Ketika Prabowo-Gibran pertama kali mengumumkan program makan siang gratis dalam Pemilihan Presiden 2024, saya langsung teringat pada Tan Malaka.
Laki-laki bernama lengkap Sultan Ibrahim Datuk Tan Malaka itu pernah menulis, “Selama toko buku ada, selama itu pula pustaka dapat dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.” Dua kalimat itu adalah kutipan dari mahakaryanya dalam buku Madilog (Materialisme Dialektika Logika). Kutipan tersebut sering terpampang di toko-toko buku, pun kerap menghiasi panggung-panggung festival literasi di Tanah Air. Siapa pun yang punya hobi membaca buku, sudah pasti tidak asing lagi dengan kutipan itu.
Bapak Republik Indonesia itu—setidaknya, demikian julukan yang disematkan tokoh nasional Mohammad Yamin kepada Tan Malaka—seolah hendak mengatakan kalau buku dan perpustakaan lebih penting daripada makanan dan pakaian. Bagi Tan Malaka, perkara otak dan pengetahuan lebih krusial daripada perkara sandang dan pangan. Pemikiran itu tentu tidak bisa diterima oleh semua orang. Sekaligus, itu tidak relevan dengan wacana kebijakan yang digembar-gemborkan penguasa hari ini—yang sangat mengutamakan makan. Jika pandangan Tan Malaka itu dibangkitkan lagi dalam lanskap politik Indonesia hari-hari ini, maka ia akan langsung mengonfrontasi pikiran rezim.
Demi Isi Perut
Gagasan yang mengedepankan literasi adalah gagasan yang ‘tidak seksi’ dari kacamata politik. Bagi elite politik kebanyakan, rakyat adalah objek kekuasaan. Eksistensi rakyat dianggap penting hanya karena mereka selama ini menjadi lumbung suara saat momentum pemilihan. Karena itulah, menggratiskan makan jauh lebih penting daripada mencerdaskan akal. Pemberian insentif yang menghasilkan dampak pada masa elektoral (pemilihan umum) lebih menguntungkan daripada menghilangkan kemiskinan struktural. Rakyat yang lapar lebih utama daripada rakyat yang pintar.
Tentu saya tidak menampik fakta soal masih banyaknya masyarakat yang harus bergelut dengan kemiskinan, yang setiap hari masih berurusan dengan masalah perut. Tapi, mau sampai kapan kita terus berkutat dengan solusi-solusi pragmatis dan cenderung gimik? Selama ini, kebijakan yang diambil pemerintah lebih banyak dikendalikan oleh perhitungan politik, sehingga tidak pernah benar-benar menyentuh persoalan masyarakat secara substansi.

Hal demikian kemudian kian diperkokoh dengan oligarki politik yang makin menguat dalam beberapa tahun belakangan. Indikasinya sangat jelas: ditunjukan oleh terbentuknya koalisi gemuk partai-partai politik yang pro-pemerintah, minimnya partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijakan publik, dan lahirnya kabinet pemerintahan yang banyak diisi oleh pengusaha dan pebisnis. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat bahwa pembentukan Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran sarat akan aroma balas budi. Setidaknya, dari total 48 menteri dalam pemerintahan, 34 di antaranya berafiliasi dengan dunia bisnis, baik langsung maupun tidak langsung. Sementara itu, dari 34 menteri tersebut, 15 di antaranya berafiliasi dengan bisnis ekstraktif, seperti pertambangan.
Sudah jadi rahasia umum bahwa ketika negara dikuasai oleh para oligark, rakyat adalah pihak yang paling dirugikan. Demokrasi, dengan demikian, semakin terancam dan terpojokkan. Partisipasi publik dalam pengambilan keputusan politik pun kian sulit. Penguasa pun—melalui hukum dan perangkat negara lainnya—akan terus mengendalikan dan mengontrol rakyat. Jika situasi itu tidak berubah, maka Indonesia hanya akan mengamini sebuah tesis dari Robert Michels dalam teorinya ‘ukum besi oligarki’. Dalam teorinya, sosiolog asal Jerman itu berpandangan bahwa demokrasi cenderung berubah menjadi oligarki.
