Tur Jalan Kaki: Alternatif Wisata Murah Masyarakat Kota
July 21, 2023Islam dan Tubuh-tubuh Queer: Jendela ke Pemikiran Religius yang Ramah Queer
July 31, 2023Photo by Evan Krause on Unsplash
OPINI
Ruang Berbagi : Siasat Sektor Informal dalam Perebutan Kuasa Ruang-ruang Kota
oleh Andesh Tomo
Ruang yang terdiri dari perkalian panjang, lebar dan tinggi ternyata dapat dimiliki dan diperjualbelikan. Melalui mekanisme rumit klaim kepemilikan yang diakui oleh otoritas yang dianggap memiliki kuasa, seperti negara atau organisasi masyarakat, ruang tidak hanya menjadi sebuah komoditas, melainkan juga satuan sumber daya sosial, ekonomi dan budaya yang mengalami proses domestikasi.
Produk dari proses modifikasi dan domestikasi ruang terlihat pada pembagian definisi ruang berdasarkan fungsi kegiatan manusia yang berlangsung di dalamnya, seperti ruang tinggal, ruang usaha, dan ruang publik rekreasi. Kita dapat membagi ruang berdasarkan aksesibilitasnya, yakni ruang privat dan ruang publik dengan beragam pilihan spektrum gradasi akses di antara keduanya.
Ketika hak atas ruang tersebut diperdagangkan melalui mekanisme jual-beli maupun sewa-menyewa ruang tidak lagi menjadi benda mati atau volume kosong tanpa makna, melainkan menjadi area kompetisi di antara mereka yang lebih mampu dengan yang kurang mampu menguasainya. Mereka yang memiliki kemampuan untuk membayar harga yang disematkan atas volume ruang tertentu berhak menentukan bentuk kegiatan dan desain yang akan terbangun di dalamnya, sejauh tidak melanggar regulasi yang berlaku atas wilayah tersebut.
Dalam kondisi itu, ruang, yang semula adalah volume liar dan abstrak, telah menjadi sesuatu yang jinak, mudah dikendalikan, dan bisa menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya. Hal itu menunjukkan bahwa ruang dapat diciptakan, dibentuk, dimodifikasi dan dikendalikan demi mendatangkan manfaat bagi sang pemilik,
Konsep kepemilikan atas ruang semacam itu, pada akhirnya, membagi dunia kita ke dalam petak-petak kuasa yang berbeda, seperti pizza yang dibagi-bagi ke dalam beberapa potongan dan ukuran tertentu.
Lalu, dimanakah posisi dan keberadaan kelompok informal, yang mayoritas menghuni ruang-ruang kota, di tengah perebutan klaim atas ruang?
Kelompok Informal, Antara Ada dan Tiada
Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang memiliki kemampuan terbatas, atau tidak mampu ikut patungan dalam pembelian ruang yang harganya berubah-ubah (cenderung semakin lama semakin mahal)? Dimana mereka tidur, makan, mandi, membangun keluarga dan membina usaha?
Pada remah pizza yang tidak sempat dimakan oleh para pemilik modal, dimana keberadaan mereka? Mengapa kita melihat ada ruang-ruang hunian yang sangat padat di tepi kali dan bantaran rel kereta api? Mengapa kelas pekerja dengan gaji yang tidak jauh dari angka Upah Minimum Regional harus tinggal sangat jauh dari tempat kerja mereka? Mengapa pedagang informal tumbuh dalam ruang-ruang di gang sempit sekitar perkantoran pusat bisnis Jakarta? Mengapa ruang untuk parkir kendaraan pribadi di pusat perbelanjaan lebih luas dari kantin pegawainya?
Sederet pertanyaan di atas menggambarkan kehidupan warga Jakarta yang belum sepenuhnya dapat didefinisikan dalam klasifikasi formal, seperti halnya aparatur sipil negara, aparatur militer, pegawai swasta, dan wirausaha. Profesi-profesi khas yang mudah kita jumpai seperti tukang parkir tidak resmi, penyedia jasa sewa payung, penjual gorengan, manusia silver, dan penjual busana secara daring melalui aplikasi, merupakan fenomena yang belum sepenuhnya dapat dipahami dan dikelola oleh negara. Sebabnya, pemerintah belum memiliki satuan perangkat regulasi dan tata kelola ruang resmi yang bisa mengakomodasi mereka. Untuk sementara, mari kita sebut kelompok ini sebagai kelompok informal.
Absennya pengakuan pemerintah dalam kegiatan sosial ekonomi kelompok informal serupa pedang bermata dua. Di satu sisi, hal itu memberikan kebebasan mutlak pada mereka untuk menentukan bentuk dan mengelola berbagai tantangan maupun peluang yang hadir di sekitar mereka. Sebagai contoh, seorang pedagang bakpao bisa menentukan posisi berjualan yang sangat spesifik di jalan layang atau persimpangan jalan yang selalu macet pada jam-jam tertentu.
Kegagalan negara dalam memahami karakteristik kelompok informal berdampak serius bagi kelompok formal maupun informal. ~Andesh Tomo Share on XDisisi lain, tidak adanya pengakuan pemerintah menghasilkan risiko jangka panjang mengenai keamanan dan kepastian ruang usaha. Secara tidak langsung, hal itu akan berdampak pada sektor lain yang bergantung pada keberadaan kelompok informal. Sebagai misal adalah kumpulan pedagang kaki lima yang memenuhi badan jalan yang seringkali dianggap sebagai penyebab kemacetan.
Kegagalan negara dalam memahami karakteristik kelompok informal berdampak serius bagi kelompok formal maupun informal. Hal itu, terutama, terjadi ketika ada upaya untuk menciptakan tata kelola ruang sebagai sumber daya yang dialami secara bersama-sama oleh seluruh warga kota. Solusi sepihak berupa penertiban, perampasan aset, dan relokasi tempat usaha adalah tindakan yang terus menerus dilakukan pemerintah. Sayangnya, upaya itu tidak memberikan hasil yang memuaskan, malah menguras energi yang pada akhirnya membuat kondisi kembali seperti semula.
Berkumpul dan Berbagi Ruang: Siasat Kelompok Informal
Kelompok informal, khususnya dalam sektor usaha, hadir, tumbuh, dan berkembang dalam sistem kepemilikan dan pengelolaan ruang yang berbeda dengan sektor usaha formal. Jika restoran cepat saji dapat membeli tanah atau menyewa ruang usaha, lalu memodifikasi ruang tersebut sesuai dengan rencana usaha mereka, maka sektor usaha informal membagi ruang yang terbatas dan harganya mahal ke dalam satuan waktu dan kerja sama antar badan usaha yang berbeda.
Kamu mungkin pernah menyadari kalau seorang pedagang mie ayam kerap menawarkan minuman dingin kemasan atau segelas es teh manis. Opsi tersebut sebenarnya tidak tersedia di daftar menu tempat usahanya, tapi dari unit usaha lain dengan komoditas usaha yang berbeda. Selain itu, dalam satu lokasi yang sama, kita juga dapat menemukan pedagang bubur ayam berjualan di pagi hari, lalu pedagang ketoprak di siang hari, dan pedagang nasi goreng di malam hari. Hal itu adalah bentuk siasat kelompok informal untuk berkompromi dengan ruang yang sulit mereka ‘kuasai’ akibat terbatasnya sumber daya yang mereka miliki.
Dalam dunia informal, ruang-ruang kota memang tidak terjebak dalam pembagian yang kaku dan mutlak, melainkan penuh dengan negosiasi yang melibatkan semua pihak terkait. Kesepahaman dan kesepakatan cukup dilakukan secara lisan dan jabat tangan, tanpa secarik dokumen perjanjian sewa atau kontrak dengan tanda tangan di atas materai. Terdapat rasa saling percaya di antara mereka bahwa masing-masing pihak tidak akan melakukan hal yang dapat merugikan satu sama lain.
Rasa saling percaya di antara anggota kelompok informal tercermin dari upaya mereka untuk mengorganisasi diri ke dalam sebuah paguyuban. Di bilangan Karet Belakang (Karbela), Jakarta Pusat, misalnya, terdapat sebuah paguyuban pedagang kaki lima yang di koordinir oleh seorang perempuan bernama Ibu Mia. Selain menjadi koordinator, Ibu Mia juga menjabat sebagai ketua RT (Rukun Tetangga) di wilayah tersebut.
Paguyuban itu memiliki puluhan anggota yang merupakan pemilik usaha informal yang beraktivitas di tepian Jl. Komando Raya, yaitu area di sekitar gedung-gedung tinggi perkantoran di sisi barat dan sisa-sisa kawasan hunian satu-dua lantai di sisi lainnya. Setiap anggota paguyuban wajib ikut serta dalam kegiatan kerja bakti yang dilakukan secara berkala untuk menjaga kebersihan kawasan. Mereka juga dihimbau untuk tidak membuang sampah atau limbah ke saluran air dan wajib membayar iuran serta arisan bulanan yang jumlahnya disepakati bersama-sama.
Kehadiran paguyuban yang menaungi aktivitas pedagang usaha informal itu memberikan manfaat tersendiri bagi mereka, salah satunya adalah berhasil mencegah munculnya pemalakan oleh ormas (organisasi masyarakat) yang sering terjadi di wilayah lain. Paguyuban tersebut juga memudahkan instansi pemerintah kota setempat, dalam hal ini adalah Kelurahan Karet, dalam mensosialisasikan beragam program dan regulasi pemerintah terkait tata kelola ruang di wilayah tersebut.
Selain itu, Jakarta juga menjadi ruang bagi beragam tipe usaha informal yang khas, salah satunya adalah keberadaan starling (starbucks keliling), yaitu pedagang minuman kemasan/sachet yang mengedarkan dagangan menggunakan sepeda roda dua). Lebih dari sekadar tipologi bentuk usaha, para pedagang starling juga merupakan sebuah komunitas dengan karakteristik yang khas. Sebagian besar dari mereka berasal dari etnis yang sama, Madura, yang merantau ke Jakarta dan tinggal di petak-petak sewa yang dibangun dan dikelola oleh komunitas mereka sendiri.
Siasat kelompok informal mampu menciptakan ruang-ruang kota yang lebih berkeadilan dan sesuai dengan situasi Jakarta sebagai kota berkembang paling besar di dunia. ~Andesh Tomo Share on XSalah satu ruang tinggal komunitas pedagang starling yang paling besar berada di bilangan Kwitang, Jakarta Pusat. Di dalamnya, kita akan menjumpai satu ekosistem utuh dan unik yang terdiri dari kamar-kamar sewa, toko-toko penyalur kopi kemasan, serta bengkel pembuatan dan perawatan sepeda yang dimodifikasi menjadi toko kopi berjalan yang kerap kita jumpai di jalanan dan trotoar Jakarta.
Dengan membentuk ekosistem, proses pengorganisasian para pedagang starling berlangsung dengan sangat efisien dan rapi. Ekosistem ini juga menjamin pendampingan dan perlindungan keamanan dan ekonomi bagi setiap anggotanya apabila mengalami musibah atau insiden buruk seperti penertiban dan penyitaan aset dagangan oleh Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja). Mereka juga melakukan pembagian kawasan usaha dan rute berdagang bagi setiap anggota untuk mengoptimalkan potensi aset penjualan mereka. Itu juga mereka lakukan untuk menghindari konflik atau rebutan pelanggan dengan para pedagang starling dari komunitas lain.
Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari berbagai strategi dan siasat pengelolaan ruang usaha yang diterapkan oleh kelompok informal di Jakarta. Meskipun tak terlalu kasat mata, siasat mereka rupanya mampu menciptakan ruang-ruang kota yang lebih berkeadilan dan sesuai dengan situasi Jakarta sebagai kota berkembang paling besar di dunia.
Pada akhirnya, kelompok informal memantik kesadaran kita bahwa di tengah pengelolaan ruang kota yang terbatas, kita memiliki dua pilihan: berkompetisi untuk menguasai ruang yang terbagi-bagi atau bekerja sama dalam konsep ruang berbagi?
Andesh Tomo adalah seorang peneliti, arsitek, dan urbanis yang menghabiskan lebih dari sepuluh tahun mengeksplorasi kompleksitas kehidupan masyarakat Jakarta. Ia mendirikan Rame-Rame Jakarta (RRJ) pada 2020 sebagai pusat penelitian tentang fenomena informalitas. Ia berperan menyajikan kajian kritis tentang pendefinisian kelompok informal di kota-kota besar dan strategi untuk menyertakan mereka dalam isu perencanaan kota, kebijakan, ekonomi, dan budaya.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini