Kecairan Ideologi Politik pada Masa Kolonial
March 11, 2024Belajar Memahami Sejarah secara Utuh
April 3, 2024Photo by Kompas
OPINI
Di Balik Bintang Empat Prabowo
oleh Teddy Chrisprimanata
Tahun 2024 sepertinya menjadi tahun terbaik bagi Prabowo Subianto. Tidak hanya berhasil memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) versi hitung cepat (quick count) bersama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden RI Joko ‘Jokowi’ Widodo, Prabowo juga menerima pangkat jenderal kehormatan dalam Rapat Pimpinan TNI-POLRI di Markas Besar TNI, Cilangkap pada Rabu, 28 Februari 2024.
Sejak diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada Agustus 1998, karir militer Prabowo otomatis telah berakhir. Pangkat Letnan Jenderal dengan tiga bintang di pundaknya pun jadi capaian terakhirnya sebagai seorang prajurit. Kini, Prabowo berhak berbangga; empat bintang telah resmi berada di pundaknya. Prabowo pun berhak dipanggil “jenderal.”
Pasang Surut Hubungan Jokowi-Prabowo
Relasi antara Jokowi dan Prabowo, dua tokoh berpengaruh di republik ini, memang mengalami pasang surut. Sebelumnya, Prabowo adalah salah satu tokoh penting yang memuluskan jalan Jokowi untuk menjejakkan kaki di Ibu Kota. Gerindra sebagai partai politik pimpinan Prabowo menjadi salah satu partai pengusung Jokowi-Ahok pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2012. Duduk sebagai Gubernur DKI Jakarta, figur Jokowi semakin dikenal publik dengan terobosan yang kini menjadi ciri khasnya, yakni blusukan. Popularitas dan elektabilitasnya yang tinggi pun berhasil mengantarkan Jokowi melangkah ke kontestasi politik tertinggi di republik ini—Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
Kemudian, berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK), politisi senior Partai Golongan Karya (Golkar), Jokowi harus berhadapan dengan Prabowo Subianto yang pernah berjasa dalam karir politiknya pada Pilpres 2014. Jokowi pun berhasil memperpanjang rekor kemenangannya selama mengikuti pemilihan langsung. Pasangan Jokowi-JK yang memperoleh suara sebanyak 53,15 persen pun berhasil mengungguli lawan politiknya, yaitu pasangan Prabowo-Hatta yang hanya memperoleh 46,85 persen suara.
Kemenangan atas Prabowo kembali diperoleh Jokowi yang pada Pilpres 2019. Berpasangan dengan Ma’ruf Amin, Jokowi kembali unggul dengan perolehan suara sebanyak 55,50 persen, sedangkan lawannya, pasangan Prabowo-Sandi harus puas kembali menelan kekalahan dengan perolehan suara sebanyak 44,50 persen.
Berbeda dengan periode 2014-2019, pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, Gerindra tidak lagi berperan sebagai partai oposisi. Kali ini, Jokowi memilih untuk merangkul Prabowo dan Gerindra untuk masuk ke pemerintahannya. Ketua Umum Partai Gerindra itu pun diberikan kursi Menteri Pertahanan di kabinet, salah satu jabatan strategis di pemerintahan.
Selanjutnya, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kembali menjadi saksi hubungan antara Jokowi dan Prabowo. Jelang menyentuh garis akhir kompetisi, Jokowi tampak menggunakan segala cara untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 dalam satu putaran. Jokowi kerap kali mengajak Prabowo hadir dalam berbagai lawatannya ke daerah-daerah. Dugaan penggunaan pork barrel politics atau politisasi bansos, penggunaan fasilitas negara di masa kampanye, pengerahan aparat guna mendukung salah satu pasangan calon (paslon) oleh pemerintah pun menjadi beberapa isu penting yang mewarnai carut marutnya Pemilu 2024.
Meski berbagai kebijakan Jokowi belakangan ini menuai banyak kritikan, hal tersebut nyatanya tidak memengaruhi kepuasan masyarakat terhadap kinerjanya. Meskipun Jokowi sudah ada di penghujung masa jabatannya, tingkat kepuasan kinerja (approval rating) terhadap Jokowi yang menurut temuan dari Data Riset Analitika mencapai 81,7 persen menjadi salah satu kunci kesuksesan Jokowi mengantarkan pasangan Prabowo-Gibran pada kemenangan satu putaran. Menurut hasil hitung cepat Kompas, pasangan nomor urut dua ini berhasil memperoleh suara sebesar 58,47 persen, jauh mengungguli dua pesaingnya.
‘Kebaikan’ Jokowi Tidak Gratis
Keberpihakan Jokowi memberi pengaruh besar terhadap pengambilan keputusan rakyat dalam memilih calon presiden dan wakilnya pada Pemilu 2024. Keberpihakan tersebut jelas-jelas memberi keuntungan pada Prabowo yang untuk pertama kalinya berhasil meraih kemenangan dalam Pilpres. Dipasangnya Gibran sebagai wakil presiden memberi keyakinan pada rakyat bahwa representasi Jokowi dapat ditemukan pada pasangan ini. Dengan kata lain, kemenangan satu putaran yang diraih pasangan Prabowo-Gibran dalam Pemilu 2024 adalah wujud Jokowi Effect.
Segala bantuan yang diberikan Jokowi kepada Prabowo, termasuk penganugerahan pangkat jenderal kehormatan, merupakan langkah politik Jokowi untuk tetap memiliki pengaruh kuat. ~ Teddy Chrisprimanata Share on XPromosi (endorsement), kebijakan-kebijakan yang memihak, dan penganugerahan pangkat jenderal kehormatan yang diterima Prabowo dari Jokowi harus dilihat dari sudut pandang politik, mengingat mereka kini sedang menari di panggung politik nasional. Dalam ilmu politik, ada sebuah teori yang bernama patron-klien yang dipopulerkan oleh James Scott, ilmuwan bidang politik dari Amerika Serikat.
Scott menyebutkan bahwa relasi patron-klien merupakan hubungan timbal balik antara dua pihak, yaitu antara pihak yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) dan pihak dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah (klien). Patron akan menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki untuk memfasilitasi serta melindungi klien, sehingga menciptakan hubungan timbal balik yang tidak seimbang antar-keduanya.
Dilihat dari sudut pandang relasi patron-klien, khususnya dalam konteks Pemilu 2024, Jokowi memainkan peran sentral sebagai presiden yang memiliki status sosial ekonomi lebih tinggi dibandingkan Prabowo. Jokowi dengan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya dapat memfasilitasi, melindungi, serta memberi keuntungan pada Prabowo yang saat ini berstatus sebagai pembantunya di kabinet dan sedang bertarung dalam Pilpres 2024. Pemberian pangkat jenderal kehormatan kepada Prabowo juga terasa personal, mengingat pada 1998 Prabowo harus rela meninggalkan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di saat jabatan Panglima ABRI mungkin saja akan diraihnya dalam beberapa langkah saja.
Saya menduga, segala bantuan yang diberikan Jokowi kepada Prabowo, termasuk penganugerahan pangkat jenderal kehormatan menjadi langkah politik strategis Jokowi dalam upayanya untuk tetap memiliki pengaruh kuat di kalangan elit politik setelah tidak memimpin lagi. Prabowo yang memerlukan segala bantuan Jokowi dipaksa harus menerima segala ‘kebaikan’ itu untuk dapat mewujudkan mimpinya berkantor di Istana Merdeka. Melalui berbagai bantuan, termasuk pemberian pangkat jenderal kehormatan tersebut, Jokowi ‘memaksa’ Prabowo untuk terus mengingat kebaikannya. Besar kemungkinan, ini adalah cara Jokowi untuk menumbuhkan loyalitas Prabowo.
Pensiun dengan rasa aman dan tetap eksis dalam percaturan politik nasional tentu menjadi harapan Jokowi. Tetapi, berbeda dengan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono yang tetap eksis karena memiliki kendaraan yang bernama partai politik, Jokowi tidaklah memiliki kendaraan tersebut. Meski anak bungsunya, Kaesang Pangarep, menjadi ketua umum partai politik, partai tersebut tampaknya belum mampu menembus tingginya parliamentary threshold atau ambang batas minimum parlemen. Langkah-langkah yang diambil Jokowi hari ini bisa dinilai sebagai upaya untuk tetap menanamkan pengaruhnya di pemerintahan selanjutnya.
Pertanyaan selanjutnya, apakah langkah-langkah politik yang sudah diambil Jokowi berhasil menanamkan pengaruh besar dan menciptakan loyalitas Prabowo serta seluruh pihak yang menjadi bagian di pemerintahannya selama lima tahun ke depan? Ataukah, mengingat dinamisnya lanskap politik kita hari ini, Indonesia justru akan kembali melihat penghianatan besar di panggung politik nasional?
Teddy Chrisprimanata adalah mahasiswa S2 Ilmu Politik Universitas Nasional dan Sekretaris Jenderal PP KMHDI 2023-2025
Artikel Terkait
Membangun Dinasti di Negara Demokrasi: Geliat Politik Keluarga di Indonesia
Politik dinasti jadi penyakit demokrasi. Bagaimana demokrasi Indonesia bergulat dengan politik dinasti?Mengapa Kita Tak Bisa Jadi Pemilih yang Rasional
Meskipun dalam teori politik dan demokrasi seorang warga negara sering digambarkan sebagai manusia rasional, pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari kita sering dikuasai emosi. Memikirkan kembali Pemilu 2019 yang baru saja lewat, di Catatan Pinggir kali ini, Laila Achmad membahas mengenai sulitnya menjadi seorang pemilih rasional.Politik: Seni Berpikir Kritis Bukan Apatis
Ini akan terdengar sebagai suatu pembuka bacaan yang klise, namun kata ‘Politik’ sudah menjadi bagian dari makanan sehari-hari kita sebagai masyarakat Indonesia. Namun, apakah Politik itu menjadi asupan yang kita santap dengan penuh antusiasme?