Matinya Cendekiawan Kampus

Doa kolektif di gerea

Ide Utama

Pembatalan diskusi di UGM yang mengangkat topik soal pemakzulan presiden menyimpan sebuah pertanyaan besar: Apakah memang negeri ini bukan tempat yang nyaman bagi para kaum terpelajar?

Kaum terpelajar menjadi anak tiri dengan berbagai macam tekanan yang lahir dari struktur opresif negara. Negeri ini lahir dari rahim kaum terpelajar. Namun, negeri ini seperti dibesarkan oleh kultur kekerasan yang sangat kuat dan cendekiawan dicurigai sebagai kelompok yang akan merubah status quo kekuasaan. 

Saya mengambil istilah cendekiawan seperti yang ditulis oleh Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Menurut Dhakidae, cendekiawan adalah sekelompok orang yang melakukan perjuangan simbolis dan ikut terlibat dalam sistem diskursif dalam masyarakat, merebut ruang pengaruh atas pendefinisian situasi sosial politik. Cendekiawan memerlukan sebuah pemahaman yang cukup kuat terhadap konteks sosial politik di tempat dirinya tinggal untuk kemudian melakukan redefinisi atau rekonsepsi atas situasi sosial yang terus menerus mengalami perubahan. 

Oleh karena itu, cendekiawan pasti merupakan orang yang cerdas dalam membaca setiap perubahan sejarah dan mampu mengartikulasikan dalam lisan dan tulisan. Universitas adalah institusi yang membantu memicu kecerdasan tersebut melalui proses pendidikan kritis. Dhakidae menjelaskan bahwa orang yang berijazah perguruan tinggi tidak semerta-merta masuk dalam kelompok intelektual. Begitu pula individu bergelar profesor tidak otomatis menjadikan individu itu masuk ke dalam kelompok cendekiawan jika banyak merenung di dalam ruangan dan tidak terlibat dalam diskursus di ruang publik. 

Universitas di negara ini memiliki tempat yang istimewa di masyarakat. Beberapa kampus merupakan tempat elit dimana berkumpulnya sekelompok orang yang dianggap cerdas. Universitas tidak hanya menjadi tempat belajar namun juga dijadikan rujukan atas ide-ide reformis. Dalam dua kali perubahan rezim yaitu pada 1966 dan 1998, universitas menjadi pendorong utama ide atas perubahan tersebut melalui media unjuk rasa. Universitas selalu mendapat panggung dalam dinamika perubahan sosial di negara ini. Perubahan yang didorong oleh kelompok cendekiawan di luar kekuasaan khususnya dari kampus. 

Kekerasan terhadap Cendekiawan 

Pandangan antagonistik negara terhadap kelompok cendekiawan sebetulnya dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah. Kelompok cendekiawan kampus dibungkam melalui upaya-upaya kekerasan langsung dan pembungkaman tidak langsung. 

Saya tidak mencoba menempatkan apa yang saya tulis sebagai sebuah upaya yang sengaja dilakukan oleh negara. Namun, beberapa kebijakan justru mengakibatkan secara tidak langsung pengkerdilan peran universitas dalam percaturan diskursus narasi sosial. Untuk memudahkannya, saya meminjam terminologi Johan Galtung: pembungkaman struktural, pembungkaman langsung, dan pembungkaman kultural atas peran intelektual sivitas universitas. 

Pembungkaman struktural dilakukan dengan melakukan sebuah upaya birokratisasi pengelolaan perguruan tinggi. Kebebasan akademik yang memiliki jiwa bebas dan membebaskan pikiran harus terbentur dengan norma-norma birokrasi yang cenderung kaku dan dibatasi oleh aturan tertulis. Ilmuwan-ilmuwan di perguruan tinggi negeri yang berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN) harus dihadapkan pada norma kepegawaian. Ilmuwan tidak bisa menyatakan pendapatnya walaupun logis jika bertentangan dengan aturan ASN. Belum lagi jika berbicara riset, kebutuhan-kebutuhan atas riset fundamental seperti teori dan pemikiran tidak diakomodir karena pemerintah lebih menitikberatkan pada riset-riset aplikatif yang berbasis industri. 

Universitas diarahkan negara menjadi sebuah pendukung kapitalisme dengan menyokong tenaga-tenaga kerja baru. Sistem pemeringkatan dilakukan dengan mendorong para ilmuwan untuk lebih produktif dalam melakukan kerja-kerja menara gading seperti menulis di jurnal yang terindeks. Namun di sisi lain, produk-produk cendekiawan seperti esai populer dalam upaya pencerdasan masyarakat tidak lagi dianggap sebagai karya yang kompetitif. Sedangkan beban mengajar dan administrasi yang semakin menyita waktu berpikir dari para cendekiawan kampus. Cendekiawan kampus menjadi seorang resi yang bertapa di gua dan jarang turun gunung untuk berbicara tentang kebenaran yang diyakininya di tengah masyarakat. Kita bisa melihat dalam beberapa tahun terakhir universitas tidak mampu menghasilkan kelompok cendekiawan sekaliber Nurcholis Madjid, Deliar Noer atau Arief Budiman. 

Kedua, pembungkaman secara langsung dilakukan dengan upaya teror, ancaman dan bahkan pembunuhan. Kita tidak berbicara mengenai kasus-kasus seperti pembubaran diskusi yang terjadi di waktu dekat kemarin sebagai sebuah ancaman dari negara. Namun, kita bisa lihat dalam periode krusial sejarah saat negara melakukan penembakan kepada mahasiswa-mahasiswa yang berunjuk rasa, dimulai Arief Rahman Hakim hingga Yap Yun Hap menunjukan adanya sebuah posisi yang berseberangan antara negara dengan cendekiawan. Di sisi lain, beberapa kasus pembubaran diskusi di berbagai kampus berakhir dengan tanpa penyelesaian. Sangat wajar jika masyarakat mengaitkan keterlibatan negara dengan ketidakmampuan negara dalam mendukung kebebasan mimbar akademik di kampus. 

Eksistensi negara mungkin bisa diukur dengan keberadaannya di dalam peta dunia. Tetapi apakah sebuah negara bisa dikatakan hidup jika hasrat berpikir untuk bergerak saja dilarang? ~ Geradi Yudhistira Share on X

Ketiga, pembungkaman secara kultural menjadi sangat berat karena dilakukan oleh masyarakat yang bersikap anti-intelektual. Beberapa pembubaran diskusi dilakukan oleh organisasi massa dengan dalih “makar” atau “melanggar Pancasila”. Anti-intelektual ditandai dengan keengganan berdialektika atau berdialog dalam perbedaan pandangan yang ekstrim dan juga keengganan dalam menerima ide-ide baru. Masyarakat yang anti-intelektual merupakan hasil bentukan sejarah yang panjang dengan melibatkan memori dan pengalaman kolektif masyarakat. Selama Orde Baru dan Orde Lama, memori dan pengalaman kolektif masyarakat merupakan sebuah bentukan dari narasi sejarah yang dibangun untuk mendukung kekuasaan pemerintah. Begitu kuatnya memori tersebut membekas hingga era kebebasan seperti ini tidak mampu merombak apa yang menjadi keyakinan masyarakat tersebut. Akibatnya jika ada ide-ide baru yang mencoba merombak memori kolektif akan dihadapkan pada resistensi masyarakat yang sangat kuat. Sehingga sulit bagi cendekiawan di universitas untuk berpikir di luar pakem-pakem yang ada di dalam masyarakat. 

Eksistensi negara mungkin bisa diukur dengan keberadaannya di dalam peta dunia. Tetapi apakah sebuah negara bisa dikatakan hidup jika hasrat berpikir untuk bergerak saja dilarang? Kepada cendekiawan, waktu dan tempat dipersilahkan. 


Geradi Yudhistira adalah pemerhati sosial dan budaya dan dosen di Universitas Islam Indonesia. Ia tinggal di Yogyakarta atau di Depok, Jawa Barat.

 

Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini