Mengapa Selebrasi Imlek Jadi Menjemukan Buatku
February 1, 2020Trauma Masa Kecil dan Kesehatan Mental Masa Dewasa
March 7, 2020OPINI
Selamat Hari Pers Nasional, Ricky!
oleh Ricky Subagja
Selama ini, hari pers nasional selalu menjadi momen di mana para kelompok – baik pemerintah maupun masyarakat – memaknai dan menginterpretasi hari tersebut dengan sudut pandang yang liyan. Pemerintah, seperti biasa, melahirkan retorika mengenai seberapa penting dan berharganya kehadiran pers untuk negara. Tentu kita tak boleh ahistoris. Pers nyatanya memang memiliki banyak andil di masa pergerakan nasional dulu. Tetapi masyarakat yang kritis tentu melihat retorika pemerintah saat ini hanyalah sekedar kata-kata. Banyak politisi – meski tidak semua – yang melihat pers hanya sebagai alat politik dalam mencapai suatu tujuan belaka. Terlepas dari wacana mana yang lebih dominan, rasa-rasanya untuk diri saya sendiri, perayaan hari pers nasional selalu terasa jauh dan asing serta tidak dekat dengan kita sebagai masyarakat biasa.
Ketika berbicara mengenai pers, pikiran saya secara otomatis tertuju kepada industri media, para jurnalis, serta sistem yang cukup kompleks yang berada di belakangnya. Hemat saya, pers berkaitan erat dengan praktik jurnalistik. Saya bisa saja salah, tetapi saya menganggap praktik mencari, mewawancarai, menulis, mengolah fakta yang ada di lapangan menjadi tulisan baik di media cetak maupun daring termasuk ke dalam pers. Sosok-sosok seperti Putra Nababan, Najwa Shihab, Aiman, Rosy, dkk. lah yang meneguhkan pandangan saya mengenai hal tersebut. Dari sini saya masih merasa, bahwa pers memang hanya milik segelintir orang saja – mereka yang turun langsung ke dunia jurnalisme, elit, maupun swasta. Tetapi pemaknaan saya berubah.
Ketika masih menjadi mahasiswa baru, saya bercita-cita menjadi seorang jurnalis. Cita-cita itu yang menjadi basis saya dalam mengambil beberapa keputusan di kampus, seperti bergabung ke TV UI (meski tidak lama), mengambil magang di CNN Indonesia, dan memilih peminatan jurnalisme (meski akhirnya saya memilih Kajian Media). Saat itu bahkan saya bermimpi untuk memiliki sebuah media besar yang kredibel dan berintegritas. Namun karena satu dan lain hal, saya mengubur mimpi saya menjadi seorang jurnalis, dan kini saya bekerja sebagai seorang peneliti di Pusat Kajian Penahanan – sebuah LSM yang berfokus terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak narapidana di lapas maupun rutan.
Jika dan hanya jika, masyarakat mampu menerapkan disiplin verifikasi, mencoba melakukan triangulasi data, mungkin kita tidak akan mudah tersulut atas berita-berita yang masih samar kebenarannya. ~ Ricky Subagja Share on XMeski tidak berhasil menjadi seorang jurnalis, saya sempat dibuat terdiam oleh perkataan salah satu sahabat saya ketika dirinya mengunggah foto kami berdua di Instagram saat saya wisuda September lalu. Dirinya menulis,
“Tidak perlu menunggu menjadi lulusan sarjana untuk ia bisa capai mimpinya menjadi seorang jurnalis. Wise ‘woman’ said, jika kau tak mendapatkan kesempatan, buatlah sendiri kesempatan itu. Siapa yang sangka media alternatif @manusiaui berawal dari tugas kuliah?”
Sebelum berlanjut, untuk kalian yang belum mengetahui Manusiaui, Manusiaui merupakan sebuah kanal daring di Instagram yang bertujuan untuk menghubungkan dan menginspirasi manusia- manusia yang ada di Universitas Indonesia. Saya memulai proyek tersebut di tahun 2017 – saat itu masih bernama Humans of Universitas Indonesia – di mana setiap minggu dibagikan cerita-cerita Manusia UI yang mematahkan stigma yang diberikan kepada kami sebagai Warga UI. Proses yang dilakukan untuk mengunggah satu cerita di Instagram cukup panjang, karena sebelumnya saya harus melakukan riset, membuat janji dengan narasumber, bertemu dan mewawancarainya, membuat transkrip, menentukan sudut pandang dalam penulisan, mendesain, dan kemudian mengunggahnya.
Ketika membaca caption yang ditulis oleh sahabat saya, saya terdiam. Saya tidak pernah melabeli diri saya sebagai seorang jurnalis, meski pada faktanya apa yang saya lakukan di Manusiaui merupakan praktik-praktik jurnalistik – yang berbeda dengan pers biasa mungkin hanya outputnya. Tentu apa yang saya dapatkan di kelas Dasar-Dasar Penulisan, Pengantar Jurnalisme, Teori Media, Media dan Kajian Budaya banyak membantu saya dalam penulisan. Seperti konsep ABC (accuracy, balance, clarity), disiplin verifikasi dalam elemen dasar jurnalisme oleh Bill Kovach, perihal informed consent dan juga anonimitas, dan lainnya. Pengalaman dua tahun melakukan praktik-praktik jurnalistik membuat saya menjadi pribadi yang bisa lebih sabar dan tidak gegabah dalam menyikapi suatu isu di luar sana.
Hal tersebut membuat saya berpikir bahwasanya kita bisa mengkontekstualisasikan hal-hal penting yang ada di dalam pers, atau lebih sempit lagi jurnalistik, dalam kehidupan sehari-hari. Jujur saya cukup jengah ketika melihat media sosial Twitter saat ini, di mana cukup banyak pihak yang terlalu reaktif terhadap suatu isu. Sebagai contoh, isu MUI mengharamkan Netflix. Hal tersebut tentu memicu perdebatan di Twitter. Tetapi faktanya justru isu tersebut dipelintir oleh media mainstream karena MUI sendiri tidak pernah mengeluarkan fatwa tersebut. Jika dan hanya jika, masyarakat mampu menerapkan disiplin verifikasi, mencoba melakukan triangulasi data, mungkin kita tidak akan mudah tersulut atas berita-berita yang masih samar kebenarannya.
Mengkontekstualisasikan hal-hal baik dan penting dalam jurnalistik ke kehidupan pribadi, mampu menjadikan kita sebagai seorang ‘jurnalis’ – setidaknya bagi diri kita sendiri. Ini berarti kita bisa lebih merdeka, terbebas dari pemberitaan yang mungkin membuat kita celaka. Kita juga bisa lebih bertanggungjawab, terhadap apapun yang kita tulis di media. Pada akhirnya akan tercipta ekosistem yang lebih sehat yang memungkinkan setiap ‘spesies’ di dalamnya saling berinteraksi dan berdiskusi dengan mengutamakan presisi. Jika hal ini terjadi, bukankah kita bisa lebih memaknai hari pers yang setiap tahun dirayakan? Karena akhirnya pers mampu masuk ke dalam kehidupan kita sehari-hari, bukan hanya milik segelintir kelompok maupun oligarki.
Ricky Subagja merupakan seorang manusia biasa yang sempat belajar Kajian Media di Universitas Indonesia. Kini dirinya tergabung dalam Center for Detention Studies – sebuah NGO yang bertujuan untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan narapidana. Selain itu Ricky juga tertarik kepada psikologi, filsafat, dan ilmu yang memanusiakan manusia. Aktif dalam kegiatan sosial, salah satunya Gerakan UI Mengajar – di mana dirinya tinggal dan berinteraksi selama satu bulan di sebuah dusun di bawah kaki Gunung Prau, untuk mengajar dan belajar dari anak dan masyarakat. Dirinya tersadar, bahwa kehidupan bukan hanya tentang dirinya sendiri. Temui Ricky di Instagram @ricksbgj.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini