Krisis Diri Berkuliah di Luar Negeri
June 20, 2020Menilik Bayangan dan Jejak Buruh
July 4, 2020OPINI
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Problematika Mahasiswa Kependidikan
oleh Muhammad Fakhriansyah
Bagi seorang guru atau pemerhati pendidikan tentu tidak asing dengan istilah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau RPP. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP. Jika guru menyusun RPP secara lengkap dan sistematis, maka diharapkan pembelajaran dapat berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, dan efisien.
RPP yang berkualitas dapat memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa sesuai dengan Standar Proses. Karena itu, setiap guru wajib menyusun RPP lengkap dan sistematis. Singkatnya, pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan dengan baik apabila guru merencanakannya dengan baik.
Saya adalah mahasiswa salah satu LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) yang wajib mengambil mata kuliah tentang kurikulum dan sumber pembelajaran, perencanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, strategi pembelajaran, psikologi pendidikan, landasan pendidikan, profesi kependidikan, dan teori belajar dan pembelajaran. Jika ditotal, sudah puluhan SKS dan waktu berjam-jam saya dan teman-teman jalani. Melalui mata kuliah kependidikan tersebut, kami ditempa agar diharapkan menjadi guru yang benar sesuai asas profesionalitas keguruan.
Mengutip pendapat Rusman dalam buku Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, bahwa guru yang profesional merupakan faktor penentu proses pendidikan yang berkualitas. Untuk dapat menjadi guru profesional, mereka harus mampu menemukan jati diri dan mengaktualisasikan diri sesuai dengan kemampuan dan kaidah-kaidah guru yang profesional. Tidak hanya kemampuan pedagogik, namun harus memiliki kemampuan sosial, personal, dan profesional.
Seiring berjalannya waktu saat menjalani perkuliahan tersebut, banyak dari teman-teman saya yang enggan menjadi guru. Pernah suatu waktu dosen mata kuliah perencanaan pembelajaran bertanya, “Siapa yang tidak ingin menjadi guru? Silahkan angkat tangan!” Alangkah terkejutnya dosen saya ketika hampir seluruh mahasiswa dari 40 mahasiswa mengangkat tangan yang menandai bahwa mereka tidak ingin menjadi guru. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri kepada dosen saya untuk mengajar mahasiswa yang tidak ingin menjadi guru. Saya dapat memahami pemikiran dosen saya ketika mengetahui mahasiswanya tidak ingin menjadi guru. Tentu itu bukanlah perkara mudah ketika beliau mengajarkan mata kuliah kependidikan yang bersifat wajib kepada mereka yang tidak ingin menjadi guru.
Hari demi hari menjalani perkuliahan kependidikan, tibalah saya menghadapi salah satu titik tertinggi persoalan mata kuliah kependidikan, yakni ketika membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau RPP. Saya sudah mendengar dari berbagai guru, senior, dan teman-teman dunia maya mengenai rumitnya membuat RPP, yakni RPP yang dibuat berlembar-lembar dengan berbagai komponen yang sangat detail. Membuat RPP tidak bisa dihindari karena itulah kewajiban saya dan teman-teman sebagai mahasiswa LPTK.
Suatu waktu ketika saya mengerjakan tugas membuat RPP, saya berpikir, “Apakah semua yang dibuat dalam RPP dan komponennya bisa berjalan dengan baik? Apakah guru akan melakukan semua yang ada di RPP?”
Jawabannya ialah tidak mudah, karena dalam proses pembelajaran banyak faktor-faktor yang mendukung kesuksesan proses pembelajaran. Namun, ada satu pertanyaan yang muncul di dalam pikiran saya: “Kalau RPP dibuat berlembar-lembar dan dipandang memberatkan, kenapa dosen masih mengajarkan RPP yang berlembar-lembar itu?” Pertanyaan seperti itu terbesit di dalam benak pikiran saya ketika mengalami kebuntuan dan kesulitan dalam membuat RPP. Ditambah lagi, pembelajaran daring di tengah pandemi ini menyulitkan proses berdiskusi kepada dosen ketika mengalami kebuntuan. Akhirnya, dalam kebuntuan tersebut, terbesit keraguan terhadap RPP.
Saya bukan tidak yakin terhadap perencanaan dalam pembelajaran. Saya justru yakin perencanaan itu penting di segala hal tidak hanya dalam pembelajaran. Pemikiran saya, RPP yang semakin tebal hanya membuat orang malas membacanya, apalagi menghafal dan menerapkannya. Selain itu, RPP adalah bukan barang mati, justru sangat dinamis. Dalam pembuatannya, seiring proses pembelajaran, guru dapat berdiskusi dengan siswa. Kalau ada yang kurang tepat, RPP bisa diperbaiki. Kalau ada yang menarik, RPP bisa diimprovisasi.
Menjelang pergantian hari, saya memberanikan diri menanyakan pertanyaan itu kepada dosen saya melalui pesan WhatsApp: “Kalau RPP itu bagian dari administrasi guru dan dinilai memberatkan, apakah para dosen yang mengajar tahu kalau itu memberatkan? Maksudnya, apakah dosen-dosen hanya menjalankan perintah saja meskipun dosen-dosen tahu bahwa itu memberatkan?” Sebetulnya, agak takut untuk mengirim pesan seperti itu. Tapi, ketakutan itu sirna ketika beliau sudah membaca pesan saya.
Saya—sebagai calon guru—tentu berharap Menteri Nadiem dapat memahami persoalan kependidikan kita. Semoga dunia pendidikan kita semakin lebih baik dari yang sebelumnya. ~M. Fakhriansyah Share on XBerselang dua menit, dosen saya membalas dan langsung mencerahkan pemikiran saya. Beliau menjawab: “Dosen di LPTK kewajibannya adalah memberi bekal keterampilan kepada calon guru bagaimana menyusun RPP sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kalau saat ini RPP cukup disusun yang sederhana (bahkan satu lembar), maka dosen juga akan mengajarkan sesuai kebutuhan. Harus diingat bahwa RPP bukan hanya masalah administrasi, tetapi menyangkut kompetensi profesionalitas seorang guru dan bagaimana guru merencanakan desain pembelajaran yang akan dilakukan.” Penjelasan dari dosen saya membawa saya ke menuju titik terang bahwa para dosen hanya menjalankan sesuai kebutuhan dengan ketentuan yang berlaku. Pesan itu menjadi titik penting dan saya sepakat dengan pendapat beliau.
Pembahasan RPP dalam konteks sistem pendidikan nasional kita selalu menjadi perbincangan yang menarik. RPP yang dalam penyusunannya menyita banyak waktu dan menghasilkan berlembar-lembar kertas selalu menjadi perbincangan di antara praktisi pendidikan termasuk kami mahasiswa LPTK. Tentu saja, RPP yang banyak dan singkat ada plus dan minus-nya. RPP yang berlembar-lembar dapat memperjelas proses kegiatan pembelajaran. Sebaliknya, RPP yang terlalu singkat dengan sendirinya tidak dapat menggambarkan tahapan-tahapan pembelajaran secara jelas.
Meski begitu, kerumitan terhadap RPP yang banyak itu sirna ketika Menteri Nadiem mengusulkan pembuatan RPP selembar dan akhirnya terbit Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 14 tahun 2019 mengenai perubahaan format RPP menjadi selembar. Harapannya, penulisan RPP tersebut dapat mempersingkat waktu dalam mengurus administrasi. Sehingga guru dapat lebih banyak belajar dan tentu agar lebih banyak waktu beristirahat . Mendengar hal itu tentu saja menjadi angin segar bagi para guru dan calon guru. Saya—sebagai calon guru—tentu berharap Menteri Nadiem dapat memahami persoalan kependidikan kita. Semoga dunia pendidikan kita semakin lebih baik dari yang sebelumnya.
Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah di salah satu LPTK. Tulisannya fokus kepada kajian sejarah pendidikan Indonesia, sejarah kesehatan Indonesia, dan pembelajaran sejarah. Saat ini ia sedang mengembangkan komunitas sejarah History Agent Indonesia. Ia kerap kali membagikan pemikirannya melalui laman Twitter pribadi miliknya @papaoppah. Ia dapat dihubungi melalui [email protected]
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini