Membayangkan Demokrasi di Indonesia: Trauma Kolektif dan Toleransi

Perkembangan demokrasi Indonesia sejak masa kemerdekaan juga menunjukkan pergolakan khas demokrasi muda yang sedang mencari jati diri dan tujuan.

Ide Utama

Mengangkat banner bersimbol hati

Konsep Mini

Pandangan ideologi politik di mana setiap warga memiliki kesempatan yang sama besarnya untuk terlibat dalam pemerintahan.

Gagasan tentang individu atau kelompok yang dianggap berbeda atau berada di luar norma kelompok sosial yang dominan. Konsep ini sangat penting untuk memahami identitas, dinamika kekuasaan, dan konstruksi hirarki sosial. Liyan sering kali dibangun melalui proses eksklusi, di mana sifat, kepercayaan, atau perilaku tertentu ditandai sebagai “berbeda.”

“Tiba saatnya Indonesia untuk memilih (Yuk Memilih)/Bersama datang ke TPS salurkan aspirasi/Langsung Umum Bebas Rahasia Jujur dan Adil/Demi Indonesia Damai Sejahtera/(Ayo !!!)/Kita Memilih untuk Indonesia/ Menggapai cita lewat suara kita/Bagimu Indonesia Sukseskan Demokrasi/Jadi pemilih berdaulat Negara Indonesia Kuat/Jadi pemilih berdaulat Negara Indonesia Kuat.”

Meskipun Mars Pemilu 2019 ini mungkin tidak terlalu melekat di ingatan para pemilih dibandingkan dengan Mars Pemilu masa Orde Baru, liriknya mencerminkan semangat demokrasi modern Indonesia dengan lugas hanya dalam sembilan baris singkat. Lagu ini menggarisbawahi pentingnya hak pilih rakyat bagi keberlangsungan negara Republik Indonesia sebagai negara demokrasi muda yang hampir berusia 74 tahun. Perkembangan demokrasi Indonesia sejak masa kemerdekaan juga menunjukkan pergolakan khas demokrasi muda yang sedang mencari jati diri dan tujuan.   

Dari mana demokrasi berasal? Victor Ehrenberg menggambarkan konsep demokrasi yang berasal dari masyarakat Yunani, masyarakat politis pertama dalam sejarah. Pada masa itu, masyarakat Yunani membentuk negara dari komunitas-komunitas warga yang bertanggung jawab atas pembuatan kebijakan dan urusan administrasi. Setiap warga memiliki kesempatan yang sama besarnya untuk terlibat dalam pemerintahan. Inilah konsep dasar demokrasi, yang tercermin dari akar kata ‘demokrasi’: demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan).

Mengangkat banner bersimbol hati
Setiap warga memiliki kesempatan yang sama besarnya untuk terlibat dalam pemerintahan.

Di tahun-tahun pertama pasca kemerdekaan, terjadi pergantian sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer, mengacu kepada demokrasi Barat dengan parlemen yang kuat sebagai bentuk perwakilan rakyat. Akan tetapi, sistem ini tidak berhasil karena sistem politik yang belum stabil mengakibatkan seringnya terjadi pergantian kabinet. Aktivitas ekonomi terhambat karena Pemerintah tidak memiliki cukup waktu untuk melaksanakan program kerja. Ketidakstabilan di ibukota merambat ke daerah dan memicu berbagai pemberontakan seperti Darul Islam, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia-Perjuangan Semesta (PRRI-Permesta), dan sebagainya. Hal ini mendorong Presiden Soekarno untuk mengganti sistem pemerintahan menjadi presidensial dan merangkul semua kekuatan politik yang ada, termasuk partai pemenang pemilu 1955 yaitu Partai Nasional Indonesia, Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdlatul Ulama, dan Partai Komunis Indonesia, serta kekuatan militer.

Lama-kelamaan, Presiden Soekarno mendominasi lembaga legislatif dan yudikatif, yang menjadikan pemerintahannya sebagai sebuah otokrasi bertajuk Demokrasi Terpimpin, terutama setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Empat tahun kemudian, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang dibentuk Presiden Soekarno menetapkan beliau sebagai presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS No. III/1963, sebuah pelanggaran konstitusi dan sistem demokrasi. Demokrasi Terpimpin berakhir dengan salah satu periode paling kelabu sepanjang sejarah Indonesia merdeka, ketika berbagai elemen masyarakat yang dicurigai sebagai komunis diculik, dibunuh, atau ditahan secara sistematis selama berbulan-bulan. Puncaknya adalah peristiwa yang sepanjang Orde Baru dikenal dengan nama Peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI), atau sekarang lebih dikenal sebagai Tragedi 1965. Tidak ada yang dapat menyebutkan jumlah korban jiwa dalam peristiwa ini, sebuah titik sejarah yang penting bagi Indonesia dengan gaungnya yang masih terasa lebih dari 50 tahun kemudian.

Pada tahun 1966, berbekal Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Letnan Jenderal Soeharto mengambil alih pimpinan dari Presiden Soekarno dan menjadi Presiden Republik Indonesia yang kedua dengan rezim Orde Baru. Tujuan utama Orde Baru adalah untuk menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Orde Baru mengadopsi nilai-nilai demokrasi Barat untuk menunjukkan bahwa mereka telah berhasil mengakhiri berkembangnya paham komunis di Indonesia. Berbagai langkah diambil untuk mengembalikan keseimbangan kekuatan eksekutif, yudikatif, dan legislatif, serta membuka keran informasi dan investasi bagi dunia internasional. Akan tetapi, sejarah kemudian kembali berulang ketika perlahan terjadi pemusatan kekuasaan pada Presiden Soeharto.      

Kebijakan politik yang diambil Presiden Soeharto banyak ditempuh melalui jalur ABG — Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Birokrasi, dan Golongan Karya (Golkar). Beragam partai politik yang ada diperkecil jumlahnya melalui kebijakan fusi partai, di mana partai-partai nasionalis dilebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia, partai-partai Islamis menjadi Partai Persatuan Pembangunan, dan Golkar menjadi organisasi politik non-partai yang diizinkan memiliki pengurus hingga tingkat desa dan kelurahan. Pegawai negeri sipil diharuskan memilih Golkar di setiap pemilu. Korupsi, kolusi, dan nepotisme berkembang seiring dengan bertambahnya kekuatan Presiden Soeharto. Rakyat semakin resah dan kelompok-kelompok anti Presiden Soeharto muncul di berbagai kalangan masyarakat, terutama kelompok mahasiswa di berbagai kampus. Setelah 32 tahun berkuasa, di tengah gelombang demonstrasi terus-menerus dan krisis ekonomi Asia pada saat itu, Presiden Soeharto menyatakan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998. Era Reformasi pun dimulai.

Wakil Presiden B.J. Habibie menggantikan Presiden Soeharto dan mengemban tugas berat memimpin Kabinet Reformasi Pembangunan untuk melakukan reformasi menyeluruh baik di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Dengan adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik, ada 141 partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, 48 partai di antaranya berhasil berpartisipasi dalam Pemilu 1999. Di masa Reformasi, sistem pemerintahan yang menitikberatkan kekuasaan di pemerintah pusat pun diganti dengan sistem desentralisasi, di mana pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki andil yang lebih besar dalam menentukan arah pembangunan dan perundang-undangan di daerah setempat.

Di tengah-tengah dorongan untuk mengerucutkan identitas diri dan kelompok, bangsa Indonesia perlu terus mawas diri akan pentingnya toleransi terhadap keberagaman yang juga merupakan identitas bangsa. ~ Tyagita Silka Share on X

Lalu bagaimana keadaan demokrasi Indonesia saat ini?

Banyak pengamat menilai Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dengan keadaan politik dan ekonomi yang stabil, pers yang bebas, serta semakin berkembangnya berbagai daerah di luar ibukota Jakarta. Selama dua dekade terakhir, bangsa Indonesia telah memilih tiga dari empat presiden melalui pemilu langsung. Sejak Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan, pemilihan kepala daerah pun dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah setempat.

Satu hal yang memicu kekhawatiran banyak pengamat di dalam dan di luar negeri adalah berkurangnya toleransi di tengah maraknya politik identitas yang mewarnai pemilu Presiden tahun 2014 dan 2019, serta pemilu kepala daerah DKI Jakarta tahun 2017. Dalam masa kampanye sejak tahun 2014, para kandidat tidak hanya mengedepankan program kerja untuk memenangkan pemilu, tetapi juga berusaha memengaruhi pemilih melalui identitas yang mereka tampilkan di muka publik. Seiring dengan pesatnya perkembangan internet dan media sosial, kampanye pun dilakukan di dunia maya untuk menggiring opini publik, baik secara terbuka maupun terselubung, untuk menentukan sikap dan memperteguh identitas melawan kubu dengan pilihan yang berbeda. Kampanye negatif pun dilakukan dengan memanfaatkan trauma kolektif bangsa Indonesia terhadap Tragedi 1965, masa penjajahan, dan krisis ekonomi melalui isu komunis, penjualan aset negara kepada pihak asing, dan pinjaman luar negeri. Masyarakat pun terpecah ke dalam dua kubu yang identitasnya seakan-akan bertolak belakang dan mengecualikan satu sama lain—sesama atau liyan.

Sentimen identitas yang dimanfaatkan oleh kandidat politik seperti yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari tren politik yang terjadi di seluruh dunia. Hal ini diungkapkan Amy Chua dalam diskusi bukunya yang diselenggarakan Carnegie Council for Ethics in International Affairs. Ia menggambarkan bagaimana di berbagai negara, individu akan memilih identitas kelompok seperti etnisitas, agama, atau sekte—dan mereka rela membela identitas tersebut hingga titik darah penghabisan. Meski demikian, politik identitas bukanlah sesuatu yang secara inheren buruk. Amy Gutmann dalam Identity in Democracy menyatakan bahwa politik identitas tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat demokratis karena identitas adalah pengejawantahan jati diri masyarakat dan jati diri tersebut menunjukkan apa yang mereka inginkan dari politik yang demokratis. Menurut ilmuwan politik ternama ini, kita perlu membedakan antara tuntutan kelompok masyarakat yang mendorong adanya keadilan dan menghambat keadilan.  

Di tengah-tengah dorongan untuk mengerucutkan identitas diri dan kelompok, bangsa Indonesia perlu terus mawas diri akan pentingnya toleransi terhadap keberagaman yang juga merupakan identitas bangsa. Bisakah dibayangkan betapa berbahayanya jika politik identitas terus-menerus diwarnai dengan kebencian dan ketakutan terhadap yang liyan? Apa dampaknya bagi kesatuan dan persatuan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang terdiri atas ratusan suku bangsa, bahasa, agama, dan kepercayaan di sebuah ruang geografis berupa lautan luas dan belasan ribu pulau? Seperti dikemukakan Indonesianis Benedict Anderson dalam Imagined Communities, sebuah bangsa adalah komunitas yang dibayangkan memiliki batas dan kedaulatan. Bahkan keberadaan bangsa sebagai komunitas pun adalah sesuatu yang dibayangkan, karena bangsa dengan populasi terkecil di dunia sekalipun tidak akan pernah dapat bertemu dengan semua saudara sebangsanya. Untuk dapat terus menjaga keseimbangan kehidupan bermasyarakat dan kemerdekaan menyuarakan pendapat, bangsa Indonesia perlu terus membayangkan identitasnya sebagai bangsa yang beradab dan penuh tenggang rasa terhadap saudara-saudaranya yang berbeda pendapat—menjadi pemilih yang berdaulat bagi Indonesia yang kuat.

Bacaan Lanjutan

Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso Books.

Chua, Amy. (2018). Political Tribes: Group Instinct and the Fate of Nations. London: Bloomsbury.

Gutmann, Amy. (2004). Identity in Democracy. New Jersey: Princeton.

Jackson, Karl D. and Lucian W. Pyle, eds. (1978). Political Power and Communications in Indonesia. Berkeley: University of California Press.

Maarif, Ahmad Syafii Maarif dalam Ali-Fauzi, Ihsan dan Samsu Rizal Panggabean, eds. (2012). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia. http://abbah.yolasite.com/resources/POLITIK%20IDENTITAS.pdf

Roosa, John. (2006). Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia. Madison: University of Wisconsin Press.

Membayangkan Demokrasi di Indonesia: Trauma Kolektif dan Toleransi

Tyagita Silka Hapsari adalah penulis dan pengelola konten di sebuah lembaga penelitian. Ia menikmati mengolah kata, mencintai koma serial, dan kerap menemukan dirinya terjerumus semakin dalam di lubang kelinci saat mengikuti jejak remah-remah informasi. Minat penelitiannya adalah di bidang ekonomi politik dan komunikasi digital. Cintanya pada Jakarta tumbuh semakin dalam dengan hadirnya Ratangga.


This site is registered on portal.liquid-themes.com as a development site. Switch to production mode to remove this warning.