Apa yang Salah dari Pernyataan Aktivisme Seyogianya Jujur dengan Ambisi Uang dan Ketenaran? Semuanya!
December 12, 2023Mempelajari Useless Knowledge, Apa Pentingnya?
December 14, 2023Photo by Amazon
RESENSI BUKU
Menjadi Pejabat Publik yang Baik
oleh Yohanes Theo
De Officiis (On Duties) adalah buku yang ditulis oleh penulis Romawi, Marcus Tullius Cicero, khusus untuk anaknya yang sedang belajar retorika dan filsafat di Athena, Yunani. Buku ini ditulis secara terburu-buru oleh Cicero sebagai pengganti ketidakhadirannya dalam membimbing sang anak dan, awalnya, memang tidak dimaksudkan untuk publikasi.
Buku klasik yang selesai ditulis pada 44 Sebelum Masehi (SM) dan terbit pada 1928 ini ditulis dalam bahasa Romawi supaya bisa dibaca oleh semakin banyak orang. Situasi politik yang melatarbelakangi penulisan buku ini adalah masa-masa kehancuran Republik Romawi karena kemerosotan moral kebanyakan penyelenggara negara.
De Officiis terdiri dari tiga jilid yang benang merahnya adalah refleksi tentang sesuatu yang memiliki nilai baik dan buruk serta bagaimana menjadi pelayan publik yang baik. Jilid pertama mengulas apa-apa yang baik secara moral (honourable); jilid kedua mengulas hal-hal yang memberikan manfaat (beneficial); dan jilid ketiga merupakan sintesis dari kedua jilid sebelumnya. De Officiis sangat menaruh perhatian pada etika praktis yang berhubungan dengan situasi sehari-hari.
Nama “officium” dalam buku ini merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “duty.” Namun, sulit rasanya menemukan padanan kata tersebut dalam bahasa Indonesia. “Kewajiban” barangkali adalah kata yang maknanya paling dekat, tetapi makna “kewajiban” di sini pun perlu diperluas menjadi sesuatu yang layak dilakukan secara sadar, karena tugas itu akan membawa kebaikan bagi banyak orang. Demikianlah Cicero memaknai “duty” atau “kewajiban.”
Secara garis besar, buku ini mengusung filsafat Stoikisme, yaitu sebuah aliran yang menekankan filsafat sebagai seni hidup dan sebuah praktik untuk membentuk citra hidup tertentu. Filsafat, menurut Stoikisme, bukanlah profesi sebagaimana seorang pemuka agama yang mengajarkan pengampunan dosa tanpa ia sendiri mempraktikan ajaran tersebut. Stoikisme mendorong penganutnya untuk ikut larut dalam urusan-urusan praktikal dan menyelami nilai-nilai moral di dalamnya, sebagaimana Cicero yang terjun sebagai seorang pejabat publik.
Pejabat Publik yang Adil
Ketika Cicero melakukan refleksi diri mengenai cara menjadi seorang pejabat publik yang baik dan bermoral, ia melatih dirinya sendiri untuk berbuat adil. Menurutnya, tugas dan kewajiban (officium) utama seorang pejabat publik adalah berbuat adil (justice). Adil berarti berguna bagi kelompok yang lebih luas dan dengan begitu seturut dengan kehendak Alam. Pejabat publik boleh saja mencari keuntungan individu, tetapi tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakatnya.
Jika kepemilikan atas materi yang menguntungkan diri sendiri merupakan pilihan yang layak, kita harus patuh pada aturan untuk tidak merugikan siapa pun dan menghindari ketidakadilan dalam meraih keuntungan pribadi itu. Analoginya, orang boleh bekerja dengan rajin supaya mendapatkan banyak uang dan bisa membeli rumah untuk dirinya sendiri. Namun, ia tidak boleh mendapatkan rumah itu dari hasil mencuri atau korupsi, karena itu melahirkan ketidakadilan pada masyarakat banyak.
Keluar dari Dikotomi Kejujuran (Honestum) dan Kegunaan (Utile)
Kejujuran dan kegunaan dianggap merupakan dua hal yang saling bertentangan dalam diri manusia, meskipun keduanya praktis tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan keseharian. Merespon dikotomi (pemisahan) itu, Cicero merefleksikan kembali filsafat Stoikisme yang meyakini kalau keinginan untuk berbuat jujur merupakan kendali penuh manusia. Artinya, manusia memiliki kendali untuk menilai segala sesuatu, entah sebagai hal yang bermoral ataupun tidak.
Sementara itu, hal-hal eksternal yang memiliki nilai guna, seperti kejayaan, uang, dan reputasi baik tidaklah berasal dari kendali manusia. Meskipun terkesan berbeda, Cicero sebenarnya tidak setuju untuk mempertentangkan nilai kegunaan dan kebaikan moral (kejujuran), karena, menurutnya, sesuatu yang berguna sudah pasti bermoral. Cicero menilai kedua prinsip itu berada dalam satu tindakan yang sama, yaitu kejujuran selaras (hand in hand) dengan kegunaan.
Bagi Cicero, ada satu jalan untuk keluar dari dikotomi kejujuran dan kegunaan. Cicero mendorong kita untuk mengutamakan nilai moral dalam meraih hal-hal eksternal yang mengandung nilai kegunaan dan material, seperti uang dan kekayaan. Artinya, menggapai nilai-nilai kegunaan itu perlu kita tempatkan sebagai sesuatu yang mendesak dan relevan dalam rangka membawa kita pada kebaikan moral bersama.
Uang dan kekayaan perlu kita tempatkan sebagai sesuatu yang mendesak dan relevan dalam rangka membawa kita pada kebaikan moral bersama. ~ Yohanes Theo Share on XMisalnya, kejayaan (glory), di mata Cicero, bukan dipandang sebagai sesuatu yang serta-merta ada dan memiliki nilai sendiri, melainkan sebagai sesuatu yang penting untuk menciptakan persaudaraan antar-sesama manusia. Dengan kata lain, Cicero berusaha mengetengahkan kejayaan bukan sebagai tujuan pribadi, melainkan sebagai sesuatu yang harus diupayakan karena memiliki kegunaan bagi kehidupan dirinya dan komunitasnya. Pendek kata, Cicero ingin bilang kalau kita membawa kegunaan pada orang lain, sebenarnya kita sendiri yang akan diuntungkan. Pun sebaliknya, menyusahkan orang lain sebenarnya sama seperti menyusahkan diri sendiri.
Cicero menyadari kalau hal eksternal yang paling banyak dicari pada masa dia hidup adalah kejayaan dan kekayaan (wealth). Dua hal itu dia identifikasi sebagai penyebab utama hancurnya Republik Romawi. Cicero melihat orang-orang kebanyakan mencari kejayaan, kekayaan, dan hal-hal eksternal hanya untuk memenuhi kepentingan diri mereka sendiri. Mereka memisahkan nilai kegunaan dari kejujuran (moral), termasuk memisahkannya dengan perilaku yang seharusnya lebih diutamakan, yaitu mengabdi pada negara. Cicero menegaskan bahwa sesuatu yang berguna tidak boleh diraih melalui cara kekerasan dan mengurangi hak orang lain.
“Kegunaan Terselubung”
Meskipun nilai kegunaan penting sebagai landasan moral, Cicero mewanti-wanti supaya kita bisa membedakan sesuatu yang benar-benar berguna dengan yang “tampaknya” berguna, karena yang terakhir ini bertentangan dengan nilai moral. Dengan kata lain, tidak ada yang benar-benar berguna tanpa dasar moral yang jelas. Begitu pula, tidak ada yang benar secara moral tanpa nilai kegunaan. Kita tidak harus alergi pada kegunaan, karena yang perlu kita hindari adalah sesuatu yang “tampaknya” berguna. Tidak ada sesuatu yang benar-benar berguna dalam “kegunaan terselubung” (expediency in some specious form or other).
Contohnya, biasanya, setiap Pemilihan Umum (Pemilu) berlangsung, ada sekelompok orang yang membagi-bagikan amplop berisi uang untuk memengaruhi para pemilih supaya mencoblos pasangan calon (paslon) tertentu. Uang memang berguna bagi semua orang, tetapi, dalam konteks itu, uang digunakan untuk menyelubungi maksud politik hitam di belakangnya. Jika pemilih mencoblos paslon tertentu karena uang sogokan tersebut, bukan karena pilihan mereka sendiri atau berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang matang, mereka dapat dianggap sebagai orang yang tidak bermoral.
Perpaduan antara ‘yang bermoral’ dan ‘yang berguna’ menghasilkan premis bernama kosmopolitanisme, sebuah gagasan yang mau menyatakan bahwa seluruh manusia mendiami satu “rumah” yang sama yang berarti semua manusia adalah saudara. Orang lain berguna bukan karena mereka menjadi sarana bagi kepentingan kita, tetapi karena mereka adalah saudara kita dalam membangun satu cita-cita luhur, yaitu persaudaraan universal. Sekali lagi, Cicero menegaskan bahwa sesuatu yang berguna menjadi penting dan relevan jika membawa kebaikan bagi komunitas.
Refleksi
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengajukan sebuah pertanyaan: apakah seorang filsuf harus berpolitik?
Meski politik adalah hal eksternal yang ada di luar kendali kita, kaum Stoa (kelompok pendukung Stoikisme) cenderung membuka diri untuk terlibat dalam politik. Intuisi ini ditemukan Cicero dalam sebuah kategori bernama kathēkon, yaitu sebuah tindakan layak yang dilakukan sesuai dengan peran dan posisinya (rasional). Cicero merasa tidak bisa berjarak dengan negara. Pun, ia ingin menceburkan diri sedalam-dalamnya pada urusan publik.
Pemikiran Cicero tidak lepas dari pengaruh kehidupan sosialnya, di mana ia besar dalam tradisi keluarga politisi dan terbiasa menyerap ilmu pengetahuan tentang politik, hukum, retorika, dan filsafat secara dekat. Namun, filsafat bukanlah sebuah ilmu yang terpisah dari realita, melainkan ilmu yang mendasari berbagai ilmu teknis lainnya. Itulah mengapa, di Era Romawi, filsafat tampak dipegang teguh oleh para pejabat politik.
Kita kembali ke pertanyaan di atas. Alasan Cicero masuk ke dunia politik adalah untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang. Ia menjaga betul integritasnya sebagai pejabat pemerintahan. Terutama terkait masalah uang, ia mengatakan bahwa tidak ada yang lebih terhormat dan mulia daripada sedapat mungkin menjaga jarak sehat dari uang.
Cicero juga sangat menekankan keadilan dalam sikap sehari-harinya. Misalnya saja, pada waktu itu, para pejabat pemerintah sangat mendambakan kejayaan, baik didapat lewat perang maupun menempati posisi-posisi strategis di pemerintahan. Cicero melihat itu sebagai kemerosotan makna kejayaan yang telah berubah menjadi ambisi pribadi dan mengorbankan banyak perut masyarakat. Padahal, kejayaan bukanlah tujuan pribadi, melainkan sesuatu yang harus diupayakan demi memberi manfaat bagi komunitas.
Akhirnya, Cicero mendorong supaya negarawan memiliki kebesaran hati serta bersikap layak dan adil terhadap situasi di luar dirinya. Kepemilikan pribadi adalah milik Alam semesta juga dan kita hanya “dipinjami” untuk sementara waktu. Analoginya, saat menonton film di bioskop, kursi penonton adalah milik pihak bioskop dan kursi itu sesaat menjadi ‘milik’ penonton ketika film mulai diputar. Ketika film sudah selesai diputar, kepemilikan kursi itu kita kembalikan lagi ke pihak bioskop. Dengan memegang prinsip itu, diharapkan kita tetap bisa mengambil jarak pada pemenuhan kekayaan pribadi, tetapi juga bisa sedapat mungkin bermurah hati pada masyarakat miskin, lemah, dan tersisih.
Yohanes Theo, sehari-hari menulis dan mengajar. Sudah dua tahun lulus dari STF Driyarkara Jakarta dan bercita-cita sekolah lagi.
Artikel Terkait
Antara Baik dan Jahat: Mempersoalkan Dualitas Sifat Dasar Manusia
Sifat baik dan buruk manusia perlu dipandang secara dinamis dan fleksibel sebagai cara menyeimbangkan hidup.Apa itu Keadilan?: Sebuah Perdebatan Tanpa Akhir
Mungkinkah kita menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat? Bagaimana supaya keadilan sosial itu bisa memenuhi hak-hak individu?Subjek dan Keyakinan
Setiap orang memiliki keyakinan dan cara meyakininya masing-masing. Akan tetapi, bagaimana keyakinan itu dapat muncul dalam diri seseorang? Artikel ini menjelaskan subjektivitas keyakinan dan bagaimana keyakinan memengaruhi tindakan seseorang.