Bagaimana Tragedi 1965 Mengubah Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia?

Sampul buku "The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade & The Mass Murder Program That Shaped Our World"

Ide Utama

Tragedi G30S sejatinya tidak bisa dipisahkan dari kontestasi geopolitik Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Indonesia saat itu memiliki partai komunis terbesar ketiga di dunia, setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Tentu, hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi pemerintah Amerika Serikat. 

“Magdalena, seorang gadis yang tumbuh dan besar di lingkungan pertanian. Ia hidup dalam lingkaran setan antara konflik rumah tangga, penyakit, dan kemiskinan. Di usia 13 tahun, Magdalena putus sekolah untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Dua tahun berlalu, Magdalena harus berhenti bekerja karena ibunya jatuh sakit, dan beralih menjual berbagai hasil tanam kepada tetangganya. Namun, usaha itu mesti tandas. Ia harus memutar akal.

Dari perdesaan Purwokerto di Jawa Tengah, Magdalena memilih mengadu nasibnya di Jakarta. Kabar mengatakan bahwa lapangan pekerjaan di Jakarta terbuka lebar. Ia belum pernah menginjakkan kaki di kota besar itu. Walaupun demikian, bibinya mempunyai koneksi di Ibukota dan dapat membantunya. 

Perjalanannya dari Purwokerto dilaluinya dengan kereta api sehari penuh. Magdalena tiba di Jakarta, tepatnya di Monumen Nasional yang populer itu. Rasa takjub terhadap tinggi bangunan itu tidak bisa ia sembunyikan.

Kabar tentang kesempatan kerja di Ibukota tidaklah keliru. Tidak lama, Magdalena mendapatkan pekerjaan di pabrik kaos. Bersama dengan buruh perempuan lainnya, ia ditempatkan di penginapan kecil yang menyatu dengan kantor perusahaannya. Setiap harinya, tepat pukul 6 pagi hari, mereka sudah siap dengan seragam kerjanya untuk dijemput dengan truk besar dari Jatinegara, Jakarta Timur menuju Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Bekerja dari jam 7 pagi hingga 4 sore, upah Magdalena tidaklah buruk. Para buruh laki-laki mencuci pakaian dan buruh perempuan memotongnya sesuai bentuk yang sudah ditentukan. Kondisi ini disyukuri Magdalena. Tanpa waktu lama, dia segera menyadari kondisi ini disebabkan oleh SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), serikat buruh afiliasi PKI yang telah mengorganisir sebagian besar buruh di wilayah Indonesia. Tentu, ia ikut bergabung dengan serikat buruh terbesar saat itu.

Magdalena beberapa kali mendengar slogan dan jargon ideologis dari radio kantornya, tanpa tahu maknanya sedikit pun. Bahkan, ia tidak mengetahui apapun mengenai PKI, apalagi dampaknya terhadap pekerjaannya. Yang ia tahu, SOBSI selalu  mendukung dan melindunginya dan teman-temannya, dan strategi SOBSI berhasil.”  

Cerita ini dinukil dari buku The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade & The Mass Murder Program That Shaped Our World (2020) karya Vincent Bevins. Buku ini menggambarkan bagaimana intervensi pemerintah Amerika Serikat pada pembantaian massal 1965 – 1966 dan penghancuran gerakan kiri di Indonesia yang kemudian “menginspirasi” upaya yang sama di belahan dunia lain ketika masa perang dingin. 

Kisah Magdalena di atas mewakili kondisi ketenagakerjaan Indonesia pada masa itu (1945 – 1958). Sejumlah regulasi berusaha melindungi buruh dan memberikan jaminan sosial. Karenanya, serikat buruh berada dalam kondisi terbaiknya saat itu. 

Kala itu, sejumlah konvensi ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) diratifikasi, dan menghasilkan tujuh regulasi, yaitu (1) UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja Buruh, (2) UU No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja, (3) UU No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, (4) UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan, (5) UU No. 22 Tahun 1857 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, (6) UU No. 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Dasar-Dasar dari Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama, dan (7) Permenaker No. 90 Tahun 1955 tentang Pendaftaran Serikat.  

Adanya perlindungan akan kebebasan berkumpul dan berserikat membawa angin segar bagi serikat buruh. Setidaknya, ada tiga hingga empat juta pekerja yang tergabung dalam 150 serikat nasional dan ratusan serikat lokal yang tidak terafiliasi dengan serikat nasional. Dari data Kementrian Perburuhan pada September 1957, ada empat federasi terbesar yang ada di Indonesia: SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dengan 2.661.970 anggota, KBSI (Kongres Buruh Seluruh Indonesia) dengan 735.100 anggota, SBII (Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) dengan 275.000 anggota, dan KBKI (Kesatuan Buruh Kerakjatan Indonesia) dengan 94.477 anggota. Ini belum termasuk federasi kecil dan federasi regional yang jumlah anggotanya puluhan ribu orang.

Pada masa itu, pemerintah RI memandang serikat buruh sebagai komponen penting dan dibutuhkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya Maklumat Presiden No. 1 tahun 1947 tentang implementasi Peraturan Presiden No. 6 tahun 1946 mengenai komposisi KNIP. Menurut peraturan ini, 40 pemimpin serikat buruh ditunjuk sebagai anggota parlemen sementara. Semenjak itu, gerakan buruh Indonesia, terutama SOBSI, selalu terhubung dengan urusan pemerintahan.

Babak selanjutnya, Indonesia memasuki masa demokrasi terpimpin yang ditandai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Soekarno menjadi penguasa tunggal dengan Jenderal Nasution di belakangnya yang sebelumnya sudah berhasil mendesak diberlakukannya UU Keadaan Bahaya 1957. Semenjak itu, militer menjadi elemen krusial dalam koalisi pemerintah di bawah Demokrasi Terpimpin, sebut Harold Crouch dalam The Army and Politics in Indonesia.

Kondisi tersebut turut serta mengubah ihwal ketenagakerjaan. Sejumlah kebijakan lahir untuk memagari ruang politik dan ekonomi buruh. Mulai dari larangan mogok kerja, pembentukan Dewan Perusahaan, dan penerbitan UU No. 7 PRP/1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau penutupan di Perusahaan-Perusahaan, Jawatan-Jawatan, dan Badan-Badan yang Vital.

Di tengah ketegangan politik dan krisis ekonomi, peristiwa paling berdarah dalam sejarah Indonesia terjadi. Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) melibatkan aktor TNI Angkatan Darat (AD), PKI, bahkan CIA. Selain terbunuhnya enam jenderal dan satu letnan, semua yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibasmi di bawah komando Soeharto. Babak selanjutnya adalah pelarangan PKI, komunisme, dan pembubaran serikat buruh beserta afiliasinya. Ada 62 serikat buruh yang dibawahi oleh SOBSI dibubarkan dan dinyatakan terlarang atas dasar Keputusan No. 85/KOGAM/1966 yang ditandatangani langsung oleh Soeharto

Selain itu, sebuah laporan dari Duta Besar Indonesia memuat upaya TNI AD untuk melarang SOBSI yang dicap terlibat dalam G30S dan juga berusaha memecat Sutomo, Menteri Perburuhan yang tidak mau bekerjasama dengan AD untuk menghancurkan SOBSI

Pada titik inilah, kondisi ketenagakerjaan Indonesia benar-benar berubah. Kebebasan berkumpul dan berserikat dibatasi, tidak terkecuali serikat buruh. Orde Baru membentuk Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI) yang kemudian akhirnya disebut Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan menjadi satu-satunya wadah organisasi buruh di Indonesia. Serikat-serikat buruh non-komunis yang masih bertahan dipaksa untuk bergabung dengan FBSI (sebelum disebut SPSI).

Berbagai instrumen kebijakan digunakan untuk membatasi hak politik dan ekonomi buruh. Instrumen tersebut sebagian besar berupa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) yang berisi pembatasan serikat buruh, iuran serikat buruh, pengaturan syarat minimum untuk membuat Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dan pengakuan tunggal negara pada FSPSI. Semua itulah yang mengatur hak politik buruh. Untuk hak ekonomi, berbagai instrumen cenderung merugikan buruh dan menguntungkan pengusaha. 

Sementara itu, di ranah kultural dan bahasa, Orde Baru memisahkan sebutan antara pekerja, buruh, pegawai, dan karyawan. Ini merupakan bagian dari politik bahasa sekaligus upaya untuk melemahkan gerakan buruh. Seolah-olah ada perbedaan antara pekerja kantoran yang bermacetan di dalam mobil dan buruh pabrik yang sedang berdemonstrasi di Hari Buruh, 1 Mei. Semua istilah “buruh” digantikan dengan “pekerja,” misalnya Departemen Perburuhan menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Hari Buruh 1 Mei dilarang, lalu diganti menjadi Hari Pekerja Nasional 20 Februari.

Perubahan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia dapat ditilik dari periode sebelum dan sesudah 1965. Periode sebelum 1965 dipenuhi oleh berbagai macam kebijakan pro buruh dan serikat pekerja yang kuat. Walaupun, di era Demokrasi Terpimpin, watak otoritarianisme Soekarno mulai menguat, dan berdampak pada kebebasan berserikat dan pemogokan kerja. 

Akan tetapi, perubahan radikal kondisi ketenagakerjaan baru terjadi setelah G30S dan pemberangusan PKI beserta seluruh organisasi afiliasinya, termasuk SOBSI.  Orde Baru membatasi hak politik dan ekonomi buruh sekaligus memberi stigma buruk kepada “buruh” dan “serikat buruh.” 

Penyatuan organisasi buruh menjadi bukti kontrol negara terhadap gerakan. Sementara itu, politik bahasa memainkan peran dalam memberi stigma terhadap buruh yang dianggap berbeda dari karyawan atau pegawai.

Penyatuan organisasi buruh menjadi bukti kontrol negara terhadap gerakan. Sementara itu, politik bahasa memainkan peran dalam memberi stigma terhadap buruh yang dianggap berbeda dari karyawan atau pegawai. ~Muhammad Fakhri Share on X

Tragedi G30S sejatinya tidak bisa dipisahkan dari kontestasi geopolitik Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Indonesia saat itu memiliki partai komunis terbesar ketiga di dunia, setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Tentu, hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi pemerintah Amerika Serikat. 

Bersama Angkatan Darat yang menjadi aktor pembantaian massal, Pemerintah AS juga terbukti ikut terlibat dalam tragedi G30S. Upaya politik pembendungan dari kebijakan luar negeri AS dilakukan agar PKI dan komunisme lenyap di Indonesia, dan begitu pula dengan akan efek domino di kawasan Asia Tenggara

Hingga saat ini, 56 tahun sejak G30S dan 23 tahun pasca reformasi, kita rakyat kelas buruh masih menghadapi tantangan struktural dan kultural yang tidak jauh berbeda ketika Orde Baru berkuasa. 

Hingga saat ini, 56 tahun sejak G30S dan 23 tahun pasca reformasi, kita rakyat kelas buruh masih menghadapi tantangan struktural dan kultural yang tidak jauh berbeda ketika Orde Baru berkuasa. ~Muhammad Fakhri Share on X


Bagaimana Tragedi 1965 Mengubah Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia?

Muhammad Fakhri, adalah lulusan Departemen Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran. Hobi berkomentar di media sosial dan saat ini sedang tertarik pada isu kerentanan kerja.

Dapat dihubungi melalui akun sosial media Twitter: @fakhriation.

Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini

This site is registered on portal.liquid-themes.com as a development site. Switch to production mode to remove this warning.