Obat Linglung Gerakan Mahasiswa
May 4, 2024Maraknya Konten Self-Improvement bisa Mengaburkan Realitas Struktural?
May 17, 2024Photo by Datingjungle on Unsplash
OPINI
Membaca Ulang Pascakolonialisme: Antara yang Konseptual dan yang Nyata
oleh Rusda Khoiruz Zaman
Selama ini, “pascakolonialisme” lebih dikenal sebagai studi yang hanya berfokus pada naskah dan literatur. Meskipun fokus itu berhasil meluaskan cakupan studi pascakolonialisme, anggapan bahwa praktik penindasan kolonialisme yang cukup dianalisis sebatas melalui naskah—padahal sifatnya material (nyata/tangible) dan tidak terlepas dari fakta sejarah—adalah pemahaman yang bermasalah.
Bagaimana pun, studi pascakolonialisme tidak bisa dilepaskan dari percampuran antara yang konseptual dan material. Berfokus hanya pada analisis literatur atas wacana dan representasi Eropa terhadap liyan (other) akan menyeret aspek material yang lebih nyata ke tepian paling pinggir dari diskursus pascakolonialisme. Artinya, pembahasan soal realitas yang disebabkan oleh praktik kolonialisme akan dianggap sebagai hal yang bersifat sekunder saja.
Kecenderungan itu, kata Ania Loomba, ahli studi pascakolonialisme asal Amerika Serikat, salah satunya adalah bersumber dari karya Edward Said, pemikir poskolonial asal Palestina, yang terlalu berpusat pada naskah literatur sebagai medan perang kolonialisme di dalam karyanya yang fenomenal berjudul “Orientalisme”. Said terlalu berfokus pada representasi Eropa terhadap Timur. Jika rakyat terjajah itu tidak rasional, maka orang-orang Eropa-lah yang rasional–kira-kira seperti itulah argumen Said. Dalam istilah yang digunakan Said, itu disebut sebagai dikotomi (pemisahan) antara penjajah dan terjajah yang berkontribusi membentuk citra diri orang Eropa serba superior. Itu dilakukan untuk mempertahankan klaim penjajahan dan memperluas praktik penjajahan.
Konsekuensi dari terlalu berfokus pada pembahasan naskah literatur ketimbang menghubungkannya dengan realitas material, menurut saya, menjadikan studi ini abai terhadap keterkaitan antara penindasan rasial, gender, politik dan ekonomi dalam wacana pengetahuan yang sedang beredar.
Konsekuensi dari terlalu berfokus pada pembahasan naskah literatur ketimbang menghubungkannya dengan realitas material membuat poskolonialisme abai terhadap keterkaitan antara penindasan rasial, gender, politik dan ekonomi ~ Rusda… Share on XMeskipun demikian, saya akan coba menghadirkan wacana klasik untuk menunjukkan bahwa sebenarnya yang ideasional dan material sangat berhubungan erat dalam studi ini. Sebab, ditinjau dari sejarahnya saja, studi pascakolonialisme sangatlah bersifat materialistik. Selain itu, kita tahu bahwa kolonialisme adalah pola yang terus berulang sepanjang sejarah umat manusia. Tapi, yang membedakan praktik kolonialisme di zaman Genghis Khan pada abad ke-13 dan kolonialisme modern adalah berdirinya kapitalisme. Dengan kata lain, kolonialisme lama hadir di masa sebelum kapitalisme (prakapitalis), sementara kolonialisme Eropa modern ditegakkan bersamaan dengan diperkenalkannya pranata kapitalistik ke seluruh penjuru dunia. Perbedaan inilah yang turut memengaruhi aspek material dalam praktik penjajahan.
Praktik Diskursif dan Proses Material
Praktik penjajahan dan penjarahan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari praktik produksi pengetahuan yang sifatnya tidak netral dan vakum (berada di ruang hampa), sebab ia berkaitan erat dengan bekerjanya kekuasaan. Kekuasaan kolonial di negeri jajahan membentuk kembali struktur pengetahuan manusia yang sebelumnya sudah ada sejak lama dan dimiliki masyarakat terjajah. Hampir tidak ada satu pun cabang pengetahuan di negeri jajahan yang tidak disentuh oleh kolonialisme.
Untuk melihat bagaimana proses produksi pengetahuan di era kolonialisme bekerja, kita bisa memakai konsep wacana (discourse) yang dicetuskan oleh filsuf asal Prancis, Michel Foucault. Foucault mengatakan bahwa wacana adalah cara mengorganisasikan pengetahuan dengan menyusun bentuk hubungan sosial (dan global) melalui pemahaman kolektif atas logika diskursif dan penerimaan wacana sebagai fakta sosial.
Aspek terpenting dari proses itu adalah pengumpulan dan penataan informasi tentang tanah-tanah jajahan dan penduduk yang dikunjunginya. Mereka mempelajari negeri jajahannya dengan maksud untuk melakukan praktik dominasi. Ada semacam hasrat imperial (hasrat ingin menjajah) yang terpendam dalam diri orang Eropa dalam memproduksi dan menyebarkan pengetahuan atas negeri jajahannya.
Untuk itulah, Gayatri Spivak, pemikir poskolonialisme asal India, mewanti-wanti agar kita jangan terlalu terjebak pada narasi penemuan warisan-warisan bangsa terjajah yang masih utuh setelah sekian lama dijajah. Spivak bermaksud menekankan aspek materialisasi (praktik penindasan dan cara kerjanya) atas negeri jajahan oleh kolonialisme sebagai aspek yang lebih penting untuk dilihat. Spivak juga vokal menentang kita untuk meromantisasi negara bekas jajahan. Ia coba mengatakan bahwa era sebelum kolonialisme (prakolonial) saja sudah dipengaruhi oleh wacana kolonialisme, sehingga sangat mustahil untuk kita memisahkan keduanya secara utuh.
Menciptakan Perbedaan Rasial
Mari kita bergeser pada persoalan rasisme yang digunakan oleh kolonialisme Eropa untuk menciptakan oposisi biner (posisi yang berlawanan) antara dirinya dengan masyarakat negeri jajahan. Perbedaan rasial, yang selama ini banyak diamini sebagai hal yang bersifat biologis, sejatinya merupakan konstruksi pengetahuan yang sifatnya konseptual. Ia diciptakan dalam kurun waktu tertentu dan wacananya disebarkan sekaligus dimapankan secara masif oleh kolonialisme modern dan kapitalisme.
Dalam menciptakan perbedaan rasial, Eropa melakukan “othering” (peliyanan/pelainan). Othering ini, salah satunya, menitikberatkan pada warna kulit sebagai penanda dalam menggolongkan manusia ke dalam berbagai ras. Kedatangan kolonialisme Eropa ke berbagai negeri jajahan menjadikan stereotip tentang ras sebagai pembenaran ideologis (justifikasi) bagi berbagai jenis eksploitasi.
Frantz Fanon, ahli pascakolonialisme berdarah Afro-Karibia, menguraikan dengan apik soal objektifikasi rasial (ras yang dijadikan objek) di dalam buku Black Skin White Mask. Katanya, orang kulit hitam Antilles—kampung halaman Fanon—telah mengalami objektifikasi sekaligus othering. Objek, dalam konteks ini, dimaknai sebagai suatu benda yang secara sah dapat dinilai dengan bebas sesuai kehendak penguasa objek. Kolonialisme Eropa menganggap masyarakat kulit hitam sebagai objek yang bebas mereka perlakukan.
Pertama-tama, orang Eropa kulit putih memandang jijik atas kehitaman masyarakat setempat. Olok-olok oleh orang Eropa telah menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat kulit hitam, sehingga Fanon pun sering merasakan kengerian sekaligus kegelian atas dirinya sendiri. Akan tetapi, di waktu yang bersamaan, ia tak bisa menertawakan keadaannya. Perlakuan rasial seperti itu mengakibatkan tumbangnya pandangan positif masyarakat kulit hitam atas fisiknya sendiri yang kemudian digantikan dengan pandangan yang bersifat rasial.
Konstruksi soal ras yang berujung pada diskriminasi rasial sekaligus othering ini dipaksakan atas masyarakat di negeri terjajah. Satu-satunya jalan untuk berhenti menjadi ‘monster,’ anggapan kolonial Eropa, adalah dengan membuat orang-orang kulit berwarna bermutasi menjadi manusia kulit putih dan memeluk peradaban mereka. “Orang Eropa berniat mencuci manusia kulit berwarna agar menjadi putih,” kata Fanon.
Relasi antara Ras dan Kelas
Ideologi superioritas ras dapat diterjemahkan dalam kerangka kelas karena ia memang digunakan sebagai alat untuk menetapkan kelompok mana yang sesuai untuk pekerjaan tertentu. Ras kulit putih yang dianggap superior, kata seorang kolonialis, harus memegang kendali dunia karena lekat dengan sifat terpuji. Sebaliknya, orang-orang kulit hitam yang buas dan kotor selamanya mesti menjadi pekerja dengan upah murah bahkan budak.
Relasi rasial ini menjadi penting dan berguna dalam menyediakan tenaga kerja. Ini sekaligus menunjukkan bahwa tesis filsuf Karl Marx tentang kapitalisme meleset. Marx mengatakan bahwa kapitalisme tergantung pada tenaga kerja bebas yang menjual tenaganya kepada pemilik sarana produksi. Tapi, di Afrika Selatan, dan di berbagai belahan dunia lainnya, bahkan sebagaimana yang terjadi di Papua dan Kongo hari ini, tenaga kerja rakyat terjajah justru diambil secara paksa melalui berbagai sarana pemaksaan, salah satunya adalah dengan menggunakan rasisme. Jadi, mereka sama sekali bukan pekerja bebas sebagaimana gagasan Marx, melainkan telah bertautan dengan isu warna kulit.
Marxisme klasik memandang bahwa efisiensi kapitalis telah menggantikan perbudakan dan bentuk-bentuk pemaksaan kasar dengan membentuk pasar pekerja bebas. Bentuk baru tersebut dianggap menempatkan paksaan melalui tekanan ekonomi, bukan fisik. Sosiolog John Rex membantah itu dengan menunjukkan bahwa di bawah kolonialisme, cara-cara pemaksaan yang sudah kuno itu masih berlanjut: “…bukan sebagai sisa-sisa dari masa lalu, melainkan sebagai aspek integral dari kapitalis masa kini,” kata Rex.
Ras dan rasisme, dengan demikian, merupakan basis bagi pekerja tidak bebas untuk dipaksa bekerja oleh kolonialis kepada kapitalisme. Fenomena itu yang masih relevan hingga kini.
Sedikit wacana klasik yang saya jabarkan di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa operasi wacana pengetahuan saling berjemalin erat dengan kekerasan kolonial yang sifatnya nyata (material). Ini menunjukkan kalau sesuatu yang sifatnya konseptual akan selalu berelasi dengan yang material.
Rusda Khoiruz Zaman adalah seorang lulusan Hukum Keluarga Islam yang meminati berbagai kajian interdisipliner. Ia saat ini sedang mempersiapkan diri untuk studi lanjut.
Artikel Terkait
Pascakolonialisme Tanpa Tanda Hubung
Meskipun secara formal penjajahan sudah berakhir, warisan sistem kolonial masih bisa kita rasakan secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Apa saja efek dari penjajahan di kehidupan kita sekarang?Dinding Pembatas itu Bernama ‘Warna Kulit’
Terlahir dengan warna kulit khas Nusantara perlahan membuat saya mulai tertarik untuk memahami lebih definisi kecantikan yang sebenarnya tidak hanya didasari oleh warna kulit. Namun di sisi lain, kita tidak bisa memungkiri kalau warna kulit sampai saat ini masih jadi bentuk standarisasi kecantikan, baik untuk kebutuhan komersial maupun pengakuan dari publik.Belajar Berani dari Soelastri
Artikel ini menyusun sejarah sekolah dan pendidikan di Indonesia melalui novel-novel karya Soewarsih Djojopoespito. Ketika dijajah Belanda, sedikit sekali kesempatan untuk orang Indonesia mendapatkan akses ke pendidikan. Namun, begitu diberikan sedikit kelonggaran, pendidikan menjadi kunci penting kemunculan gerakan anti penjajah dan pemikiran modern di Indonesia.