Menengok Ke Belakang
Ketika kekuasaan dan pemerintahan disesaki oleh pengusaha dan pebisnis, literasi akan semakin tidak mendapat tempat. Masalahnya bukan hanya terletak pada pejabat pemerintah yang rawan punya konflik kepentingan, bukan hanya karena bisnis mereka, melainkan juga cara berpikir mereka yang hanya fokus memburu rente. Pengajar Hukum Tata Negara di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, dalam acara diskusi bertajuk “Ambang Batas Calon dan Pembatasan Masa Jabatan Presiden” pada Juni 2021 silam pernah mengatakan kalau oligarki bukan hanya soal mengumpulkan kekayaan, tetapi juga mengakumulasi lebih banyak kekayaan dan mengamankan kekayaan itu. Maka dari itu, bagi para oligark, kekuasaan dan kekayaan itu sama pentingnya: yang tidak penting adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita bisa berkata kalau cita-cita konstitusi itu tidak pernah ada di kepala mereka.
Kondisi Indonesia hari-hari ini sangat bertolak belakang dengan situasi ketika bangsa ini dulu diperjuangkan. Hampir semua pendiri bangsa, pada waktu itu, adalah seorang intelektual. Indonesia didirikan oleh mereka yang peduli dengan pengetahuan dan selalu bergelut dengan pemikiran, bukan oleh pebisnis yang hanya peduli pada kekayaan. Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, maupun Tan Malaka, semuanya adalah orang terpelajar yang kaya akan ilmu. Dan, tentu saja, mereka adalah pembaca yang tekun. Bagi mereka, membaca adalah kebutuhan. Tidak heran kalau tokoh-tokoh itu adalah pelahap banyak buku; semuanya menyerap khazanah ilmu pengetahuan dari berbagai belahan dunia.
Bung Hatta pernah berkata, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku, aku bebas.” Hal senada juga dituliskan oleh Bung Karno. Pada 1916, Sang Proklamator itu pernah menulis, “Buku mengenalkanku pada dunia dengan pikiran-pikiran dan aku ingin dunia tahu, aku dan bangsaku juga besar.” Melalui buku, Bung Karno memiliki imajinasi yang melampaui zamannya. Meski hidup dalam penjajahan, pikirannya dapat keluar dari kekangan kolonialisme. Dia masa sulit seperti itu, ia sudah membayangkan kehidupan bangsa yang merdeka.
Literasi tidak hanya mempertajam akal, tetapi juga memperhalus budi. Dengan literasi yang baik, sebuah bangsa menjadi bermartabat dan beroleh kemajuan. ~ Anggit Rizkianto Share on XSementara itu, Tan Malaka barangkali adalah contoh paling nyata yang bisa membuktikan bahwa kebiasaan membaca dapat menuntun seseorang melahirkan pikiran dan karya-karya besar—terlepas dari fakta bahwa ia merupakan seorang marxis (peminat atau ahli marxisme) dan dilupakan sejarah. Selama dalam pelarian—Tan Malaka diasingkan ke Belanda pada 1922, lalu menjadi buron sejak 1924 karena dikejar-kejar dinas rahasia Belanda—ia tak pernah lepas dari buku. Ia menyerap berbagai aliran filsafat dan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu eksakta, agama, ekonomi, dan politik. Kemampuan Tan Malaka dalam menyerap berbagai pengetahuan itu dapat kita lihat dalam buku Madilog yang ia tulis pada 1943. Karya monumental itu ditulisnya sebagai bentuk perlawanan terhadap pemikiran tahayul masyarakat kolonial yang ia sebut ‘logika mistika’. Namun, sebelumnya, ketika berada di Tiongkok pada 1925, tokoh revolusioner yang pernah ingin ‘mengawinkan’ komunisme dan Pan Islamisme ini sudah menulis risalah Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), sebuah manifesto tentang negara Indonesia yang bebas dari penjajahan.
Para pendiri Republik ini adalah orang-orang yang peduli pada literasi. Mereka gemar membaca, dan hasilnya, mereka pun mampu melahirkan gagasan-gagasan besar. Bangsa ini bisa merdeka karena tokoh-tokoh yang memperjuangkannya punya kesadaran dan cita-cita. Darimana kesadaran dan cita-cita itu lahir? Jawabannya adalah dari membaca.
Bisakah Literasi Berkembang di Negeri Ini?
Kini, setelah 79 tahun merdeka, Indonesia seolah tak punya lagi kesadaran dan cita-cita yang dulu pernah diperjuangkan para pendirinya. Sejarah seolah berbalik. Perjalanan bangsa Indonesia seolah berputar arah. Tingkat literasi masyarakat jatuh ke palung terdalam. Mencerdaskan kehidupan bangsa, yang menjadi cita-cita sebagaimana termaktub dalam pembukaan konstitusi, barangkali tak pernah lagi kita ingat. Negara tak pernah peduli soal itu.
Momentum pemilihan umum yang seharusnya membawa harapan nyatanya tak banyak mengubah keadaan. Banyak pakar dan pengamat yang mengatakan kalau rezim yang baru ini akan sama saja dengan rezim sebelumnya. Hal itu juga dipertegas oleh Prabowo-Gibran sebagai pemenang Pemilu 2024 yang berulang kali mengatakan akan melanjutkan program-program di masa pemerintahan Jokowi. Artinya, segala hal yang berkaitan dengan literasi akan begini-begini saja, atau bahkan menjadi lebih buruk. Literasi bangsa ini tak punya masa depan, apalagi setelah beberapa waktu lalu terkuak fakta kalau Wakil Presiden RI terpilih, Gibran Rakabuming Raka, tak suka membaca. Dalam satu acara bersama Najwa Shihab, Gibran mengaku secara blak-blakan pula mengaku kalau di keluarganya tidak tumbuh budaya membaca. Video rekaman acara tersebut viral di media sosial yang kemudian menjadi bahan olok-olokan warganet: bagaimana mungkin orang yang tak suka membaca terpilih menjadi wakil presiden?
Suramnya masa depan literasi bangsa ini tak berhenti sampai di situ. Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, menegaskan bahwa pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sebelumnya 11% menjadi 12% pada 2025. Itu artinya harga-harga bahan kebutuhan akan naik, begitu juga dengan harga buku. Rakyat menjerit. Para pembaca buku yang masih tersisa di negeri ini makin merana. Beberapa kenalan saya yang suka membaca mengatakan kalau harga buku sekarang—saat PPN belum naik—saja sudah tidak masuk akal. Mereka tidak bisa membayangkan akan semahal apa harga buku nantinya ketika PPN resmi naik.

Saya sebenarnya masih menyimpan harap untuk masa depan literasi yang lebih baik. Sebab, kita tak punya pilihan selain tetap optimis dan berusaha, bukan? Sebagaimana elite-elite politik yang terus berkonsolidasi demi mengamankan kekuasaan, saya kira masyarakat sipil pun perlu berkonsolidasi. Kita perlu bersiasat agar rakyat Indonesia tetap membaca dan mencintai ilmu pengetahuan. Sembari terus mendesak pemerintah agar menyediakan akses bacaan yang murah dan mudah, kampanye literasi harus tetap digiatkan. Begitu juga dengan perpustakaan, rumah baca, komunitas baca, dan semacamnya, tetap harus dijaga denyut nadinya. Gerakan seperti itu tidak boleh mati. Apalagi di tengah gempuran konten-konten pendek dan kemudahan melalui akal imitasi (kecerdasan buatan/AI) yang, disadari atau tidak, membuat kita makin tak tahan untuk membaca dan berpikir.
Saya pikir, mempertahankan kemampuan literasi pada dasarnya adalah mempertahankan peradaban. Literasi tidak hanya mempertajam akal, tetapi juga memperhalus budi. Dengan literasi yang baik, sebuah bangsa menjadi bermartabat dan beroleh kemajuan. Sebaliknya, tanpa literasi yang baik, sebuah bangsa hanya akan jadi pecundang dan anti-sains (anti-ilmu pengetahuan).

Anggit Rizkianto adalah penulis fiksi dan nonfiksi. Kini tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai dosen. Buku terbarunya, Pelayaran Terakhir: Kolase Kisah dari Bumi Timah hingga Jawa (2024), diterbitkan oleh PT Mekar Cipta Lestari.