Ni Made Ras Amanda Gelgel
June 28, 2021Mengenai Buku Bajakan
July 16, 2021OPINI
She Would Never Know (2021) dan Hustle Culture
oleh Frida Kurniawati
Entah sejak kapan saya mulai merasa bersalah ketika beristirahat tanpa melakukan apa-apa. Sekarang, main ke rumah tetangga untuk ngobrol sejenak pun membuat saya merasa bersalah. Rasanya, masih ada begitu banyak kegiatan dalam to-do list (daftar kegiatan atau pekerjaan) saya yang harus diselesaikan.
Belum lama ini, saya mengambil cuti dan mengunjungi rumah orang tua. Ternyata, kunjungan saya hanya seperti “pindah tempat kerja.” Alih-alih mengobrol banyak dengan mereka, saya malah menghabiskan waktu untuk mengerjakan simulasi aliran fluida dan laporan bulanan.
Apabila dibandingkan dengan situasi sebelum pandemi COVID-19, saya memang lebih suka skema kerja dari rumah dengan jam kerja yang lebih fleksibel. Sayangnya, fleksibilitas ini malah mengaburkan batas antara jam kerja dan di luar kerja. Komunikasi yang kini hanya dibatasi oleh ketersediaan kuota internet dan kelancaran jaringan, tanpa saya sadari, malah menjebloskan saya ke dalam kultur “always-on (selalu siaga).”
Kalau ditanya, “Jadi, kamu bekerja untuk hidup atau hidup untuk bekerja?” Maka jawaban saya adalah, “Hidup saya adalah kerja; saya sudah tidak bisa lagi memisahkan diri dengan pekerjaan.”
Rasanya, seakan diri saya kurang berharga apabila tidak produktif. Karena itu, saya juga sering membuat daftar pekerjaan harian yang melebihi kapasitas kinerja saya. Lalu ketika tidak berhasil menyelesaikan semuanya, saya akan merasa terpuruk. Untungnya, saya masih dalam taraf yang tetap mampu meluangkan waktu untuk bersantai. To-do list yang saya buat pun tidak sepadat jadwal harian James Chao dalam webtoon “Spells from Hell”.
Karena kebiasaan ini, saya jadi merasa senasib dengan tokoh utama drama Korea She Would Never Know (2021) yang digambarkan kecanduan bekerja. Kami sama-sama terjebak dalam hustle culture (budaya bekerja yang berlebihan). Meski begitu, sepertinya tokoh utama ini masih lebih beruntung apabila dibandingkan dengan saya.
She Would Never Know sendiri berkisah tentang Yoon Song-ah, seorang pekerja dalam tim pemasaran sebuah perusahaan kosmetik bernama KLAR. Banyak membahas dinamika kerja di perkantoran, drakor ini bercerita bagaimana hubungan romantis dengan teman sekantor bisa membawa lebih banyak mudarat (kesulitan) daripada manfaat. Umumnya. hubungan semacam ini memang dilakukan secara diam-diam. Bukan tanpa alasan; ada begitu banyak cara hubungan seperti ini bisa menimbulkan ketidaknyamanan, terutama apabila berakhir buruk.
Ada beberapa alasan yang membuat saya merasa, meski sama-sama terjebak di hustle culture, Yoon Song-ah tetap lebih beruntung dari saya. Pertama, tidak seperti saya, Yoon Song-ah tampaknya berada di tempat kerja yang tepat. Ia tampak sungguh menyukai pekerjaannya. Tak heran ia berdedikasi tinggi pada pekerjaan dan tempatnya bekerja. Yoon Song-ah percaya bahwa ia berada di tempat yang semestinya. Karena ini, ia berhasil menjadi pegawai berprestasi yang selama tiga tahun berturut-turut memenangkan kontes “New Product Suggestion (ide produk baru).”
Bagi Chae Hyun-seung, junior yang Yoon Song-ah bimbing, ia pun menjadi teladan yang tiada duanya dalam bekerja. Dalam sebuah wawancara setelah memenangkan kontes ide produk baru, Hyun-seung bahkan mengatakan bahwa hal terbaik yang ia temukan di perusahaan itu adalah seorang panutan. Keberadaan panutan ini membuatnya juga ingin menjadi panutan bagi juniornya kelak.
Kedua, Yoon Song-ah juga bekerja dalam sebuah tim yang saling mendukung dengan komunikasi yang terjalin dengan baik, bahkan dengan atasannya. Iklim pekerjaan di bidang penjualan dan pemasaran yang digambarkan di dalam drakor (singkatan untuk drama Korea) ini pun sangat dinamis. Suasana yang digambarkan mengingatkan saya akan dinamika kerja dalam drama Korea lain, seperti “Search:WWW” dan “Start-Up.”
Adegan-adegan ketika mereka mempresentasikan dan mendiskusikan berbagai inovasi produk membuat lingkungan kerja mereka tampak begitu dinamis. Selain itu, saya juga senang melihat bagaimana mereka menangani berbagai masalah, seperti saat Song-ah dan Hyun-seung menangani turunnya angka penjualan akibat video ulasan buruk yang viral (yang tidak disertai bukti maupun alasan masuk akal) atas produk mereka.
Ketiga, interior kantor Yoon Song-ah tampak begitu nyaman, seakan perusahaan begitu peduli untuk memenuhi kebutuhan karyawannya. Meskipun terdengar sepele, tentu wajar saya iri dengan tempat kerja dalam drakor ini. Bagaimana pun, kenyamanan merupakan faktor penting yang menentukan betah atau tidaknya seseorang untuk menetap di suatu tempat. Tapi saya kemudian bertanya-tanya, jangan-jangan kantor Yoon Song-ah memang sengaja dibuat senyaman mungkin agar para pegawai merasa betah untuk melakukan kerja lembur terus-menerus?
Tak hanya kualitas hasil yang kurang maksimal, durasi kerja yang berlebihan pun akan menyebabkan kelelahan atau rasa tertekan pada pekerja. Akibatnya, tingkat produktivitas mereka akan menurun. ~Frida Kurniawati Share on XDalam artikelnya di New York Times, Erin Griffith membahas hal serupa. Perusahaan-perusahaan besar seperti Google diketahui terus berusaha untuk mengaburkan batas antara rumah dengan tempat kerja. Usaha ini dilakukan dengan memperbolehkan pegawainya membawa anjing peliharaan ke kantor, menyediakan tempat untuk tidur siang, menambahkan fasilitas ping pong, dan banyak lainnya. Kalau betul begitu, mungkin ada untungnya juga kantor saya tidak mempraktekkan hal ini; mata karyawan jadi tidak terlalu tertutup oleh kenyamanan yang diberikan untuk mengkritik budaya kerja yang tidak lagi sehat.
Cara kerja yang berlebihan dan tidak lagi sehat lah yang membawa Yoon Song-ah ke titik di mana ia harus memilih antara karier dan hubungannya dengan Chae Hyun-seung, junior Yoon Song-ah yang kemudian menjadi pasangannya. Konflik ini terjadi karena Yoon Song-ah semakin terobsesi dengan pekerjaannya, meski hubungannya dengan pekerjaan tersebut tampak semakin tidak sehat. Setelah memutuskan untuk bergabung dengan tim di cabang Eropa, ia jadi semakin sibuk; Yoon Song-ah harus bekerja dua kali lebih keras untuk mempersiapkan peralihan pekerjaannya di tim KLAR Korea sambil mempersiapkan keberangkatannya ke Eropa. Bahkan, kencannya di akhir pekan pun harus terganggu karena tiba-tiba Manajernya, Choi, memintanya untuk datang ke kantor.
Kebiasaan bekerja tak kenal waktu ini semakin terasa parahnya ketika Yoon Song-ah bekerja di cabang KLAR di Eropa. Di sana, atasannya sering menghubungi Yoon Song-ah di luar jam kerja. Tak hanya di akhir pekan, saat mengambil cuti untuk bertemu dengan Hyun-seung pun, Song-ah tetap dipanggil untuk bekerja.
Bayangkan, bagaimana jika rencanamu untuk bertemu dengan pasangan, setelah lama menjalani hubungan jarak jauh, harus dibatalkan karena atasanmu tiba-tiba menyuruhmu melakukan perjalanan dinas? Sayangnya, hal ini terjadi tak hanya sekali. Masalah inilah yang dihadapi Song-ah ketika atasan barunya, Choi, menuntut bawahannya untuk lebih gila lagi bekerja. Sebagai bawahan, Song-ah enggan untuk menolak. Bagaimanapun, semua harus dilakukan demi pekerjaan.
Hal-hal seperti ini tampak begitu normal. Mungkin juga, ini terjadi karena para pekerja sudah terlanjur menghayati anggapan bahwa panjangnya jam kerja selalu berbanding lurus dengan tingkat produktivitas. Oleh sebab itu, mereka tidak banyak mempertanyakan tuntutan berlebihan atasan seperti Choi. Padahal, kenyataannya tidak selalu begitu.
Dalam jurnalnya yang diterbitkan tahun 2014 berjudul “The Productivity of Working Hours (Produktivitas dalam Jam Kerja),” Pencavel menemukan bahwa seseorang bisa mencapai hasil kerja ideal saat mereka bekerja di bawah durasi ideal 48 jam per minggu. Sementara, apabila seseorang bekerja melebihi 48 jam per minggu, maka hasil yang dicapai akan kurang maksimal.
WHO telah mengantisipasi meningkatnya budaya bekerja berlebihan ini dengan memasukkan burn-out sebagai fenomena terkait pekerjaan. Sayang, tampaknya banyak perusahaan yang belum menganggap serius fenomena burn-out. ~Frida Kurniawati Share on XTak hanya kualitas hasil yang kurang maksimal, durasi kerja yang berlebihan pun akan menyebabkan kelelahan atau rasa tertekan pada pekerja. Akibatnya, tingkat produktivitas mereka akan menurun. Selain itu, bekerja berlebihan juga dapat meningkatkan kemungkinan kecelakaan atau sakit akibat bekerja.
Apabila kultur kerja seperti ini diteruskan, lama-lama burn-out akan semakin sering terjadi. Kasus burn-out yang meningkat bisa saja membuatnya tampak sebagai sesuatu yang wajar dan tidak lagi memprihatinkan. Padahal, pada tahun 2019, WHO telah mengantisipasi meningkatnya budaya bekerja berlebihan ini dengan memasukkan burn-out sebagai fenomena terkait pekerjaan ke dalam revisi ke-11 Klasifikasi Internasional atas Penyakit (ICD-11). Sayang, tampaknya banyak perusahaan yang belum menganggap serius fenomena burn-out.
Tak dapat dipungkiri, rasa iri dan kekaguman saya terhadap lingkungan kerja Song-ah tersebut perlahan bergeser jadi kerutan di dahi. Ekspektasi seorang atasan agar pegawai terbaiknya dapat berkontribusi secara maksimal lama-lama justru menjadi kewajiban yang harus dipenuhi tanpa mempertimbangkan kesejahteraan pegawai. Akibatnya, Song-ah terjebak dalam siklus urgensi kerja tanpa akhir, yang harus dibayar dengan putusnya hubungan dengan orang terkasih. Selain itu, kultur kerja berlebih ini juga membuat Song-ah tak punya teman dari luar lingkaran rekan kerjanya, selain Kim Ga-yeong yang merupakan sahabat sekaligus kawan serumahnya.
Haruskah kita membiarkan diri terjebak dalam pusaran hustle culture sampai sejauh itu? Apalagi, dalam drakor ini, tampaknya kompensasi yang didapatkan Song-ah tak sebanding dengan kerja keras dan pengorbanannya. Kompensasi yang secara eksplisit ditunjukkan di sini hanyalah kenaikan jabatan menjadi general manager (manajer umum) yang ia dapatkan setelah tiga tahun bekerja di cabang Eropa.
Saya sempat mengira bahwa sepulang dari Eropa, ia akan pindah ke tempat tinggal baru. Sebuah rumah mewah, misalnya. Ternyata, ia tetap ngekos di tempat lama bareng sahabatnya. Oke, saya pikir, mungkin ia masih ingin menabung dan sudah terlanjur nyaman dengan tempat tinggalnya sekarang? Atau jangan-jangan, selama ini ia hanya bekerja untuk memperkaya si pemilik perusahaan?
Awalnya, alasan saya menonton drakor ini hanyalah karena Ro-woon, pemain utamanya yang juga merupakan seorang penyanyi di group SF-9. Namun, terlepas dari masalah percintaannya ternyata drakor ini berhasil merefleksikan realita kehidupan sosial-ekonomi masa kini dengan cukup akurat.
Karakter-karakter di drakor ini juga merasakan realitas masa kini di mana kegiatan yang dianggap berharga adalah yang memiliki nilai ekonomi. Sebaliknya, pekerjaan domestik dan kegiatan-kegiatan yang tidak memiliki nilai ekonomi seperti kegiatan self-care (merawat diri), rekreasi untuk mencari inspirasi, atau bahkan beristirahat, dipersepsikan sebagai kegiatan yang “buang-buang waktu.” Inilah realitas di mana hustle culture dipuja-puja. Bahkan, budaya ini dengan aktif dipromosikan oleh para kapitalis seperti Elon Musk, yang berkoar-koar di media sosialnya bagaimana “tak ada orang yang mampu mengubah dunia dengan bekerja hanya 40 jam seminggu,” dan bagaimana jika ingin mengubah dunia, seseorang harus bekerja “80 jam, atau di atas 100 jam seminggu di waktu-waktu tertentu.”
Frida Kurniawati adalah seorang pembaca buku dan aktivis medsos yang sedang hobi membaca webtoon dan nonton drama Korea. Sesekali membagikan karya digital lewat Instagram @kimfricung.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini