“‘Pengungsi ilegal’ itu tidak ada. Istilah ini salah apapun konteksnya. Mengungsi tidak bisa dilakukan secara ilegal karena semua orang memiliki hak dasar untuk meminta perlindungan dengan mengungsi di bawah hukum internasional”
(National Union of Journalist, 2003)
“Polisi Amankan 18 Imigran Ilegal Asal Rohingya Myanmar”
“Indonesia Negara Transit Favorit Imigran Gelap”
“Imigran Ilegal di Sulsel 1.986 Orang, Mayoritas dari Afghanistan”
Kalimat-kalimat di atas saya kutip dari judul pemberitaan sejumlah media di Indonesia yang membahas tentang pengungsi. Pengungsi kerap dilabeli dengan istilah “imigran ilegal” atau “imigran gelap” oleh media, media di Indonesia pun tidak terkecuali. Alasan utama penggunaan istilah ini biasanya adalah karena mengutip pernyataan dari otoritas, baik pemerintah maupun kepolisian. Namun sudah tepatkah istilah itu disematkan kepada para pengungsi, khususnya mereka yang melarikan diri karena konflik berkepanjangan di negara asalnya? Adakah dampak yang ditimbulkan label tersebut pada nasib para pengungsi?
Keberadaan pengungsi di Indonesia sejatinya bukanlah persoalan baru. Konflik sosial-politik dan persoalan ekonomi yang terjadi di sejumlah negara, seperti di negara-negara Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tengah, mendorong sebagian warganya untuk mengungsi ke negara lain untuk bisa hidup dengan aman. Indonesia tentu bukan salah satu negara tujuan mereka. Hingga kini, Indonesia belum menyetujui Konvensi PBB tahun 1951 tentang pengungsi, ataupun Protokol 1967 tentang status pengungsi. Akibatnya, Indonesia tidak bisa langsung menentukan status imigran sebagai pencari suaka atau pengungsi. Ketentuan soal status pengungsi hanya dilakukan pihak UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees, Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi) yang kerap membutuhkan waktu yang lama.
Namun, pada 31 Desember 2016, pemerintah Indonesia mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang sudah dirancang sejak 4 tahun sebelumnya. Aturan ini mendefinisikan pengungsi sebagaimana yang tertulis dalam Konvensi tentang Pengungsi 1951. Dalam aturan ini, ditegaskan pula untuk tidak lagi melabeli pencari suaka sebagai imigran ilegal.
Sayangnya, meski sudah ada Perpres 125/ 2016, masih ada pejabat pemerintah yang melabeli pengungsi sebagai imigran ilegal. Salah satu contohnya adalah pernyataan pihak Kementerian Luar Negeri soal pengungsi Rohingya. Ujaran pengungsi sebagai imigran ilegal tersebut kemudian dikutip oleh media dan dijadikan sebagai judul berita. Padahal, seharusnya Perpres 125/2016 bisa mendorong seluruh pihak, tidak terkecuali pemerintah sebagai pembuat aturan dan juga media, untuk tidak lagi menyebut pengungsi sebagai imigran ilegal.
Pada akhirnya, penyebutan istilah semacam itu dapat mengalihkan persoalan pengungsi menjadi sekadar masalah ancaman atau gangguan keamanan. ~Andaris Dikarina Shavitri Share on XPengungsi, Pencari Suaka, dan Imigran Ilegal
Istilah pengungsi, pencari suaka, dan imigran ilegal perlu dimaknai lebih dalam pada konteks pemberitaan mengenai pengungsi. Menurut Jesuit Refugee Service (Pelayanan Jesuit untuk Para Pengungsi) Indonesia, “Pengungsi adalah semua orang yang dianiaya berdasarkan ras, agama, keanggotaan dalam kelompok sosial atau politik,” termasuk juga “mereka yang menjadi korban dari konflik bersenjata, kebijakan ekonomi yang keliru atau korban bencana alam,” serta, “demi ‘alasan kemanusiaan’, termasuk juga mereka yang disebut pengungsi internal, yakni warga negara yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena alasan kekerasan yang sama dengan pengungsi pada umumnya. Namun, pengungsi internal ini tidak melintasi batas-batas negara.”
Sementara, pencari suaka adalah orang yang sedang mencari perlindungan untuk mendapatkan status sebagai pengungsi lintas batas (refugee). Mereka adalah yang sedang menunggu proses pengakuan akan klaimnya. Klaim tersebutlah yang akan ditujukan ke UNHCR. Jika klaim dinyatakan ditolak, maka pencari suaka akan diminta dengan sukarela kembali ke negara asalnya.
Istilah “imigran ilegal” muncul di media Indonesia merupakan dampak dari sikap pemerintah Indonesia yang belum menyetujui Konvensi soal Pengungsi tahun 1951 maupun Protokol 1967. Hal ini menyebabkan adanya kekosongan hukum dalam penanganan persoalan pengungsi di Indonesia. Belakangan, setelah disahkannya Perpres 125/2016, pemerintah diharapkan bisa lebih sigap dalam menangani persoalan pengungsi. Selain itu, pemerintah juga diharapkan mampu menggencarkan sosialisasi terkait pengungsi dan bagaimana publik harus bersikap pada pengungsi.
Ketua SUAKA, Febi Yonesta, menegaskan Perpres tersebut harus menjadi patokan pemerintah Indonesia dalam menangani pencari suaka atau pengungsi. Tidak adanya aturan jelas mengenai pengungsi membuat pemerintah daerah, khususnya yang kedatangan pengungsi, melakukan respon peningkatan keamanan. Hal ini justru membuat kondisi para pengungsi semakin rentan.
Penggunaan istilah imigran ilegal atau imigran tak berdokumen dapat memicu kesalahpahaman publik dan mendukung prasangka rasial. ~Hafiyah Yahya Share on XPengungsi dalam Pemberitaan Media
Para pengungsi yang melintasi Indonesia dan tertahan selama bertahun-tahun memiliki tujuan untuk mencari suaka ke Australia. Hal ini dilakukan dengan harapan bisa mendapat perlindungan dan menetap di sana. Namun, meski Indonesia tidak mengesahkan Konvensi tentang Pengungsi, dalam hukum internasional ada prinsip non-refoulement. Hukum ini mewajibkan semua negara untuk melindungi pengungsi dengan tidak memulangkan secara paksa ke negara asal. Larangan ini dibuat karena pengungsi yang dipulangkan secara paksa berpotensi menjadi target kekerasan di negara asalnya.
Dalam hal ini, media Indonesia memiliki peran penting dalam mengajak masyarakat untuk lebih berempati dengan apa yang dialami oleh para pengungsi. Rasa empati ini dapat diawali dengan tidak menyebut para pengungsi dan pencari suaka sebagai imigran ilegal atau imigran gelap. Istilah-istilah itu memang sering dilontarkan oleh para pejabat pemerintah karena banyaknya pengungsi yang masuk tanpa dokumen keimigrasian. Namun, pada akhirnya, penyebutan istilah semacam itu dapat mengalihkan persoalan pengungsi menjadi sekadar masalah ancaman atau gangguan keamanan.
Di Indonesia, istilah imigran ilegal atau imigran gelap masih sering digunakan oleh sejumlah media, seperti pada pemberitaan mengenai pengungsi Rohingya yang tiba di perairan Aceh. Bahkan, banyak pemberitaan seputar pengungsi Rohingya yang cenderung fokus pada kasus “kriminal”, seperti penyelundupan atau persoalan pengungsi yang “kabur”. Padahal, akan jauh lebih baik jika media bisa lebih menggambarkan kondisi yang dihadapi oleh para pengungsi Rohingya. Seperti misalnya kekhawatiran mereka dalam menjadi warga tanpa negara, alasan mereka mempertaruhkan nyawa untuk bisa keluar dari “neraka” di negara asalnya, maupun di negara “transit” Indonesia, dan persoalan lainnya yang dihadapi oleh para pengungsi.
Sumber pemberitaan mengenai pengungsi Rohingya juga masih mengandalkan informasi dari pemerintah dan kepolisian. Sayangnya, justru sedikit yang menjadikan pengungsi sebagai sumber. Media-media yang membuat liputan dengan narasumber pengungsi memang ada, tetapi saya rasa masih kalah intensitasnya dibanding narasi seputar isu keamanan dan kriminal.
Dalam penelitian oleh Cardiff School of Journalism, mengenai pemberitaan media terhadap pencari suaka di Sangatte, dekat Calais, Perancis pada tahun 2002, media dinyatakan terlalu mengandalkan pemerintah dan polisi sebagai sumber informasi utama. Hal ini menyebabkan tidak utuhnya konteks yang didapat publik mengenai persoalan pengungsi. Terlebih saat menjadi narasumber, hak suara yang diberikan kepada para pengungsi pun dibatasi. Hal yang sama juga terjadi bahkan saat wawancara dilakukan oleh organisasi non-pemerintah (NGO) sekali pun. Meski banyak dalam jumlah,, pengungsi perempuan diberikan kesempatan bersuara yang paling sedikit.
