Kesadaran akan kesehatan mental atau mental health awareness mungkin merupakan barang mahal di Indonesia. Permasalahan kesehatan mental seringkali menjadi bulan-bulanan masyarakat bahkan terkesan memiliki stigma yang buruk. Pada kenyataannya penyakit mental bisa menghantui siapapun dengan peran apapun. Dan mereka memerlukan dukungan penuh dari orang-orang sekitar.
Saya belum pernah menjadi seorang ibu, tapi entah kenapa banyak teman sebaya yang mulai bercerita tentang sulitnya berdamai dengan diri sendiri dan realita pasca melahirkan. Saya seperti disadarkan banyak hal, terutama hal-hal seputar bagaimana menjadi orangtua atau parenthood. Tulisan ini mewakili apa yang saya pikirkan dan rasakan tentang menjadi seorang ibu dari sudut pandang yang berbeda.
Kesehatan Mental yang Terabaikan
Seringkali perhatian seorang ibu dianggap sebagai hal yang sangat wajar. Perhatian seorang ibu umumnya dianggap sebagai ‘kodrat’. Semua kasih sayang ibu bukanlah suatu hal yang pantas dipertanyakan, melainkan suatu kewajiban. Hal ini yang secara perlahan membentuk pemikiran dan konstruksi sosial terhadap tanggung jawab seorang ibu.
Seorang ibu juga terkadang menjadi tulang punggung keluarga, harus mengurus rumah sekaligus mengurus anak dan bekerja untuk mendapatkan uang. Seringkali seorang ibu harus menahan perasaan, melupakan kesehatannya, dan keinginan egois dalam dirinya untuk mengurus banyak hal termasuk rumah tangga dan pekerjaan. Pendeknya, perempuan dituntut untuk bisa memainkan semua peran tersebut, sebagai seorang istri dan ibu.
Banyak cerita yang saya dengar tentang depresi pasca-kelahiran (postpartum) dan bagaimana orang-orang tersebut dapat melalui hari-harinya, atau sekedar mempertahankan kewarasannya. Semuanya dilalui dengan tidak mudah. Tidak jarang beberapa yang terpuruk dalam suasana tanpa sadar berusaha mencelakakan diri sendiri.
Salah satunya tentang cerita ibu muda berusia 28 tahun yang baru melahirkan, sebut saja namanya Ina. Ina berhenti bekerja demi mengurus anak, bergulat dengan emosi sendiri, dan mengalami kurang tidur saat harus terjaga menyusui. Semua ia jalani sendiri tanpa bantuan. Sang suami selalu bekerja dan asyik sendiri, dan mulai tidak mau berbagi peran ataupun tanggung jawab. Absennya teman berbagi membuat Ina sedih, depresi, dan terkadang memiliki keinginan untuk bunuh diri. Kesehatan mental Ina pun seperti diabaikan. Keluh kesah Ina tidak pernah didengarkan. Menurut orang-orang disekitarnya, Ina terlalu sensitif. Dan apa yang dialami Ina merupakan kodrat yang harus diterima sebagai seorang ibu.
Cerita Ina mungkin hanya satu dari sekian banyak kasus kesehatan mental ibu (maternal mental health) yang terabaikan. Namun, dari cerita tersebut saya bisa belajar dan mengerti apa yang dirasakan Ina dan ibu muda lainnya. Kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting karena selain mempengaruhi ibu juga akan mempengaruhi pertumbuhan sang anak.
Tapi bukankah setiap peran utama membutuhkan peran pembantu agar ‘pertunjukan’ bisa tetap berjalan?
Ibu dan konstruksi sosial
Kehidupan sosial bisa menjadi sangat jahat bagi seorang ibu, terlebih bagi orangtua tunggal (single parent). Seorang ibu seringkali harus menerima kritik dan penilaian banyak orang dari berbagai aspek, terutama soal cara mendidik dan membesarkan anak.
Seperti yang diungkapkan Buthila Karpoche salah seorang anggota parlemen Kanada: “Perempuan sering menanggung penilaian orang lain tentang bagaimana cara mengasuh anaknya sendiri”. Penilaian tersebut tidak jarang menjadi tolak ukur kesuksesan ibu dalam mebesarkan anaknya sekaligus menjadi beban mental bagi seorang ibu.
Apa yang terjadi dengan anak, suami, dan bahkan keluarga, seringkali peran ibu yang disalahkan. Seringkali dicap sebagai orang yang tidak bisa mengurus anak, tidak pernah bersyukur dengan keluarganya, dan masih banyak lagi tudingan lainnya. Tentu hal tersebut memberatkan mental sang ibu. Selain beban fisik, seorang ibu juga harus menghadapi ekspektasi dan penilaian masyarakat terhadapnya.
Ibu harus terlibat dalam mengurus anak dan suami, mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan dalam membantu keuangan keluarga. Intinya, seorang ibu dituntut untuk bisa menjadi pahlawan super bagi keluarganya. Banyak ibu yang mengalami hal yang sama tetapi merasa berjalan sendirian. Dukungan dari orang-orang sekitar, khususnya keluarga, seolah menjadi barang mahal.
Padahal seorang ibu juga adalah manusia biasa yang bisa tertekan dan mengalami stres dan membutuhkan bantuan baik ril dan moril. Namun, tidak jarang hal tersebut dilihat sebelah mata. Kesehatan mental ibu seringkali diabaikan. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh ekspektasi keluarga, lingkungan, dan masyarakat akan peran ini.
Mengutip pernyataan Rifda Amalia dalam tulisannya Budaya dan Konstruksi Sosial: Bagaimana Kita Memahami Dunia: “Konstruksi sosial dengan mudah dapat diartikan sebagai sebuah pemahaman kolektif mengenai sebuah konsep yang terbentuk dalam tatanan masyarakat. Banyak hal-hal yang kita anggap lumrah dan masuk akal hari ini sebenarnya dibentuk, dikonstruksi, dan disepakati dalam ranah sosial pada masa tertentu”.
Kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting karena selain mempengaruhi ibu juga akan mempengaruhi pertumbuhan sang anak. ~ Winda Adityaningsih Share on XDisadari atau tidak konsep peran seorang ibu ini menjadi kesepakatan bersama sejak dulu yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya hingga sekarang, termasuk di Indonesia. Peran ini juga sedikit banyak berpengaruh pada konstruksi gender dalam tatanan budaya di Indonesia. Dominasi patriarki jelas terasa apabila melihat apa yang terjadi dalam pembagian peran dalam rumah tangga dan parenthood.
Idealnya, peran ibu dan ayah harusnya bisa berjalan beriringan. Mereka seharusnya punya peran yang sama dalam mengasihi dan memberikan rasa aman dan nyaman kepada anak-anaknya. Selayaknya bangunan yang membutuhkan pilar yang kuat. Apabila hanya satu pilar saja yang menahan semua beban, saya rasa bangunan tersebut akan roboh dan tidak bertahan lama.

Winda Adityaningsih Utami bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Sebelumnya, dia menempuh pendidikan di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dan Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Indonesia. Riset terakhirnya adalah Diaspora dan Relasi dengan Negara. Dia adalah pemerhati ilmu sosial dan humaniora. Kontak via instagram @windaditya atau email ke [email protected]
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini