Menulis Sejarah Islam, Antara Kekuasaan Politik dan Kekuatan Narasi

Sejarah Islam

Ide Utama

Sejarah tidak pernah netral. Ia selalu ditulis dari satu titik pandang. Buku Historiografi Islam karya Badri Yatim mengajak kita menelusuri bagaimana agama, politik, dan narasi saling bertemu.

Sejarah bukanlah sekadar catatan masa lalu, melainkan medan pertarungan makna. Menyoal siapa yang layak dikenang, dan siapa yang pantas dilupakan. Narasi sejarah kerap dijadikan instrumen kekuasaan atau romantisme keagamaan. Dari sini, kita perlu bertanya ulang, bagaimana seharusnya umat Islam menulis dan membaca sejarah mereka sendiri?

Pertanyaan ini menggema kuat ketika saya membaca Historiografi Islam karya Badri Yatim. Sebuah buku yang tidak hanya mengulas soal metodologi dan signifikansinya dalam kajian historiografi Islam, tetapi juga menyingkap kompleksitas ideologi, teologi, politik, dan sosial. Buku ini mengajak pembaca untuk menyadari bahwa sejarah Islam bukanlah mozaik yang netral, tapi penuh dengan bias dan perdebatan.

Inti dari Historiografi Islam karya Yatim adalah eksplorasi asal-usul dan fondasi penulisan sejarah Islam. Dalam karyanya, Yatim dengan cermat menelusuri evolusi narasi sejarah melalui berbagai periode, seperti pada masa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah. 

Salah satu kekuatan buku ini terletak pada pendekatan komparatifnya. Yatim tidak hanya membatasi analisisnya pada historiografi Islam, tetapi ia juga menarik persamaan dengan tradisi historiografi lainnya, seperti tradisi Yunani dan Romawi. Lensa komparatif ini memperkaya pemahaman tentang bagaimana sejarawan Islam memandang narasi mereka dalam konteks sejarah global.

Metodologi Multifaset Sejarah Islam

Dengan menyoroti karakteristik historiografi Islam dan hubungannya dengan praktik sejarah yang lebih luas, Yatim mendorong pembaca untuk berpikir kritis tentang hakikat penulisan sejarah. Yatim menggunakan pendekatan multifaset yang menggabungkan analisis tekstual dengan pemeriksaan kritis terhadap tren historiografi dari masa ke masa. Pendekatan berlapis ini memungkinkan pembahasan yang mendalam dan menyeluruh. Ia terlibat dengan teks-teks primer sekaligus menggabungkan literatur sekunder, yang memungkinkan pemahaman yang komprehensif tentang topik yang dibahas. Metodologi yang ketat ini tidak hanya meningkatkan kredibilitas argumennya, tetapi juga berfungsi sebagai model bagi para peneliti dan mahasiswa yang tertarik pada kajian historiografi Islam. 

Yatim mengajak pembaca untuk merenungi satu dilema klasik yang terus membayangi para sejarawan muslim, seperti ketegangan antara keimanan dan keakuratan sejarah. Ia membahas bagaimana keyakinan agama sering membentuk narasi sejarah, yang mengarah pada penciptaan hagiografi, tulisan yang lebih memprioritaskan pengabdian agama dan pengagungan tokoh dibandingkan keakuratan fakta.

Membuka Lensa Baru

Dalam karyanya ini, Yatim memberi tempat yang istimewa bagi tradisi lisan dalam penulisan sejarah. Ia mengingatkan, bahwa sebelum ditulis dengan pena, sejarah lebih dulu diucapkan. Ia dengan cekatan menelusuri berbagai sumber, menyoroti tokoh-tokoh dan teks-teks penting yang telah berkontribusi pada disiplin ilmu ini, seperti Ibnu Khaldun, Al-Tabari, dan lain-lain. 

Yatim juga menyelidiki dasar-dasar filosofis historiografi Islam, mengeksplorasi bagaimana konsep waktu, ingatan, dan identitas saling terkait dalam jalinan naratif sejarah Islam. Ia membahas bagaimana penulisan sejarah di dunia Islam sering kali dipengaruhi oleh pertimbangan teologis yang mengarah pada perpaduan unik antara perspektif agama dan sekuler. 

Interaksi ini penting karena menggarisbawahi dimensi moral dan etika yang menginformasikan pencatatan sejarah dalam Islam. Lebih jauh, Historiografi Islam lebih dari sekadar menceritakan kembali peristiwa. Seruan untuk keterlibatan kritis ini relevan dalam konteks saat ini, di mana narasi sejarah sering kali diperebutkan dan ditafsirkan ulang. Dengan mengajak para pembaca untuk mempertanyakan narasi yang dominan, Yatim menumbuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang kompleksitas dan keragaman dalam historiografi Islam.

Buku ini juga kaya akan contoh-contoh yang menggambarkan tema-tema yang lebih luas yang dibahas. Yatim menggunakan berbagai studi kasus, meneliti bagaimana para sejarawan yang berbeda telah mendekati peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam. Dari kehidupan Nabi Muhammad hingga berbagai kekhalifahan, contoh-contoh ini berfungsi untuk mendasari diskusi teoritis dalam konteks dunia nyata, membuat teks ini mudah dipahami dan menarik bagi beragam pembaca.

Meskipun Historiografi Islam menawarkan wawasan yang berharga, penting untuk dicatat bahwa buku ini mungkin mendapat manfaat dari eksplorasi yang lebih luas tentang isu-isu kontemporer dalam historiografi Islam. Misalnya, dampak globalisasi dan teknologi digital pada pencatatan dan penyebaran sejarah dapat memberikan sudut pandang yang menarik untuk mengkaji praktik-praktik terkini. 

Sejarah bukanlah sekadar catatan masa lalu, melainkan medan pertarungan makna. Menyoal siapa yang layak dikenang, dan siapa yang pantas dilupakan. ~Wirdatul Jannah Share on X

Gaya penulisan Yatim jelas dan menarik, membuat konsep yang rumit menjadi mudah dipahami tanpa mengorbankan kedalamannya. Aksesibilitas ini penting, terutama karena minat terhadap sejarah Islam terus tumbuh di kalangan cendekiawan dan masyarakat umum. Dengan menjembatani kesenjangan antara wacana ilmiah dan pemahaman populer, Yatim berkontribusi pada percakapan yang lebih terinformasi tentang warisan sejarah Islam.

Akhir kata, buku ini menyodorkan cukup banyak pertanyaan untuk membuat pembacanya–termasuk saya–merasa perlu melihat ulang bagaimana kita memahami sejarah kita sendiri.


Wirdatul Jannah adalah mahasiswa Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta yang gemar membaca dan menulis. Ia memiliki ketertarikan pada isu-isu perempuan, pendidikan, dan dunia literasi. Di sela aktivitas akademiknya, ia sangat menikmati menonton drama Korea sebagai hiburan sekaligus pelarian sejenak dari rutinitas. Selain itu, ia juga senang menulis esai dan resensi buku. Baginya, membaca adalah cara merawat akal dan menata perasaan.

Siapa pun bisa punya pengalaman, pemikiran, dan gagasan. Kirim dulu pikiranmu, overthinking belakangan.