Laki-laki dalam Cengkeraman Patriarki
August 4, 2024Menilik Istilah ‘Diaspora’, Memandang Perpindahan Manusia
August 24, 2024Photo by The Jakarta Post
OPINI
Rumput yang Berpilin di Hati
oleh Iqbal Abizars
Musim senantiasa berganti. Kemarau bersalin rupa menjadi penghujan, begitu juga sebaliknya. Kehidupan setia menjalani daurnya. Setiap awal akan menuju akhir dan akhir adalah permulaan yang baru. Rumput-rumput ikut ambil bagian dalam daur kehidupan. Mereka tumbuh dan menjalar ke mana-mana memeluk tanah, bebatuan, bukit, gunung, hingga celah-celah yang kerap diabaikan. Rumput menebar manfaat, tapi tak jarang dianggap gulma. Tergantung mata siapa yang memandangnya.
Rakyat sipil—yang merupakan sekelompok orang-orang biasa—punya kesamaan dengan rerumputan. Keduanya berasal dari bawah, banyak dan beragam, acapkali dipandang rendah, dan jati dirinya sering diotak-atik sesuai kebutuhan mereka yang berkuasa. Ada kalanya mereka dianggap berguna untuk dimanfaatkan, ada masanya mereka ditebas karena dianggap pengganggu. Mungkin, itulah kenapa gerakan rakyat dinamakan grass root atau akar rumput, yaitu karena keduanya digariskan dengan takdir yang senasib.
Membangun Akar Rumput yang Solider
Gerakan akar rumput sendiri adalah upaya terorganisasi yang dilakukan oleh individu-individu yang dipersatukan oleh keresahan yang sama. Tindakan kolektif diambil untuk memperjuangkan dan membela sesuatu demi tercapainya perubahan yang diharapkan atas suatu kondisi yang dinilai tidak semestinya. Gerakan akar rumput memiliki cakupan yang beragam; lokal, nasional, hingga global.
Di Indonesia, gerakan akar rumput begitu banyak dan menjelma dalam berbagai ragam bentuk. Setiap masalah atau keresahan pasti akan mendapatkan responsnya tersendiri. Skalanya pun bermacam-macam. Ada yang kecil dan senyap hingga yang besar dan riuh. Mulai dari pendidikan, literasi, agraria, buruh, HAM (Hak Asasi Manusia), dan masih banyak perkara lainnya, masing-masing terus diperjuangkan oleh gerakan akar rumput di Indonesia pada hari ini.
Barangkali fakta tersebut adalah cerminan. Suburnya gerakan akar rumput adalah imbas dari banyaknya masalah dan keresahan yang belum teratasi dan justru berlipat ganda. Pemerintah beserta organ-organ negara lainnya yang diharapkan sebagai penyelesai masalah justru masih jauh dari harapan rakyat—jika tidak bisa disebut memang tidak mau menyelesaikannya demi kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan rakyat.
Ibarat peribahasa menengadah ke langit hijau yang bermakna tidak ada harapan akan mendapat pertolongan, rakyat pun saling bergandengan tangan untuk memperjuangkan hak-hak yang terabaikan. Pertolongan yang tak kunjung datang coba dihadirkan secara mandiri dari bawah. Bergotong royong, rakyat terus bersuara lantang untuk menuntut hak dan mengingatkan penguasa akan kewajibannya. Banyak aral melintang, tapi ini adalah langkah yang memang harus diupayakan. Ibarat rumput liar, gerakan akar rumput menolak menyerah pasrah sekalipun kondisi lingkungan seakan menolak kehadiran mereka untuk tumbuh.
Di tengah negara yang dijalankan secara ugal-ugalan hingga menyebabkan kekacauan sosial dan evaluasi moral, kehadiran gerakan akar rumput menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar. Ketika banyak fungsi negara disandera justru oleh mereka yang berkuasa, rakyat hanya punya dirinya sendiri untuk diandalkan. Gerakan akar rumput—dan keberpihakannya kepada rakyat—punya peran penting di sebuah negara yang sedang mengalami kekacauan.
Pertama, gerakan akar rumput adalah wadah solidaritas antar-rakyat. Bergerak berdasarkan kesadaran dapat menumbuhkan kepedulian di antara sesama. Ketika simpul kebersamaan telah terjalin dan melahirkan rasa saling memiliki serta senasib sepenanggungan, rakyat akan menjadi lebih kuat untuk berjalan bersama dalam mencapai suatu tujuan. Sejatinya, ketika kita bersolidaritas, maka kita sedang menolong diri sendiri. Kata Bung Hatta, “Menolong diri sendiri secara bersama-sama,” dalam buku legendarisnya, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun.
Kedua, suatu pengadvokasian atas masalah tertentu demi tercapainya perubahan biasanya akan lebih sangkil (efektif) dan mangkus (efisien) jika dilakukan dari bawah (bottom up). Gerakan akar rumput ada untuk menyuarakan tuntutan kepada penguasa agar menghadirkan solusi bagi permasalahan rakyat. Bahkan dalam kadar tertentu, gerakan akar rumput lebih bisa diandalkan untuk mengambil alih peran penguasa dalam menyelesaikan masalah yang ada. Gerakan akar rumput adalah media kanalisasi bagi ide, cita-cita, keresahan, dan penderitaan yang dipunyai oleh rakyat.
Ketiga, penguasa perlu pengawas agar tak sewenang-wenang, atau dalam konteks saat ini, penguasa yang sewenang-wenang perlu ditekan agar tak menyeret rakyat ke kondisi yang makin runyam dan gawat. Gerakan akar rumput dapat berperan sebagai oposan sekaligus kekuatan tandingan yang menjalankan fungsi kontrol sosial untuk penguasa. Tanpa kekuatan tandingan yang setara, penguasa selalu berpotensi untuk bertindak tanpa batas semau mereka. Menukil dari Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 karya Takashi Shiraishi, tokoh pergerakan Indonesia, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, mengatakan, “Kekhawatiran adalah cara yang baik untuk mencegah penyelewengan kekuasaan” dan cara menghadirkan kekhawatiran tersebut adalah dengan mengorganisasi rasa tidak puas. Gerakan akar rumput bisa menjalankan fungsi tersebut.
Panjang Umur Gerakan Akar Rumput
Meski punya peran penting dan turut aktif dalam upaya penyelesaian masalah di tingkat masyarakat, gerakan akar rumput—di mana pun—tetap dihadapkan dengan tantangan yang luar biasa hebat. Barangkali, nasib gerakan akar rumput dengan rumput memang segaris: lahir, tumbuh, layu, dan mati. Silih berganti kemudian berulang. Memang, abadi bukanlah pasangan alami dari hidup. Namun, rumput tak pernah benar-benar mati. Rumput yang mati ialah peneroka yang memberi jalan kehidupan bagi rumput-rumput setelahnya.
Begitu pun dengan gerakan akar rumput. Meski sering dianggap sebagai gulma pengganggu oleh penguasa sehingga coba disingkirkan, percayalah bahwa gerakan akar rumput sejatinya tak akan pernah bisa untuk benar-benar disingkirkan. Selama kita masih punya rasa kepedulian dan keadilan, maka gerakan akar rumput bisa disemai kapan dan di mana saja. Hal yang patut kita perhatikan bersama adalah pentingnya mewujudkan kedisiplinan organisasi. Tujuan utamanya agar gerakan akar rumput bisa konsisten dalam melangkah, punya napas yang panjang, dan tepat sasaran dalam berjuang.
Meski sering dianggap sebagai gulma pengganggu oleh penguasa sehingga coba disingkirkan, percayalah bahwa gerakan akar rumput sejatinya tak akan pernah bisa untuk benar-benar disingkirkan. ~ Iqbal Abizars Share on XSekarang, waktunya kita melamun untuk merenung. Akhir-akhir ini, batin kita dijejali oleh kabar-kabar buruk yang menghujam nurani. Hukum diingkari. Penyamun jadi penguasa. Perbuatan dosa jadi biasa. Wong cilik saling gebuk sedangkan yang di atas tertawa-tawa di kursi empuk. Jangan pernah merasa aman hanya gara-gara belum merasakan langsung penderitaan orang lain. Rasa aman yang demikian hanyalah rasa yang semu. Cepat atau lambat, semua rakyat akan ikut tercekik jika saling diam membiarkan keadaan buruk terus bergulir. Apakah kita mau untuk berangkulan dan saling mengulurkan tangan—bergerak bersama sebagai akar rumput untuk memperjuangkan harapan-harapan yang baik?
Mari, menjadi rumput-rumput yang berpilin di hati mereka, mereka yang berkuasa dengan hati yang keras. Kita satukan akar hingga berkelindan melunakkan jiwa-jiwa yang tak kenal belas kasihan. Memperjuangkan kebenaran adalah wujud syukur atas karunia akal sehat dan hati nurani pemberian Tuhan. Jika kemudian kita dianggap gulma, maka kita adalah gulma yang benar. Soyez Realistes, Demandez L’Impossible.
Iqbal Abizars adalah penulis lepas dan petani dari lereng Gunung Sumbing, Temanggung. Agraria, pangan, pertanian, dan ekonomi kerakyatan adalah isu-isu yang menjadi perhatian utamanya. Abizars juga menekuni kepenulisan fiksi-sejarah. Ia bisa disapa di @idabizars (Instagram & X)
Artikel Terkait
Memahami Krisis Lingkungan dari Lensa Feminist Political Ecology
Lensa FPE bisa menjadi jendela dan jembatan yang dapat kita gunakan untuk melihat persoalan lingkungan secara lebih kompleks dan tidak sederhana dengan menempatkan gender sebagai sumbu kritis dan variable politis.Pembangunan dan Penanggulangan Bencana
Widya Setiabudi sudah lama bekerja di bidang humanitarian dan kebencanaan. Di Catatan Pinggir ini, Widya menuliskan pentingnya pembangunan yang layak dan pengelolaan risiko bencana atas dampak dari pembangunan itu sendiri.Kapitalisme dan Kerusakan Lingkungan: Ironi Pembangunan yang Berkelanjutan
Kapitalisme disebut sebagai alasan besar rusaknya lingkungan. Artikel ini membahas apa yang sebetulnya terjadi dalam sistem yang dianggap mendorong produktivitas dan pertumbuhan tersebut. Bisakah kita punya ekonomi yang maju tanpa mengorbankan bumi?