik kelas pekerja atau komunitas kelas pekerja. Hal ini membuat sebagian besar pekerja tidak mempunyai cara untuk mengungkapkan kepeduliannya, kecuali mengarahkannya ke suatu abstraksi yang dibuat-buat” (David Graeber, antropolog asal Amerika Serikat).
Mengamini pernyatan Graeber di atas, selama kurang lebih satu dekade setelah saya berpartisipasi sebagai pemilih dalam Pemilihan Umum (pemilu), saya mengalami frustasi politik. Sebagai bagian dari kelas pekerja yang masih mengandalkan upah untuk hidup dari para pemberi kerja dan pemodal, saya merasa aspirasi politik kelas pekerja hari ini belum tersalurkan dengan baik. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang 55% isinya adalah pebisnis umumnya hanya memedulikan kelas pekerja di masa kampanye pemilu. Partai politik yang menaungi mereka pun tidak banyak memiliki perbedaan dalam keberpihakannya pada kesejahteraan kelas pekerja.
Untuk waktu yang lama, bagi saya, politik formal di Indonesia terlalu ‘mahal’ dan sulit untuk diakses oleh kalangan kelas pekerja maupun kelompok masyarakat termarjinalkan lainnya. Wakil rakyat yang terpilih pun cenderung berjarak jauh dengan para konstituennya. Terlepas dari banyaknya kunjungan kerja yang mereka lakukan, menurut saya, mereka masih saja gagal memahami akar permasalahan masyarakat.
Saking terisolasinya para kandidat wakil rakyat dengan konstituennya, politik elektoral terasa seperti transaksi elektoral lima tahunan saja. Perbedaan antara partai politik yang ada hanyalah warna bendera dan atributnya. Keberpihakan mereka berubah-ubah sesuai dengan lanskap elit dan kepentingan yang berkuasa. Ideologi mereka pun sama-sama mengklaim berprinsip Pancasila, tetapi tanpa agenda turunan yang konkret. Mereka semua seolah tak sama, tapi sebenarnya serupa. Kondisi ini melanggengkan frustasi politik di masyarakat, khususnya kelas pekerja yang kepentingannya hanya menjadi jargon kampanye belaka.
Dobrakan Politik Kelas Pekerja
Frustasi politik saya berubah menjadi harapan saat saya melihat akun Partai Buruh di X (sebelumnya Twitter). Di suatu cuitan, Partai Buruh mendiskusikan curhatan seorang buruh yang dipidana pengusaha karena memperjuangkan haknya. Ada yang berbeda dari cuitan 139 kata ini. Tutur katanya begitu empatik dan penuh keberpihakan. Karakteristik mereka berbeda dengan akun partai lain yang hanya sibuk mengkultuskan elit politik, menumpang tren, maupun mengadakan kuis berhadiah.
Partai Buruh memiliki sesuatu yang lama absen dari catur perpolitikan Indonesia: keberpihakan yang jelas dengan konstituen yang juga sejalan dengan agenda keberpihakannya, yaitu kelas pekerja. Bahkan, Partai Buruh menjadi satu-satunya partai yang mengekspresikan dukungannya pada pekerja minoritas gender dan seksual agar bebas dari diskriminasi di tempat kerja.
Di sisi lain, Partai Buruh juga populer dengan latar belakang calon legislatif-nya (caleg) yang juga merupakan kelas pekerja, seperti sopir angkot, pedagang mie ayam, pekerja rumah tangga, petani, hingga buruh outsourcing (disalurkan oleh pihak ketiga) yang dipecat karena partisipasinya sebagai caleg Partai Buruh. Kelompok yang umumnya mengalami penindasan dan intimidasi ini justru memberanikan diri untuk berjuang di percaturan politik formal dan menyembulkan harapan yang didambakan oleh kelas pekerja.
Menariknya lagi, Partai Buruh juga akan menerapkan constituent recall, yaitu mekanisme yang memungkinkan anggota legislatif yang sudah terpilih bisa ditarik atau dipecat jika melakukan korupsi, pelecehan, atau dinilai tidak representatif terhadap konstituen. Dengan segala agenda dan kader kelas pekerjanya, tidak heran kalau kehadiran Partai Buruh mendapat sambutan positif. Nilai yang mereka usung penting dan menarik, khususnya bagi para pekerja dan pemilih muda yang terdampak oleh langkanya lapangan kerja dan lemahnya perlindungan ketenagakerjaan di Indonesia.
Suara Pekerja yang Kembali Bergema
Sejak awal pendiriannya, Partai Buruh menunjukkan keberpihakan yang jelas kepada kegelisahan kelas pekerja di Indonesia. Bahkan, awal momentum kelahiran kembali Partai Buruh adalah saat disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja di 2020 yang mengorbankan perlindungan pekerja demi kepentingan pengusaha. Setelah berbagai gelombang demonstrasi besar oleh kelompok buruh, petani, dan mahasiswa, rupanya itu masih berujung pada kesewenang-wenangan wakil rakyat. Partai Buruh pun hadir sebagai alat perjuangan baru bagi kelas pekerja di Indonesia.
Partai Buruh memiliki sesuatu yang lama absen dari catur perpolitikan Indonesia: keberpihakan yang jelas dengan konstituen yang juga sejalan dengan agenda keberpihakannya, yaitu kelas pekerja. ~ Margianta Surahman Share on XPartai Buruh sendiri bukan partai ‘kemarin sore’. Pada 1945, serikat Barisan Buruh Indonesia (BBI) menjelma menjadi Partai Buruh Indonesia (PBI), meskipun tidak bertahan lama. Kemudian, pada 1999, 2004, dan 2009, Partai Buruh Nasional (PBN) turut berpartisipasi dalam pemilu, namun gagal menembus parlemen. Sementara Partai Buruh yang berpartisipasi dalam Pemilu 2024 hari ini adalah kelanjutan dari Partai Buruh yang dideklarasikan pada 2005 di Riau dan Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD) yang didirikan pada 2001.
Setelah gagal di beberapa pemilu dan mati suri, Partai Buruh kembali dibangkitkan oleh berbagai organisasi pendiri yang berasal dari empat konfederasi serikat pekerja terbesar dan 50 federasi serikat pekerja tingkat nasional, forum guru dan tenaga honorer, organisasi petani, dan nelayan terbesar di Indonesia. Setelah lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Partai Buruh kini menjadi peserta Pemilu 2024. Artinya, roh perjuangan buruh lewat partai politik sebenarnya sudah lama bercokol di Indonesia yang kini bangkit kembali di dalam diri Partai Buruh.
Terlepas dari sejarahnya yang panjang dan berulang kali gagal lolos pemilu, muncul suatu pertanyaan penting: setelah konsisten dengan segala agenda progresif dan caleg kelas pekerjanya, apakah Partai Buruh bisa memenangkan pemilu dan menembus parlemen?
Wujud Politik Harapan Pekerja
Upaya memenangkan Partai Buruh dalam pemilu tentu bukan hal yang mudah. Partai lain yang didukung oleh para konglomerat memiliki sumber daya yang jauh lebih melimpah. Melihat ketimpangan ini, saya dan beberapa simpatisan Partai Buruh berinisiatif membangun Gerakan Memenangkan Partai Buruh (GEMURUH). GEMURUH hadir sebagai wadah relawan yang berupaya dalam pemenangan Partai Buruh agar lolos parliamentary threshold atau ambang batas parlemen ke DPR serta untuk memenangkan caleg-caleg kelas pekerja Partai Buruh di berbagai daerah.
Peran relawan GEMURUH bergerak melalui beragam kegiatan, seperti menulis, membuat ilustrasi, mengadakan acara diskusi, menjadi saksi di TPS (Tempat Pemungutan Suara), dan ikut turun ke jalan untuk mengampanyekan Partai Buruh. Berbeda dengan kebiasaan partai politik lainnya, semua upaya yang dilakukan relawan GEMURUH tidaklah bersifat transaksional. Semua relawan bekerja tanpa bayaran, sesuai dengan kemampuan dan kesediaannya. Belakangan ini, GEMURUH juga turut mendukung Working Class Festival yang diadakan oleh kader muda Partai Buruh dan mengusung isu perburuhan, lingkungan, partisipasi politik kaum muda, dan perjuangan inklusi dari pekerja rentan.
Munculnya GEMURUH dan sentimen positif terhadap Partai Buruh menjadi wujud politik harapan dari kelas pekerja yang sudah lama saya dambakan. Kelas pekerja tidak lagi hanya menjadi objek isu dalam kampanye politik maupun sumber kantong suara penguasa saja, melainkan ikut bahu-membahu untuk memastikan agendanya terwakilkan oleh sesama pekerja. Mereka yang selama ini terkena eksploitasi, diskriminasi, dan intimidasi oleh penguasa dan pemodal, pada akhirnya memilih jalan politik formal untuk berjuang dan mengubah nasib kolektif mereka.
Partai Buruh, beserta agenda, kader, dan simpatisannya, hanyalah satu dari banyak upaya perjuangan kelas pekerja. Lantas, di Pemilu 2024 dan seterusnya, dengan berbagai macam elemen di dalamnya, apakah Partai Buruh bisa konsisten dengan idealismenya? Ataukah, kelas pekerja akan menjadi komoditas politik baru yang tokenistik saja (seolah-olah merepresentasikan kelompok buruh)? Tentu ini menjadi hal yang perlu kita kawal bersama.
Semoga kelas pekerja dapat terus mengisi ruang vakum dalam politik formal dan mewujudkan politik harapan kelas pekerja.
Margianta Surahman Juhanda Dinata telah terlibat dalam jaringan nasional hingga global sejak 2010, khususnya di bidang partisipasi pemuda, kesehatan, dan keadilan sosial. Pengalamannya mencakup advokasi kebijakan bersama pemerintah, jaringan kepemudaan, hingga bekerja bersama berbagai komunitas akar rumput dan serikat pekerja. Margianta juga Founder dari Emancipate Indonesia, yayasan yang berfokus melawan perbudakan modern serta mendukung kerja layak dan kesejahteraan inklusif bagi kelas pekerja. Margianta telah diundang untuk berbicara dalam forum global seperti Nobel Prize Dialogue, One Young World, hingga Global Mental Health Summit. Margianta kini bekerja sebagai konsultan untuk organisasi internasional seperti UNICEF untuk mendukung partisipasi kaum muda yang bermakna di komunitasnya.
Artikel Terkait
Partai Buruh: Harapan Politik Kelas Pekerja?
Setelah lama absen dari percaturan politik elektoral, Partai Buruh kini lahir kembali membawa agenda yang progresif, membela kepentingan kelas buruh dan pekerja rentan lainnya.Menggagas Serikat Pekerja Kampus
Menjadi anggota serikat pekerja diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar pekerja kampus dalam menegosiasikan perbaikan kondisi kerjanya. Pekerja akademik di Indonesia penting memperjuangkan hal itu mengingat kondisi pekerjaan mereka yang masih buruk.Menilik Bayangan dan Jejak Buruh
Perjalanan buruh di Indonesia mengalami perkembangan dan tantangan yang kian kompleks. Masih banyak permasalahan buruh yang perlu kita selesaikan. Kita perlu terus proaktif dan bekerjasama membela hak buruh di Indonesia.