Nakba: Hak untuk Kembali dan Menentukan Nasib Sendiri Punya Siapa?
May 24, 2021Menghidupkan Kembali Seni Lokal Kotagede
May 28, 2021OPINI
Seks dalam Sejarah Budaya Jawa
oleh Raka Putra Pratama
Dalam kehidupan sehari-hari, isu-isu seputar seksualitas masih jarang dibahas. Hal ini dikarenakan masih banyaknya anggapan bahwa seks adalah topik yang tabu. Padahal, hal ini penting untuk dipelajari, khususnya melalui sudut pandang ilmiah.
Kajian sejarah tentang isu-isu seputar seksualitas akhir-akhir ini semakin mendapat perhatian. Mungkin cukup umum ada pandangan bahwa isu-isu terkait seksualitas harusnya masuk ke dalam ranah kajian kesehatan, karena konsep seks yang merujuk pada unit biologis. Akan tetapi, ada aspek sosial dalam menjalin hubungan seksual yang sama pentingnya untuk dipahami. Usaha memahami aspek sosial ini pun sudah ada dari dulu. Dalam tulisan ini, saya akan membahas beberapa teks Jawa lama tentang seksualitas, khususnya dalam konteks hubungan seks heteroseksual.
Pengetahuan seputar seksualitas cukup sering dikaji dalam naskah-naskah istana lama yang biasa disebut historiografi tradisional. Salah satunya adalah naskah Serat Centhini, sering disebut sebagai Kamasutra Jawa, yang memaparkan berbagai pengetahuan dan memberikan panduan terkait menjalin hubungan intim. Dalam naskah ini, dijelaskan adat menjalin hubungan seks dari sudut pandang budaya Jawa. Naskah yang ditulis oleh pujangga istana tersebut juga tidak segan menggunakan kata-kata yang cukup eksplisit dalam teksnya.
Serat Centhini membahas mulai dari cara memilih hari yang baik, sampai tata cara menjalin hubungan seksual. “Lamun ayun pulang rêsmi | anuju tanggal sapisan | awit arasên bathuke | tanggal pindho awit ngaras | pupusêr tanggal tiga | wiwit mijêt wêntisipun | kanan kering karo pisan |(Apabila hendak berulah asmara pada tanggal satu di daerah kening harus dilakukan cumbuan dengan mencium atau menjilat, tanggal dua di daerah puser, tanggal tiga di daerah betis kanan dan kiri)”.
Selain Serat Centhini, terdapat pula naskah-naskah lain yang memiliki kajian serupa. Salah satunya adalah Serat Nitimani. Dalam naskah ini, dipaparkan etika dalam menjalin hubungan seksual sesuai budaya Jawa yang diterima. Serat Nitimani secara etimologi berasal dari kata niti dan mani. Dalam bahasa Jawa, niti berarti pranatan atau pedoman, sedangkan mani berasal dari frasa “wijining manungsa kang saka wong lanang” yang berarti ‘benih manusia dari laki-laki’.
Ada pandangan bahwa isu-isu terkait seksualitas harusnya masuk ke dalam ranah kajian kesehatan. Akan tetapi, ada aspek sosial dalam menjalin hubungan seksual yang sama pentingnya untuk dipahami. ~Raka Putra Pratama Share on XNaskah Serat Nitimani ditulis pada 1816, lalu diberikan beberapa suntingan oleh Raden Mas Arya Suganda pada 1821. Serat Nitimani membawa suatu poin penting yang tidak boleh dilupakan saat menjalin hubungan seks; peserta harus dalam keadaan sadar dan bijaksana. “Lamun tandhing, marsudya ing tyas ening, namrih ering, kang supadi tan kajungking.” Artinya, “bila sedang bertanding (berhubungan intim), usahakanlah hati tetap hening, agar konsentrasi terjaga, supaya tidak terkalahkan.”
Selain memberikan pedoman tentang kondisi mental yang baik dalam melakukan hubungan seksual, serat ini juga memberikan pedoman tentang tempat yang pantas untuk menjalin hubungan seksual. Menurut penulisnya, berdasarkan budaya Jawa, hubungan intim harus dilakukan di tempat yang sepi dan tidak boleh dilihat orang lain. Serat Nitimani mencatat, “Ingkang rumiyin nyariosaken tembung upami, wonten sujanma priya kaliyan wanodya, badhe dumugekaken karsa ngulang salulut sami lumebet ing jenem rum, tegesipun dunungin pasareyan, ing riku sandyana amung sakaliyan tur dumunung wonten papaning sepen, liripun boten katingalan dening tiyang kathah, ewa semanten menggah pepantenganing panggalih” atau seperti diterjemahkan dalam penelitian Nur Hanifah Insani, “(Para pendahulu menasehati, bahwa) seandainya ada manusia laki-laki dan perempuan (yang ingin) bercinta, masuklah ke dalam ranjang, (dalam artian) berada di tempat tidur (di mana mereka) hanya berdua … di tempat yang sepi yang intinya tidak kelihatan orang banyak. (Selain itu,) keseriusan perasaan janganlah sampai lupa”.
Dalam Serat Nitimani, ditulis juga tentang pentingnya kebersihan dalam berhubungan seksual. Dalam serat tersebut dikatakan bahwa wanita dan pria yang ingin berhubungan harus mandi bersih terlebih dahulu. Setelahnya, mereka dianjurkan untuk memakai wangi-wangian. Selain kebersihan jasmani, Serat Nitimani juga membahas tentang kejernihan mental sebelum hubungan intim. Hal ini berarti hati kedua pasangan haruslah bersih dan bebas dari perasaan negatif. Selain itu, Serat Nitimani juga menekankan pentingnya memperlakukan menjalin hubungan intim sebagai bentuk ketaatan kepada Sang Pencipta.
Membahas tentang seks masih dianggap tabu oleh banyak orang. Padahal, aspek sosial dari seks merupakan sesuatu yang sudah seharusnya kita coba untuk pahami. ~Raka Putra Pratama Share on XMasih banyak poin-poin penting tentang tata cara berhubungan yang dibahas oleh Serat Nitimani. Mulai dari pentingnya keseriusan dalam melakukannya hingga diperlukannya keinginan melakukan hubungan seksual yang sama besar antara si laki-laki dan perempuan (consent).
Naskah-naskah Jawa kuno yang membahas isu seputar seks juga sering kali menggunakan perspektif yang sarat mistisisme dan spiritualisme lokal. Contohnya, Babad Tanah Jawi yang menceritakan tentang kehidupan seksual raja-raja Jawa. Di dalamnya, terdapat cerita tentang hubungan antara Panembahan Senopati dari Mataram dengan Ratu Pantai Selatan Nyi Roro Kidul yang dijalin saat Senopati hendak mendirikan negara Mataram.
Selain itu, ada juga naskah Narasawan yang bercerita tentang hubungan seksual antara manusia dengan bukan hanya makhluk halus, tapi juga hewan. Memang terdengar aneh dan sulit masuk di akal. Menurut sejarawan dan filolog Adi Deswijaya, naskah ini ditulis sekitar tahun 1930, yang dikenal sebagai masa-masa kemunduran. Dalam naskah ini, diceritakan hubungan antara manusia dengan makhluk halus seperti genderuwo. Selain itu, naskah ini juga menceritakan tentang hubungan antara manusia dengan hewan, seperti kerbau dan kijang. Kata Narasawan sendiri datang dari kata nara yang berarti buruk dan sawan yang artinya gila. Naskah ini memang menggambarkan perilaku-perilaku seksual yang menyimpang dari norma masyarakat Jawa yang dibahas dalam naskah-naskah seperti Serat Centhini dan Serat Nitimani. Lantas, mengapa bisa terbit? Adakah kemungkinan naskah Narasawan diizinkan beredar oleh Keraton, yang menjunjung tinggi etika moral Jawa?
Narasawan bisa ditulis dan terbit karena penulisnya bukan bagian dari keraton. Pada masa itu, penulis yang berasal dari luar Keraton sendiri sangat jarang dijumpai. Naskah Narasawan ini ditulis oleh Cermapawira pada tahun 1930-an. Pada masa-masa tersebut, pengaruh para pujangga keraton sebagai penulis naskah mulai memudar. Hal ini disebabkan masuknya budaya barat yang dianggap lebih menarik di kalangan istana. Akibatnya, banyak pujangga-pujangga yang kehilangan pekerjaan dan harus berkarya di luar istana. Karya-karya yang dihasilkan di luar istana, seperti Narasawan, berhasil lolos dari sensor Keraton.
Sebelum kita mengkaji lebih lanjut, penting bagi kita untuk memahami apa yang terjadi di Jawa saat itu. Seperti yang dipaparkan Sri Margana dalam Historia, terjadi perubahan pandangan terhadap fauna pada tahun 1930-an. Saat itu, pertanian dan perkebunan diperluas sebagai upaya pemenuhan pangan. Di saat yang sama, hewan-hewan pun banyak yang mengalami mutasi genetik. Pada awal abad 20, muncul banyak berita aneh di koran tentang kelahiran hewan-hewan ternak hasil mutasi genetik. Catatan sejarah ini bukan berarti Narasawan ditulis berdasarkan cerita asli. Namun, bisa disimpulkan bahwa naskah tersebut merupakan refleksi dari rasa penasaran yang ada di masyarakat Jawa pada masa itu.
Membahas tentang seks masih dianggap tabu oleh banyak orang. Padahal, aspek sosial dari seks merupakan sesuatu yang sudah seharusnya kita coba untuk pahami. Banyak catatan penjelajah, dokumen pemerintah dari zaman kolonial, hingga koran dan naskah-naskah dari masa lalu yang sudah mulai mengangkat bahasan seputar seksualitas, membuktikan adanya rasa ingin tahu kita. Oleh karena itu, usaha untuk mengkaji isu-isu terkait seksualitas melalui kacamata akademis menjadi penting. Diharapkan juga di samping berkembangnya kajian seputar sejarah sejarah dan seksualitas, akan berkembang juga pemahaman di masyarakat bahwa isu-isu seputar seks bukanlah suatu bahasan yang tabu dan merupakan bagian penting dari kebudayaan kita.
Raka Putra Pratama, mahasiwa yang suka dengan kajian sejarah, ekonomi politik dan budaya lokal.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini