Apa itu Keadilan?: Sebuah Perdebatan Tanpa Akhir

Patung "The Thinker"

Ide Utama

“Dapatkah sebuah negara mendistribusikan sumber daya kepada masyarakat sehingga tercipta keadilan sosial tanpa mengurangi hak-hak individu?”

Pertanyaan menggelitik itu muncul di saluran Youtube Guru Gembul pada episode “Filsafat Keadilan Patrick Star.” Konsep keadilan memang menjadi topik perdebatan yang terus bergulir dari generasi ke generasi. Gagasan mengenai keadilan pun mendapat perhatian khusus di kajian filsafat moral (etika), filsafat politik, dan filsafat hukum.

Antara Hak Individu dan Keadilan Sosial

Secara umum, para pemikir mendeskripsikan keadilan sebagai norma dan kebajikan. Misalnya, John Rawls, filosof asal Amerika Serikat, mendefinisikan keadilan sebagai kebajikan pertama dari institusi sosial. Rawls bukanlah filosof pertama yang menyatakan hal tersebut. Di era Filsafat Yunani Kuno, Plato juga sudah membahas topik tersebut dalam karyanya yang berjudul Republic. Plato menawarkan diskusi tentang sifat keadilan sebagai kebajikan dan hubungannya dengan kebahagiaan.

Konsep keadilan sosial, terutama dalam hubungannya dengan tradisi liberalisme (prinsip kebebasan sebagai hak individu), memicu lahirnya lebih banyak eksplorasi dan perdebatan. Contohnya adalah undang-undang yang melindungi hak-hak individu untuk melakukan sesuatu yang pada praktiknya ikut menggeser keadilan sosial di masyarakat. 

Sebagai ilustrasi, undang-undang menyatakan bahwa semua orang berhak menjadi presiden dan pasukan pengawal presiden. Suatu saat, X menjadi presiden dan Y menjadi pengawal presiden. Di sinilah dilema antara keadilan sosial dan hak individu terjadi. Ketika hak-hak individu mewujud, keadilan sosial di antara X dan Y itu menghilang. Sebab, hak-hak X sebagai presiden menjadi lebih diprioritaskan dan diakui daripada hak-hak Y yang merupakan seorang pengawal presiden. Dalam penugasannya, terdapat protokol yang mewajibkan pengawal presiden mengorbankan diri untuk menghindarkan presiden dari berbagai bahaya atau ancaman. 

Contoh di atas memunculkan pertanyaan mendasar tentang arti keadilan. Berbeda dengan keadilan yang didefinisikan sebagai norma dan kebajikan, kamus Cambridge (Cambridge dictionary) mendefinisikannya  sebagai fairness atau cara yang sama dalam memperlakukan orang. Keadilan juga didefinisikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya, bukan menempatkan sesuatu secara sama pada semua orang. Artinya, keadilan tidak sama dengan equality (kesetaraan). 

Sejak 2000-an tahun yang lalu, Aristotle telah membahas perdebatan itu. Ia membagi keadilan menjadi dua kategori, yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif adalah keadilan yang melibatkan kesamarataan distribusi di antara anggota komunitas. Sementara itu, keadilan korektif adalah keadilan yang mensyaratkan seseorang, dalam situasi tertentu, membangun keadilan proporsional sesuai kebutuhan anggota komunitasnya.

Dengan kata lain, keadilan distributif mendistribusikan keadilan yang secara angka sama di antara semua orang, sementara keadilan  korektif mendistribusikan keadilan sebagai sesuatu yang proporsional atau menempatkan sesuatu sesuai porsinya masing-masing. 

Contohnya, X adalah seorang atlet angkat besi pemula dan Y adalah seorang atlet angkat besi senior yang sudah dilatih selama 20 tahun. Pelatih melatih X dengan memberikannya beban 70 kilogram, sementara beban yang diberikan pelatih kepada Y adalah 140 kilogram. Meskipun itu tidak ‘setara’, Aristotle melihatnya sebagai sebuah keadilan. 

Aristoteles memang melihat keadilan sebagai suatu perlakuan yang proporsional, yaitu memungkinkan seseorang menerima barang atau manfaat (benefit) yang porsinya tidak sama dengan yang lainnya. Analoginya, jika A dua kali lebih pantas atau lebih membutuhkan daripada B, keadilan memperbolehkan A untuk menerima lebih banyak daripada B.

Dari Keadilan Proporsional ke Ketidakadilan Fundamental

Sayangnya, konsep keadilan yang didefinisikan Aristotle tidak dapat menyelesaikan semua masalah dalam kehidupan nyata. Ada banyak variabel lain yang muncul dan menyisakan sejumlah pertanyaan.

Misalnya, dalam kasus seorang dokter di kota terpencil yang memiliki persediaan obat terbatas, ia tidak dapat memutuskan apakah ia perlu memberikan obat dengan dosis yang lebih tinggi pada seorang pasien dibandingkan pasien lainnya. Sebab, selain persediaan obatnya yang terbatas, ia juga kurang memiliki pengetahuan medis khusus, sehingga tidak dapat mengidentifikasi apakah kondisi seorang pasien lebih kritis daripada yang lainnya. 

John Rawls menaruh perhatiannya pada kasus semacam ini. Menurut Rawls, gagasan tentang keadilan proporsional yang harus menempatkan sesuatu pada tempatnya itu tidak jelas. Rawls mengatakan bahwa seseorang punya permasalahan dimana ia tidak pernah tahu posisi dirinya di dalam sebuah tatanan masyarakat. Itu merupakan problematika alamiah manusia yang oleh Rawls disebut sebagai veil of ignorance (selubung ketidaktahuan).

Mengutip Guru Gembul, keadilan absolut di dunia adalah ketidakadilan yang besar, karena ada banyak sekali kontradiksi di dalamnya. ~ Sylvia Maudy Share on X

Contohnya, X merupakan seseorang berperawakan tinggi, tegak, dan bugar yang banyak menghabiskan waktunya membaca komik di kamar. Berkaitan dengan konsep keadilan proporsional, dengan postur badan yang dimilikinya, X seharusnya lebih cocok menjadi atlet atau berada di medan tempur untuk memperjuangkan negaranya. Namun, karena X ‘hanya’ menghabiskan waktu membaca komik, X dapat dipandang sebagai seseorang yang tidak tahu tempat dan posisinya. 

John Rawls mengonsepkan keadilan di atas sebagai kondisi di mana seseorang masih mengambil posisi netral. Untuk mengetahui tempatnya di dalam masyarakat, seseorang harus menempuh jalan tertentu menuju sesuatu yang dicita-citakannya. Semisal, untuk menjadi seorang presiden, X harus menempuh tangga-tangga khusus, seperti pendidikan, jenjang karir politik, dan lain sebagainya. Tahapan yang dilalui X dalam fase tersebut adalah upaya untuk menempatkan diri pada tempatnya dan berusaha menjadi lebih berkeadilan. Sebagaimana yang dikatakan Rawls bahwa seseorang bebas mengambil tanggung jawab untuk merencanakan hidupnya sendiri atau diberikan kesempatan dan sumber daya yang bisa mereka harapkan secara wajar.

Meskipun demikian, ketika seseorang sudah mencapai keinginannya dan  mampu menempatkan diri pada posisi yang berkeadilan, hal itu tetap saja memunculkan ketidakadilan lain yang lebih fundamental. 

Mengambil contoh di  dunia persepakbolaan, seseorang berlomba-lomba  masuk  ke  klub sepak bola sebagai pemain depan (striker). Seperti yang telah banyak diketahui, posisi striker memberi peluang yang lebih besar untuk menjadi bintang, menerima gaji yang lebih banyak, dan memiliki kesempatan memperoleh ballon d’Or (penghargaan tahunan sepak bola internasional paling bergengsi). Sebaliknya, semakin belakang posisi seorang pemain, semakin kecil peluang dia untuk memperoleh berbagai keuntungan tersebut. Dalam sejarah dunia, Lev Yashin, pemain bola asal Rusia, menjadi satu-satunya penjaga gawang (kiper) yang pernah mendapatkan ballon d’Or.  

Hal ini menyiratkan bahwa pemain belakang seolah tidak lebih penting daripada pemain depan. Padahal, pada kenyataannya, pertahanan justru lebih penting dibandingkan serangan. Bahkan, ketika suatu tim kehilangan pemain belakang (bek) dan kiper, pelatih pasti menukarnya dengan pemain depan. 

Contoh bentuk ketidakadilan lain yang ditemukan dalam dunia persepakbolaan adalah ketika seorang pemain depan berhasil mengegolkan satu dari lima percobaan, orang-orang akan menganggap dia sebagai seorang ‘pahlawan’. Sebaliknya, ketika seorang kiper menyelamatkan satu dari lima percobaan, posisinya sebagai kiper akan terancam (dipecat) karena telah kebobolan satu gol. Padahal, pemain belakang lebih mungkin melakukan pelanggaran karena posisinya ada di belakang, sementara pemain depan lebih berpeluang menciptakan bonus dan mencetak prestasi. Hal itu menunjukkan bahwa sekalipun  setiap orang sudah menempatkan posisinya sesuai porsinya masing-masing, keadilan masih tidak mungkin terwujud.

Guru Gembul dalam saluran Youtube-nya mengutip Samuel Moyn, ahli hukum dan sejarah asal Amerika Serikat, yang mengatakan bahwa dalam mewujudkan hak asasi manusia dengan sangat sempurna, ketidaksetaraan baru akan terus menyertainya. Guru Gembul mengatakan bahwa semua bentuk upaya manusia untuk mewujudkan keadilan akan berdampak pada lahirnya ketidakadilan lain. Ia menyebutkan bahwa keadilan absolut di dunia adalah ketidakadilan yang besar, karena ada banyak sekali kontradiksi, dilema, dan paradoks di dalam keadilan itu sendiri. 

Hal itu sebagaimana yang juga dikatakan oleh Patrick Star bahwa dunia pada dasarnya tidak pernah adil dan manusia perlu membiasakan diri pada ketidakadilan tersebut.

 

 


SILVIA MAUDY R R

Silvia Maudy Rakhmawati adalah seorang fresh graduate dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Ia antusias mempelajari berbagai hal, terutama ilmu filsafat dan sosial humaniora.

This site is registered on portal.liquid-themes.com as a development site. Switch to production mode to remove this warning.