Ketika Seorang Ateis Meneliti Praktik Ziarah
April 18, 2024Benarkah Media Sosial Mengancam Demokrasi?
April 24, 2024Photo by Isheas
RESENSI BUKU
Pertumbuhan Ekonomi: Neraca Menuju Akhir Dunia
oleh Muhammad Ifan Fadillah
Ada yang menarik dalam debat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada pemilihan umum (pemilu) 2024 silam. Ketiga pasangan calon (paslon) sama-sama mempunyai kesamaan terkait optimisme angka pertumbuhan ekonomi.
Pasangan nomor urut 01, Anies-Muhaimin, memiliki terget pertumbuhan ekonomi di angka 5,5 sampai 6,5 persen. Pasangan nomor urut 02, Prabowo-Gibran, memasang terget lebih tinggi, yakni 6 sampai 7 persen. Sementara itu, pasangan nomor urut 03, Ganjar-Mahfud, memasang target yang sama, yakni 7 persen.
Tentu kita tahu bahwa optimisme dari ketiga paslon itu menjadi propaganda politik untuk mengambil hati para pemilih demi menjadikan mereka pemimpin yang bisa membawa kemakmuran bagi Indonesia. Optimisme itu tentu saja perlu kita respon dengan sikap kritis; kita perlu mempertanyakan bukan hanya soal betapa tidak realistisnya angka pertumbuhan ekonomi yang mereka targetkan, tetapi juga soal mengapa menggunakan angka pertumbuhan ekonomi sebagai standarisasi kemakmuran?
Melampaui Kemakmuran yang Individualistik
Menjawab pertanyaan tersebut, satu buku yang penting dibaca adalah buku karangan ekonom ekologis, Tim Jackson, berjudul Prosperity Without Growth: Economics for a Finite Planet (Kemakmuran tanpa Pertumbuhan: Ekonomi untuk Planet yang Terbatas). Buku ini diterbitkan setelah krisis ekonomi 2008 yang kian mempertegas keyakinan Jackson bahwa pertumbuhan ekonomi bukan menjadi neraca untuk membawa setiap negara menuju kemakmuran.
Jackson menulis bagian awalnya bukunya dengan memberikan penjelasan terkait definisi kemakmuran. Ia menolak kemakmuran yang bersifat individualistik, yaitu kemakmuran yang hanya dilihat sebagai segala sesuatu yang berjalan baik bagi individu, sesuai dengan harapan dan ekspektasi pribadi. Jackson mengingatkan kita bahwa kemakmuran harus dipahami sebagai sesuatu yang bersifat kolektif, yakni kondisi di mana kita semua terbebas dari kelaparan dan tunawisma, terlepas dari kemiskinan dan ketidakadilan, dan terwujudnya dunia yang aman dan damai. Bagi Jackson, ketika kita menginginkan kemakmuran universal, kita harus menjamin adanya keberlanjutan sumber daya alam, tempat di mana anak-anak kita dan generasi berikutnya bisa mendapatkan kehidupan yang nyaman nantinya.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah bagaimana agar keberlanjutan untuk mencapai kemakmuran universal itu bisa terwujud? Bagi para ekonom, keberlanjutan untuk mencapai kemakmuran bisa dinilai dari peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan angka produk domestik bruto (PDB). Sederhananya, PDB menghitung nilai ekonomi barang dan jasa yang diperdagangkan di pasar. Logika para ekonom adalah peningkatan terus-menerus dalam PDB dianggap sebagai tanda kemakmuran yang meningkat, karena menunjukkan bahwa masyarakat menghabiskan uang mereka untuk lebih banyak komoditas yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.
Menurut Jackson, kemakmuran harus dipahami sebagai sesuatu yang bersifat kolektif, yakni kondisi di mana kita semua terbebas dari kelaparan, kemiskinan, ketidakadilan, dan terwujudnya dunia yang aman dan damai ~ M. Ifan Fadillah Share on XBagi Jackson, kemakmuran yang didefinisikan demikian adalah konstruksi modern yang telah mendapat kritik karena hanya melihat kemakmuran sebagai uang dan kekayaan, tetapi tidak memperhitungkan aspek-aspek non-moneter lainnya. Jackson melanjutkan kritiknya dengan mengatakan bahwa sebenarnya angka peningkatan PDB tidak terbagi secara merata. Itu terbukti dengan adanya ketimpangan, di mana seperlima dari populasi dunia hanya mendapatkan 2 persen dari pendapatan global.Berbanding terbalik dengan itu, dua puluh persen orang terkaya di dunia mampu meraup 74 persen dari pendapatan global.
Selain ketimpangan pendapatan, Jackson juga memberikan kritik atas logika pertumbuhan ekonomi dari sisi keberlanjutan ekologis. Jackson pun mengajukan pertanyaan kritis: bagaimana dan untuk berapa lama pertumbuhan ekonomi dengan logika akumulasi keuntungan tak terbatas itu tidak bertabrakan dengan batasan ekologis dari planet yang terbatas?
Kontradiksi Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Keberlanjutan Ekologi
Jackson memberikan analisisnya soal pertumbuhan ekonomi yang telah menabrak batasan-batasan ekologis yang ada. Ia memaparkan banyak fakta terkait batasan ekologis yang mulai rapuh, seperti laju deforestasi yang semakin cepat, percepatan kepunahan keanekaragaman hayati yang belum pernah terjadi sebelumnya, keruntuhan stok ikan, kelangkaan air, serta pencemaran tanah dan pasokan air. Klaim Jackson itu diperkuat dengan data konkret bahwa ada sekitar 60 persen ekosistem dunia yang telah rusak dan dieksploitasi secara berlebihan sejak pertengahan abad ke-20.
Sementara itu, di sisi ekonomi global, pertumbuhan ekonomi telah tumbuh lebih dari 5 kali lipat. Jika pertumbuhan tersebut terus berlanjut dengan laju yang sama, pada tahun 2100, ekonomi akan menjadi 80 kali lebih besar dari pada tahun 1950. Berangkat dari berbagai fakta yang diutarakan, Jackson lalu meyakinkan pembaca karyanya bahwa dampak ini akan terus terjadi jika model bisnis yang berbasis akumulasi keuntungan tetap dipertahankan. Bagi Jackson, kemakmuran dengan angka pertumbuhan ekonomi hanya menguntungkan segelintir orang dan di sisi lain telah mengakibatkan terjadinya penghancuran ekologi dan ketidakadilan sosial di masyarakat.
Ukuran Kemakmuran dan Dilema Pertumbuhan
Jackson mencoba mendefinisikan kembali ukuran kemakmuran dan melihat adanya dilema antara pertumbuhan dan kemakmuran. Bagi Jackson, kemakmuran bukanlah konsep sederhana yang dapat diukur dengan satu atau dua indikator saja. Sebaliknya, ukuran kemakmuran melibatkan berbagai faktor, termasuk kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Pengukuran kemakmuran manusia tidak boleh terbatas pada pendekatan yang sempit. Menurut Jackson, kita perlu mengadopsi pendekatan yang komprehensif dan inklusif yang mencerminkan kompleksitas dan keragaman pengalaman manusia. itu berarti juga mempertimbangkan berbagai dimensi kemakmuran lainnya, termasuk kemakmuran material, kemakmuran sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Jackson melanjutkan bahwa pengukuran kemakmuran juga harus mencerminkan nilai-nilai dan preferensi yang berbeda dari berbagai individu dan kelompok. Artinya, kita perlu mengakui bahwa definisi kemakmuran bisa berbeda dari satu orang ke orang lain dan dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Sebaliknya, kita perlu mengembangkan kerangka kerja yang dapat mengakomodasi keragaman itu dan memastikan bahwa pengukuran kemakmuran bisa mengakomodasi nilai-nilai dan preferensi yang berbeda-beda itu. Dengan mengadopsi pendekatan yang komprehensif dan inklusif terhadap pengukuran kesejahteraan manusia, kita dapat memastikan bahwa kebijakan dan program yang dirancang untuk meningkatkan kemakmuran manusia menjadi efektif, relevan, dan berkelanjutan.
Setelah menjelaskan ukuran kemakmuran, Jackson mencoba mempersoalkan dilema yang kompleks antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Menurut Jackson, di satu sisi, pertumbuhan ekonomi dianggap penting karena meningkatkan kemakmuran dan stabilitas ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi juga sering kali menyebabkan peningkatan konsumsi sumber daya alam dan menghasilkan dampak negatif pada lingkungan, seperti polusi dan perubahan iklim. Di sisi lain, upaya untuk mengurangi konsumsi dan merespons masalah lingkungan dapat mengakibatkan penurunan dalam pertumbuhan ekonomi, meningkatkan angka pengangguran, dan memicu resesi ekonomi. Posisi keduanya menjadi serba ambigu dan dilematis.
Penyelesaian dilema itu memerlukan keseimbangan antara kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Pendekatan yang diperlukan adalah mengidentifikasi solusi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung secara berkelanjutan dan, dalam waktu bersamaan, juga memperhitungkan dampak lingkungan dan sosialnya secara seimbang. Hal itu dapat dilakukan dengan melibatkan kebijakan publik yang mampu mendukung inovasi teknologi ramah lingkungan, pengembangan sumber daya terbarukan, dan gaya hidup berkelanjutan.
Dengan memahami kompleksitas dilema itu, dan dengan mengadopsi pendekatan yang holistik, mungkin kita dapat menemukan solusi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi dapat berjalan secara berkelanjutan, sambil tetap menjaga dan melindungi alam untuk generasi yang akan datang. Ini menekankan pentingnya kesadaran akan keterkaitan antara aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial dalam upaya mencapai kemakmuran yang berkelanjutan.
Setelah Logika Pertumbuhan, Apa Selanjutnya?
Dalam bab-bab terakhir bukunya, Jackson memberikan saran penting agar kita bisa mencapai kemakmuran yang berkelanjutan. Menurut Jackson, kita perlu menyesuaikan pemenuhan kebutuhan manusia yang sesuai dengan batasan-batasan tertentu; batasan yang telah ditetapkan oleh alam dan sumber daya planet yang terbatas. Kita tidak bisa terus-menerus memperluas keinginan kita terhadap hasrat akumulasi keuntungan yang tidak terbatas. Berangkat dari hal tersebut, menurut Jackson, kita perlu memperbaiki sistem ekonomi dengan menciptakan cara pandang baru yang memperhatikan keberlanjutan ekologi. Sistem ekonomi yang menurut Jackson harus mempertimbangkan batasan-batasan ekologi dan tidak melulu bergantung pada pertumbuhan konsumsi yang terus-menerus adalah sesuatu yang perlu kita upayakan.
Lantas, apakah revolusi sistem ekonomi menjadi solusi dari seluruh masalah ketidakberlanjutan lingkungan? Jackson memberikan posisi ideologisnya bahwa ia menolak revolusi, tapi ia juga tidak menerima status quo (kondisi yang saat ini berlangsung). Jackson menolak revolusi karena agenda tersebut bisa membuat setiap struktur institusional runtuh dan memberikan jalan bagi berlangsungnya barbarisme di kehidupan manusia. Jackson memilih pada posisi yang lebih lunak; menurutnya kalangan progresif membutuhkan langkah-langkah konkret untuk membangun perubahan, seperti dengan melibatkan pemerintah karena, bagaimana pun, merekalah yang mampu membuat atau memengaruhi kebijakan.
Berangkat dari dasar posisi ideologis itu, Jackson mengemukakan visinya bahwa kita perlu membangun ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga pada pemerataan kekayaan, partisipasi masyarakat dalam kehidupan sosial, keadilan ekologis, dan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi semua orang. Bagi Jackson, visi tersebut memerlukan perubahan dalam struktur dan institusi sosial. Itu juga memerlukan dukungan dari individu dan komunitas sosial untuk mengubah pola hidup dan pola konsumsi mereka menuju ke arah yang lebih berkelanjutan. Visi Jackson itu perlu dilihat dalam perspektif pengembangan ekonomi yang lebih inklusif, di mana kepemilikan dan kendali atas sumber daya ekonomi didistribusikan secara lebih merata dan investasi lebih difokuskan pada aset-aset ekologis yang berorientasi pada kepentingan bersama masyarakat.
Kritik Jackson terhadap paradigma ekonomi itu dan ajakannya untuk mendefinisikan kemakmuran di luar sekadar pertumbuhan ekonomi mendesak untuk kita pahami dalam konteks diskusi politik kontemporer, terutama saat pemilihan umum 2024 di Indonesia. Target pertumbuhan yang ambisius yang ditetapkan oleh para calon presiden dan wakil presiden mencerminkan pemahaman sempit tentang kemakmuran yang berpusat pada metrik ekonomi, seperti pertumbuhan PDB.
Gagasan Jackson menantang kebijakan konvensional itu dengan menyoroti adanya kebutuhan mendesak untuk memprioritaskan keberlanjutan dan mengatasi batasan ekologis planet kita. Argumennya mendorong kita untuk mempertanyakan tidak hanya kelayakan target pertumbuhan ekonomi, tetapi juga asumsi mendasar tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan manusia. Saat pemilih mempertimbangkan janji-janji para kandidat politik, karya Jackson menjadi pengingat penting yang melibatkan kita dalam diskusi yang lebih kompleks tentang makna kemakmuran dan jalur untuk mencapainya secara berkelanjutan.
Muhammad Ifan Fadillah sedang sibuk menjaga toko dan kerja sampingan sebagai pengajar di kampus.
Artikel Terkait
Bukit Algoritma dan Ilusi Techno-Solutionism
Klaim-klaim yang dibuat untuk mendukung proyek Bukit Algoritma umumnya berangkat dari pemahaman bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan teknologi. Dalam artikel ini, penulis mendiskusikan bahaya ilusi techno-solutionism dan pentingnya terlebih dahulu mengatasi kesenjangan yang ada.Kapitalisme di Persimpangan Jalan
Kapitalisme memiliki andil yang besar atas tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan serta pemanasan global. Namun apakah kapitalisme itu merupakan sesuatu yang jahat yang harus dimusuhi dan dihapuskan?Perkembangan Sistem Perekonomian Modern: Kapitalis, Komunis, Sosialis, dan Campuran
Artikel ini membahas perkembangan sistem perekonomian hingga akhirnya menjadi seperti sekarang, dimana ada negara yang condong menerapkan sistem kapitalis, sosialis, dan juga campuran.