18 Tahun Lumpur Lapindo: Pentingnya Mengakui Ecocide
June 25, 2024Melihat Dunia dari Kacamata Merah Muda
July 4, 2024Photo by Dominik Vanyi on Unsplash
OPINI
Bicara Tri Hita Karana di Bibir Lubang Tambang
oleh Teddy Chrisprimanata Putra
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 memberikan karpet merah kepada ormas (organisasi masyarakat) keagamaan untuk memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Pada akhirnya, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), majelis tertinggi agama Hindu di Indonesia, ikut memberi dukungan pada kebijakan kontroversial Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo tersebut.
Respon PHDI sejatinya tidak terlalu mengherankan, mengingat kuatnya dorongan dari sebagian besar anggota PHDI se-Indonesia untuk menerima tawaran itu. Situasinya semakin mendukung, karena ormas keagamaan, khususnya PHDI, masih terlalu bergantung secara finansial kepada para donatur. Terlibat dalam urusan tambang dinilai bisa jadi cara untuk menstabilkan keuangan mereka.
Dalam sejarahnya, PHDI memang lahir dengan semangat untuk ngayah yang berarti bekerja tulus ikhlas untuk menuntun dan membimbing umat mencapai kesejahteraan lahir batin dan mewujudkan kebahagiaan umat. Mereka berpegang teguh pada filosofi Tri Hita Karana yang menekankan keharmonisan hidup antar-sesama manusia dan lingkungan sekitar. Dalam kenyataannya, kerja-kerja kolektif tersebut tetap membutuhkan biaya, apalagi umat Hindu tersebar di banyak wilayah di Indonesia. Memperoleh izin melakukan operasi tambang sudah tentu menjadi tawaran yang menggiurkan.
Kooptasi Rezim Kekuasaan
Dalam lanskap sosial politik Indonesia, ormas keagamaan adalah kelompok penting dan strategis, mengingat peran mereka sangatlah besar dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa, bahkan sebelum Indonesia tiba di pintu gerbang kemerdekaan. Selain itu, ormas keagamaan juga memiliki pengikut yang terbilang tidak sedikit. Berangkat dari hal tersebut, menjadi masuk akal bila timbul dugaan bahwa kebijakan terbaru Jokowi itu sarat akan kepentingan politik.
Banyak yang percaya bahwa langkah melibatkan ormas keagamaan dalam aktivitas tambang adalah upaya pemerintah untuk memperkuat otot-otot kekuasaan di luar pemerintahan. Juga, hal itu menjadi penting bagi pemerintah untuk menanamkan pengaruh politik kepada ormas keagamaan, sekaligus untuk menjamin keberlangsungan agenda-agenda besar politik Jokowi, salah satunya adalah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Dukungan yang diberikan oleh ormas keagamaan kepada pemerintah, secara tidak langsung, menjadi bentuk validasi terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan. Pemberian kemudahan akses operasi tambang kepada ormas keagamaan, oleh sebagian besar publik, diduga kuat adalah bagian dari ungkapan “terima kasih” pemerintah.
Langkah melibatkan ormas keagamaan dalam aktivitas tambang adalah upaya pemerintah untuk memperkuat otot-otot kekuasaan di luar pemerintahan ~ Teddy Chrisprimanata Putra Share on XAlih-alih menguatkan independensi ormas keagamaan, karpet merah yang disediakan pemerintah dalam mengakses operasi pertambangan justru merongrong independensi ormas keagamaan. Kebijakan ini berpotensi menjebak ormas keagamaan ke dalam relasi patron-klien. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa fasilitas yang diberikan oleh pemerintah (baca: patron) harus dibayar mahal oleh ormas keagamaan (baca: klien) dalam bentuk pemberian dukungan pada seluruh kebijakan sang patron.
Kehadiran ormas keagamaan di tengah industri ekstraktif pertambangan juga memperbesar potensi keterlibatan mereka ke dalam konflik-konflik horizontal yang melibatkan warga lokal dan korporasi serta berkontribusi menghancurkan lingkungan.
Lalu, muncul pertanyaan: etiskah PHDI menjadi bagian langsung dari konflik dan kerusakan tersebut?
Potensi PHDI Terjebak dalam Pusaran Konflik
Apabila secara kelembagaan PHDI benar-benar menerima tawaran itu, maka majelis tertinggi umat Hindu harus berhadapan dengan pelbagai potensi konflik. Usaha ekstraktif pertambangan dikenal sebagai aktivitas yang penuh dengan tantangan dan kerap menyulut potensi konflik, seperti yang terkait dengan lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa aktivitas pertambangan selalu menimbulkan masalah lingkungan. Penggundulan hutan, turunnya kualitas udara, dan terbengkalainya lubang sisa aktivitas pertambangan adalah tiga dari sekian banyak masalah lingkungan yang ditimbulkannya. Terlalu banyak korban jiwa akibat sisa-sisa lubang tambang yang ditinggalkan tidak diuruk dengan rasa penuh tanggung jawab. Perbaikan kualitas kawasan tambang seolah menjadi hal yang tidak penting lagi setelah mineralnya ludes dieksploitasi. Situasi itu tentu mengancam kelangsungan hidup warga sekitar.
Potensi terjadinya konflik horizontal juga sulit untuk dihindari. Aktivitas pertambangan yang bersinggungan langsung dengan kehidupan warga sekitar berpotensi menimbulkan perubahan pada aspek sosial dan budaya masyarakat. PHDI dan pelaku tambang bisa saja berkontribusi menyulut konflik yang menimbulkan korban jiwa apabila tidak memiliki pemahaman yang mumpuni tentang aspek tersebut.
Meski dianggap telah memberikan kontribusi yang besar pada pertumbuhan ekonomi, nyatanya, keuntungan ekonomi sektor pertambangan terkonsentrasi di tangan segelintir elit. Potensi lahirnya elit-elit baru di dalam tubuh PHDI berpotensi memantik lahirnya konflik baru. Alih-alih keuntungan terdistribusi secara merata kepada umat, potensi salah urus dengan munculnya kantong-kantong baru yang siap menampung keuntungan dari usaha tambang menjadi ancaman yang tidak bisa dianggap remeh.
Sebagai majelis tertinggi yang selalu menghidupkan semangat ngayah dalam rangka memajukan kehidupan umat Hindu di Indonesia, tanpa mengejar keuntungan finansial, PHDI berpotensi bertemu dengan sebuah kontradiksi yang pasti akan menuntut penjelasan yang tuntas. Apabila PHDI tidak menemukan formula untuk mengurai kontradiksi tersebut, maka taruhannya sungguh besar, yakni integritas PHDI secara kelembagaan di mata umat Hindu se-Indonesia akan dipertaruhkan.
Rentetan potensi konflik tersebut dapat meruntuhkan nama baik PHDI sebagai majelis yang menuntun umat ke jalan kebenaran. Kepercayaan umat terhadap PHDI berpotensi luruh bersamaan dengan risiko salah urus tambang.
Persoalan itu juga menyulut satu pertanyaan penting: akankah keseimbangan hidup berdasar Tri Hita Karana dapat terwujud, di saat majelis tertingginya dengan sadar menodai tangannya ke dalam kubangan tambang?
Teddy Chrisprimanata Putra adalah Sekretaris Jenderal PP KMHDI dan baru saja meluluskan studi S2 di program studi Ilmu Politik Universitas Nasional. Ia tertarik pada isu politik, demokrasi, dan kepemiluan.
Artikel Terkait
Kapitalisme dan Kerusakan Lingkungan: Ironi Pembangunan yang Berkelanjutan
Kapitalisme disebut sebagai alasan besar rusaknya lingkungan. Artikel ini membahas apa yang sebetulnya terjadi dalam sistem yang dianggap mendorong produktivitas dan pertumbuhan tersebut. Bisakah kita punya ekonomi yang maju tanpa mengorbankan bumi?Pembangunan tanpa Gerakan Perlawanan
Tahun 2019 yang lalu, saya melakukan penelitian lapangan di Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini mengkaji hegemoni dan kekuasaan (power) dalam proyek pembangunan mega-industri Global Hub.Selamat Hari Bumi!
Secara fisik, hampir semua orang menghabiskan seluruh hidupnya di bumi. Seluruh siklus kehidupan manusia juga terjadi di bumi. Jadi, siapa yang benar-benar merayakan Hari Bumi?