Pada Tahun 2015, ketika Eropa banyak kedatangan pengungsi, UNHCR meminta laporan penelitian dari Cardiff School of Journalism, Media and Cultural Studies mengenai pemberitaan pengungsi di media Uni Eropa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak media yang memuat berita tanpa kesan empati terhadap pengungsi. Padahal, menurut penelitian tersebut, media berperan dalam mempengaruhi persepsi publik dan sikap elit politik terhadap pengungsi dan pencari suaka. Hasil penelitian di banyak negara menemukan bahwa pengungsi dan migran cenderung dibingkai secara negatif. Kehadiran mereka justru dinilai sebagai masalah, bukan keuntungan bagi masyarakat tuan rumah. Salah satu contoh kasus terjadi di Italia pada tahun 2005. Saat itu, persoalan pengungsi sering dituliskan oleh pers Italia dengan istilah yang merendahkan, seperti “Gelombang orang-orang putus asa yang melarikan diri dari kemiskinan dan peperangan di rumah, lalu mencoba memasuki European El Dorado.” Sayangnya, elit politisi dan jurnalis mewajarkan perilaku anti-migran dan prasangka etnis dalam berbagai cara, seperti penggunaan bahasa yang mengancam atau pelabelan negatif imigran dengan menuliskan istilah “ilegal” atau “irregular migrant”. Pada saat itu, diskusi publik mengenai persoalan pengungsi cenderung terbatas dalam narasi seputar pengaturan perbatasan, imigrasi ilegal, dan kebutuhan akan aturan alur imigrasi. Narasi semacam itu kemudian dihubungkan dengan ancaman keamanan, kompetisi pekerjaan antara pengungsi dan warga tuan rumah, serta tergerusnya identitas budaya.
Padahal, apabila dikemas dengan baik, pemberitaan media bisa berdampak positif terhadap sikap publik dan kebijakan. Salah satu contohnya adalah ketika sejumlah media di berbagai negara memberitakan kematian Aylan Kurdi, anak usia 3 tahun asal Suriah yang meninggal dunia karena tenggelam. Jenazahnya ditemukan di pantai Turki. Ia diduga meninggal ketika menyeberangi lautan Mediterania menuju Yunani bersama orang tuanya untuk mengungsi. Berbagai media memberitakan dengan empati, contohnya media di Inggris, Daily Mail, yang menuliskan “Tiny victim of a human catastrophe.” Sementara itu, koran La Repubblica di Italia juga menulis, “A picture to bring the world to silence,” dan El Pais dari Spanyol mengatakan, “An image that shakes the awareness of Europe.” Pemberitaan mengenai Aylan Kurdi itu kemudian–setidaknya, untuk sementara waktu–mengubah wacana media menjadi lebih berempati terhadap pencari suaka.
Penggunaan istilah imigran ilegal atau imigran tak berdokumen dapat memicu kesalahpahaman publik dan mendukung prasangka rasial. Selain istilah ilegal, kata “gelombang” dan “banjir” (“gelombang imigran” dan “banjir imigran”) dan asosiasi negatif lainnya juga disorot oleh Commission for Racial Equality (CRE). CRE mengatakan bahwa pemberitaan yang menggunakan istilah semacam itu berisiko mempromosikan permusuhan, bukan hanya terhadap pencari suaka tetapi juga kepada migran baru secara umum. CRE juga menyebutkan bahwa media memiliki pengaruh dalam persepsi publik terhadap pengungsi. Apabila kemampuan mempengaruhi ini tidak digunakan dengan bijak, maka bisa menimbulkan pandangan rendah terhadap pekerja migran.
Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban bagi media untuk lebih berempati terhadap para pengungsi, karena mereka adalah korban. Hal tersebut bisa dilakukan dengan tidak menggunakan istilah “ilegal” dan istilah negatif lainnya Selain itu, media juga bisa memberi ruang lebih bagi para pengungsi untuk bersuara, daripada sekadar mengutip pernyataan otoritas sebagai sumber informasi utama. Semua itu penting dilakukan agar masyarakat memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam persoalan pengungsi di Indonesia.
Versi awal tulisan ini pernah diterbitkan sebelumnya di Medium.
Hafiyah Yahya, jurnalis TV Berita. Tertarik dengan kajian media dan humanisme.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini