Di Tengah Pandemi, Jangan Lupa Jaga Sesama
August 24, 2021Yang Sering Kita Lupakan Ketika Membicarakan Passion
September 20, 2021OPINI
Sehat Siarannya, Sehat Bangsanya
oleh Dani Ardian
Perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara tak dapat dilepaskan dari media. Bagaimanapun, berbagai proses komunikasi dan sosialisasi kepada masyarakat harus terlebih dahulu melewati proses “mediasi.” Keperluan akan mediasi tersebut mendorong terciptanya bermacam-macam media. Keberagaman ini tentunya membawa dampak tersendiri.
Dalam era seperti sekarang ini, media massa (cetak maupun elektronik) mendapat perhatian khusus pengaruhnya yang begitu besar pada masyarakat. Media massa diketahui mempunyai kekuatan signifikan dalam menggerakan proses politik, membangun opini publik, dan nilai-nilai lainnya.
Salah satu media massa yang memiliki peran cukup penting adalah televisi. Menurut Skomis (dalam Anwas, 1999), dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan lain sebagainya), televisi cukup istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media audio dan visual bergerak yang bisa bersifat politis, informatif, menghibur, mendidik, atau bahkan gabungan dari keempat unsur tersebut.
Peran televisi sebagai media informasi memiliki pengaruh yang cukup masif dalam menyampaikan pesan. Hal ini karena televisi bisa menjangkau dengan cakupan yang luas dalam waktu yang bersamaan. Sehingga, berbagai informasi atau peristiwa yang terjadi di Eropa, Timur Tengah, atau Australia pun bisa kita terima langsung di rumah.
Akan tetapi, saat media dikendalikan oleh korporasi, media akan cenderung melayani kepentingan kelompok yang berkuasa ketimbang kepentingan rakyat umum. Akibatnya, siaran yang ditampilkan media massa menjadi tidak sehat.
Saat media dikendalikan oleh korporasi, media akan cenderung melayani kepentingan kelompok yang berkuasa ketimbang kepentingan rakyat umum. Akibatnya, siaran yang ditampilkan media massa menjadi tidak sehat. ~Dani Ardian Share on XMenurut data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat peningkatan yang signifikan dalam persentase jumlah penonton televisi Indonesia yang berumur 10 tahun ke atas. Pada tahun 2012, terdapat sebanyak 91,68 persen penduduk Indonesia yang menonton televisi. Lalu, pada tahun 2018, meningkat menjadi 93,02 persen. Artinya, penduduk Indonesia yang tidak menonton televisi di tahun 2018 berjumlah kurang dari 10 persen.
Sayangnya, tinggi persentase masyarakat Indonesia yang menonton televisi tidak diikuti dengan kualitas program siaran yang membaik. Riset indeks kualitas program siaran televisi periode II tahun 2019 memperlihatkan nilai indeks kualitas program siaran TV secara keseluruhan adalah sebesar 2.90.
Nilai ini membuktikan bahwa kualitas program siaran televisi di Indonesia belum mencapai standar yang ditetapkan oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), yaitu 3.00. Dari hasil riset tersebut, terdapat tiga dari delapan program siaran yang belum memenuhi standar program berkualitas. Tiga program itu ialah; variety show (acara ragam), sinetron, dan infotainment.
Dalam lima tahun terakhir, kualitas program sinetron, variety show, dan infotainment masih belum meningkat. Hal ini mengkhawatirkan, mengingat tingginya persentase masyarakat Indonesia yang menonton program siaran televisi, khususnya sinetron, setiap harinya.
Masyarakat yang mampu mengkritisi tayangan yang disiarkan tentu akan mendorong para pembuat keputusan untuk merubah strategi penyiarannya. ~Dani Ardian Share on XKetika konsumsi masyarakat terhadap program siaran sinetron meningkat, namun tidak didukung dengan kualitas yang juga membaik, maka akan terjadi permasalahan yang cukup besar. Salah satu contohnya adalah terkikisnya nilai dan moral masyarakat. Selain itu, proses pembentukan karakter pun akan terganggu akibat mengonsumsi siaran yang kurang sehat tersebut.
Hal tersebut dibahas oleh Jacques Derrida dalam bukunya yang berjudul Specters of Marx: The State of the Debt, the Working of Mourning, and the New International (Hantu-hantu Marx: Keadaan Utang, Karya Belasungkawa, dan Internasional Baru), seorang filsuf asal Perancis. Menurutnya, “Kehidupan (demokrasi) dan parlementer tak hanya terdistorsi oleh berbagai mekanisme sosio-ekonomi, tetapi diuji dengan kesulitan lebih besar di dalam ruang publik yang secara mendalam direpotkan oleh aparatus tekno-tele-media dan oleh ritme baru informasi dan komunikasi.”
Hal ini seharusnya menjadi catatan penting bagi para pembuat keputusan dalam penyiaran agar bisa memperbaiki dan meningkatkan kualitas program siaran di Indonesia. Di samping itu, masyarakat juga harus mengambil sikap aktif dalam upaya mendukung siaran yang berkualitas. Hal tersebut harus kita lakukan demi terciptanya masyarakat yang cerdas.
Demi terbentuknya permintaan untuk siaran yang lebih berkualitas, saya rasa kuncinya ada di literasi. Masyarakat yang mampu mengkritisi tayangan yang disiarkan tentu akan mendorong para pembuat keputusan untuk merubah strategi penyiarannya.
Sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri, kita bisa membantu dorong terbentuknya kemampuan literasi antara lain dengan membantu proses adaptasi masyarakat dalam memasuki dunia serba digital seperti dengan mendukung program Gerakan Nasional Literasi Digital (Siberkreasi). Siberkreasi sendiri diadakan untuk membantu masyarakat mendapatkan bacaan edukatif yang berguna untuk menghadapi permasalahan di era digital. Apalagi, di Indonesia sendiri, terdapat permasalahan digital yang cukup marak, yaitu hoaks dan penipuan (scamming). Karena itulah, pemerintah berupaya mengedukasi masyarakat melalui bacaan-bacaan edukatif agar mampu melawan hoaks dan penipuan. Dengan begitu, masyarakat pun dapat lebih bijak dalam memilih program siaran untuk dikonsumsi.
Tak hanya itu, terdapat tiga kunci utama yang juga berperan dalam perkembangan digital di Indonesia. Di antaranya adalah infrastruktur, regulasi, dan pengawasan. Kita sebagai remaja tentunya harus berperan aktif untuk mendorong DPR agar menjalankan fungsinya untuk membuat regulasi yang mendukung proses transisi menuju era digital, dan juga menganggarkan APBN untuk membuat infrastruktur guna mendukung proses transisi menuju digitalisasi ini, seperti perbaikan sinyal, membuat pusat riset teknologi, dan hal sejenisnya. Setelah itu pemerintah perlu melakukan pengawasan secara masif terhadap implementasi regulasi yang telah ditetapkan agar berjalan sesuai rencana.
Maka, demi program siaran yang sehat diperlukan kelancaran proses transisi menuju era digital, dibutuhkan kemampuan literasi digital yang didukung oleh regulasi dan infrastruktur yang tepat. Dengan terciptanya program siaran televisi yang berkualitas dan didukung oleh literasi digital yang baik , maka akan terbentuk masyarakat yang kritis dan adaptif terhadap perubahan menuju era digital. Dari situ, kita pun dapat membangun bangsa yang cerdas bijaksana. Maka dari itu, ayo kita sama-sama bersikap kritis dan selektif terhadap produk media massa yang kita konsumsi, baik itu media baca maupun media visual.
Dani Ardian, siswa SMA kelas 11 jurusan IPS di SMA Negeri 1 Jonggol-Bogor. Memiliki hobi traveling dan senang berdiskusi karena tertarik dengan dunia sosial.
Bisa dihubungi melalui Instagram: @daaniard
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini