Biarkanlah Anak Bermimpi!: Menyingkap Makna Keluarga

Tangan anak dengan care giver

Ide Utama

Keluarga merupakan unit sosial paling kecil di masyarakat yang terbentuk berkat sebuah ikatan, entah itu ikatan pernikahan, hubungan darah, adopsi anak ataupun ikatan lainnya.

Sebagai pranata sosial paling dasar, keluarga memiliki fungsi untuk membentuk kepribadian individu, terutama anak. Kita pun sering menjumpai karakter dan kepribadian anak di lingkungan sosial yang biasanya merupakan buah dari pengaruh  interaksinya di dalam keluarga. Dengan kata lain, keluarga serupa mesin fotokopi yang mencerminkan kehidupan sosial anak. 

Orang tua menjadi aktor penting dan, secara langsung, berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak. Pola-pola relasi antara orang tua dan anak bersifat saling memengaruhi (bipolar), seperti toleran-intoleran (tolerance-intolerance), terbuka-ketat (permissive-strictness), terlibat-acuh (involvement-detachment), dan hangat-dingin (warmth-coldness).

Keluarga dan Kepelbagaiannya

Sayangnya, tidak semua keluarga menjalankan fungsinya sebagai sistem yang mendukung tumbuh kembang anak secara positif. Keluarga dengan karakter orang tua yang mengekang misalnya, seringkali menuntut anak untuk mengikuti kehendak dan keinginan orang tua. Dalam bukunya Child Development, praktisi perkembangan anak Elizabeth B. Hurloch juga menekankan bahwa anak akan menjadi penakut dan mudah merasa tertekan apabila mengalami pengekangan secara terus menerus. Orang tua dengan karakter semacam itu juga bisa menghambat anak untuk mengoptimalkan potensi terbaik dirinya. Dengan kata lain, anak ‘hanya’ akan mencapai level diri tertentu berdasarkan imajinasi orang tua terhadapnya.

Sejenak, mari kita berandai-andai. Ada seorang anak yang berimajinasi menjadi astronot, pemain sepak bola, dan musisi terkenal. Sedihnya, banyak orang tua menganggap profesi itu terlalu jauh di awang-awang dan tidak menjanjikan jaminan penghidupan. Mereka pun memaksa anak-anaknya merekonstruksi ulang mimpi tersebut sesuai kerangka imajinasi orang tua. Mereka menganggap upaya itu dilakukan demi kebaikan sang anak, walau harus memupus mimpi anak dan menjadikan anak sekadar objek pemuas hasrat. Anak itu kemudian tumbuh dalam hubungan yang dipenuhi kesedihan dan penyesalan panjang. 

Bagi anak perempuan, kuatnya budaya patriarki membuat interaksi mereka di lingkungan keluarga menjadi semakin runyam. Mereka menghadapi berbagai ekspektasi yang menyulitkannya mencapai kehidupan yang benar-benar mereka harapkan. Semisal, mereka didorong menjadi individu yang patuh, sopan, dan tidak membangkang pada orang tua. Mereka juga diharapkan memiliki hobi dan kebiasaan khas anak perempuan (memasak dan menjahit, misalnya), bekerja di sektor-sektor yang stabil dan tidak terlalu maskulin (misalnya, menjadi Aparatur Sipil Negara), dan menikah sebelum berusia 30 tahun.

Memasuki Pemikiran Freud dan Lacan

Membicarakan hubungan anak dan keluarga dapat dimulai dengan membincang konsep oedipus complex, salah satu tahap psikoseksual yang dikembangkan oleh ahli psikoanalisis asal Eropa, Sigmund Freud, dalam bukunya The Interpretation of Dreams. Freud membagi perkembangan psikoseksual anak menjadi beberapa tahap, seperti lisan (menggunakan mulut untuk merasakan kepuasan), anal (mengontrol sensasi buang air besar), falik (mulai memiliki hasrat seksual pada lawan jenis), laten (hasrat seksual pada lawan jenis menguat secara pasif), dan genital (masa pubertas dan muncul hasrat seksual yang aktif).  

Pada tahap perkembangan itu, Freud juga menjelaskan bahwa anak memiliki ketertarikan pada ibu dan menganggap sang ayah sebagai pesaing yang akan merebut kasih sayang ibu. Dalam bahasa lain, Freud menggambarkan bahwa perkembangan anak di tahap ini  sangat kuat dengan sikap terikat secara berlebihan pada sosok ibu. Di fase itu pula, Freud menekankan bahwa anak selalu memiliki kelekatan dengan salah satu sosok orang tua, sehingga terbentuklah sikap intim, patuh, dan terikat. Fase ini membantu menjelaskan kenyataan hubungan antara anak dan orang tua yang saling terikat dan, tidak jarang, menjadi pintu masuk bagi orang tua untuk mengontrol kehidupan anak secara berlebihan. 

Mengkritik gagasan Freud tentang oedipus complex Jacques Lacan, psikoanalis asal Prancis, mentransformasi pemikiran Freud yang dianggapnya hanya berpusat pada insting seksual. Bagi Lacan, tahapan psikoseksual itu merupakan sebuah “hasrat” yang tidak hanya melibatkan masalah seksualitas, melainkan juga mencakup segala hal terkait pemenuhan keinginan diri. Hasrat yang tidak terpenuhi secara maksimal akan mendorong individu mencari hasrat-hasrat baru, yaitu hasrat simbolis terhadap ibu maupun sesuatu yang dihasrati oleh ibu, seperti mimpi, harapan, dan imajinasi. 

Fase itu menunjukkan bahwa anak memiliki keterikatan, kepatuhan, dan ketundukan pada orang tua, utamanya kepada ibu. Hal itu kerap kali memenjarakan dan memaksa anak untuk mencapai pemenuhan keinginan dirinya dengan menyandarkannya pada ekspektasi ibu. Anak, dengan begitu, bukanlah subjek yang benar-benar bebas dan otonom.

Deleuze dan Guattari: Revolusi Hasrat

Logika oedipus ala Freud maupun gagasan soal hasrat ala Lacan lalu dikritik oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari, dua ahli psikoanalisis lain asal Prancis. Dalam bukunya Anti Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, Deleuze dan Guttari dengan tegas mengatakan kalau individu perlu lepas dari model oedipus yang cenderung memenjarakan. Bagi keduanya, sistem oedipus memang melanggengkan ikatan bapak-ibu-anak, bahkan dari generasi ke generasi, dan sulit membuatnya saling terlepas. Itulah sebabnya, berkaitan dengan hubungan anak dan keluarga, model itu memunculkan sikap kontrol berlebihan, bahkan cenderung otoriter. 

Alternatifnya, Deleuze dan Guattari menawarkan gagasan “revolusi hasrat” yang mereka pandang sebagai upaya untuk membiarkan hasrat individu berkeliaran secara bebas dan melepaskan subjek dari ikatan oedipal. Keduanya memberikan ilustrasi tentang seorang pasien di rumah sakit jiwa yang lebih memilih berkeliaran di jalanan daripada hanya terbaring di ranjang. 

Menuntut dan memaksa anak menjadi sosok yang diidam-idamkan orang tua justru akan mereduksi potensi anak dan memenjarakan mereka dalam rasa bersalah yang berkepanjangan ~ Anselmus A.Y Barung Share on X

Revolusi hasrat juga merupakan bentuk penolakan Deleuze dan Guattari pada model oedipus yang cenderung memandang segala sesuatu secara universal. Di dunia yang sudah terfragmentasi sedemikian rupa, baik secara wilayah maupun latar kehidupan masyarakat yang berbeda-beda, tidak relevan lagi rasanya kalau kita melihat sesuatu dengan cara-cara lama ataupun memimpikan perubahan sosial berskala besar. Dipengaruhi tradisi berpikir posmodern dan postrukturalisme, Deleuze dan Guttari menyebut mereka sebagai “orang-orang yang miskin hasrat”.

Kembali pada persoalan hubungan anak dan keluarga, meminjam ide Deleuze dan Guattari, orang tua perlu membiarkan hasrat anak bebas berkeliaran kemana-mana. Mereka memiliki mimpi, selera, dan ambisi yang bermacam-macam dan sering kali berbeda dengan ekspektasi orang tua. Menuntut dan memaksa anak menjadi sosok yang diidam-idamkan orang tua justru akan mereduksi potensi anak dan memenjarakan mereka dalam rasa bersalah yang berkepanjangan. 


Anselmus A.Y Barung, atau biasa disapa Ino, sedang menjalani studi S2 Program Studi Sosiologi di Universitas Gadjah Mada. Ia pernah berkarir sebagai seorang pekerja sosial di sebuah NGO yang bergerak dalam bidang advokasi dan pemberdayaan masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Ino memiliki hobi menulis dan melakukan penelitian.

Siapa pun bisa punya pengalaman, pemikiran, dan gagasan. Kirim dulu pikiranmu, overthinking belakangan.