Berita AI di Indonesia: Jurnalis Cenderung Memihak Bisnis dan Tidak Seimbang
December 22, 2024Photo by Antoine Pluss on Unsplash
OPINI
Yang Tersilap dalam Senyap: Urbanisasi dan Romantisisasi Desa
oleh Iqbal Abizars
Desa di Indonesia—atau bahkan di dunia—memiliki citra yang paradoksial (bertolak belakang).
Sebagai ruang hidup dan komunitas sosial, status ‘tertinggal’ begitu melekat pada desa, seolah keduanya adalah pasangan alamiah yang tak bisa dipisahkan. Konsekuensinya ialah desa selalu dianggap pantas untuk ditinggalkan. Arus urbanisasi menderu, gelombang perpindahan warga dari desa ke kota tak dapat dibendung.
Namun, secara aneh, desa juga lekat dengan citra damai. Kehidupan desa sering digambarkan sebagai kehidupan yang harmonis, baik karena manusianya maupun alamnya. Warganet yang disuapi konten-konten bertemakan healing (lepas dari hiruk pikuk kepenatan) dan chilling (bersantai) dengan latar keindahan alam, berduyun-duyun memadati desa tiap hari libur. Romantisisasi telah mengubah selera dan cara pandang masyarakat terhadap desa.
Desa menjadi ruang yang unik untuk ditelisik. Oleh warganya sendiri, desa dianggap masa lalu yang tak mampu memberi secercah harapan. Namun, kelompok sosial di luar desa justru mengimajinasikannya sebagai rumah ideal untuk masa depan.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Arus Urbanisasi yang Melahirkan Rentetan Masalah
Urbanisasi seakan sudah menjadi tradisi yang mapan di Indonesia dari masa ke masa. Menurut perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan. Angkanya mencapai 56,7% pada 2020 dan diprediksi akan terus melonjak pada tahun-tahun setelahnya. World Bank turut memprakirakan sebanyak 220 juta penduduk Indonesia akan berjejal di perkotaan pada 2045.
Penulis dan futurolog (ahli futurologi/ilmu yang mempelajari tentang masa depan) asal Amerika, Alvin Toffler, melalui bukunya Future Shock yang terbit perdana pada 1970, telah meramalkan akan ada banyak manusia yang dapat bekerja di daerah terpencil (remote area), tetapi tetap terhubung secara global karena kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Pandemi Covid-19 yang mewabah pada 2020 telah menjadi katalisator bagi ramalan Toffler tersebut. Metode Work From Anywhere (bekerja dari mana saja) telah menubuh dalam kebiasaan bekerja masyarakat pasca-pandemi. Jenis pekerjaan tertentu memang bisa dilakukan di mana saja, tanpa harus bermigrasi ke kota, selama ada gawai, listrik, dan internet yang memadai. Urbanisasi pun terhenti, bahkan deurbanisasi terjadi.
Namun, pandemi bukanlah ‘solusi’ yang bersifat struktural. Segera setelah pandemi mereda, new normal (kenormalan baru) kembali diterapkan. Pandemi hanya bisa mencegah urbanisasi dan mendorong deurbanisasi untuk sementara waktu saja.
Urbanisasi tetap saja diminati karena dianggap mampu menjanjikan penghidupan yang lebih baik. Ada banyak faktor yang jadi penyebab urbanisasi. Faktor tersebut bisa dibagi menjadi dua, yaitu faktor pendorong dari desa dan faktor penarik dari kota. Apa yang tak bisa didapatkan di desa akan mendorong warganya untuk melakukan pencarian ke kota. Sebaliknya, kota menawarkan beragam pilihan ‘menarik’ bagi warga desa untuk memiliki hidup yang lebih berkualitas dari sisi akses kesehatan, pendidikan, dan lapangan pekerjaan.
Urbanisasi begitu memikat hati karena ada banyak hal mendasar yang hilang dari banyak desa di Indonesia, seperti kesejahteraan, lapangan kerja dengan upah layak, serta akses ke fasilitas pendidikan dan kesehatan yang bermutu. Di sisi lain, kota berhasil memikat hati orang-orang perdesaan dengan menawarkan segala sesuatu yang tidak ada di desa tadi. Melalui berbagai saluran, seperti media cetak, media sosial, media televisi (sinetron dan iklan), serta cerita dari para perantau yang telah lebih dahulu berhasil, kehidupan kota yang digambarkan serba gilang-gemilang telah menjadi impian bagi orang-orang perdesaan tentang makna hidup ‘layak’.
Tak semua urbanisasi berhasil. Tak sedikit masyarakat miskin perdesaan yang berganti status sosial menjadi masyarakat miskin perkotaan. Miskinnya tetap sama, hanya ruang hidupnya yang berubah. Hal ini tentu terjadi karena kota punya kapasitas terbatas untuk mengakomodasi segala kebutuhan kaum urban yang jumlahnya melimpah ruah.
Selain itu, sekolah—atau lebih tepatnya kurikulum pendidikan—juga punya peran penting dalam mendorong urbanisasi. Sekolah telah mengajarkan ilmu pergi. Tokoh pemikir dan pegiat pendidikan alternatif, seperti Toto Rahardjo dan Diah Widuretno, secara apik mengkritisi kurikulum pendidikan formal di Indonesia yang tidak kontekstual dengan latar belakang sosial para peserta didik yang beragam. Sekolah, pada saat ini, diarahkan untuk mencetak manusia siap kerja, sedangkan pekerjaan-pekerjaan itu mensyaratkan masyarakat untuk berurbanisasi. Siswa sekolah makin dijauhkan dari imajinasi untuk bisa hidup berdaya di desa.
Para orang tua di desa pun membanting tulang agar anaknya dapat bersekolah setinggi mungkin demi punya pekerjaan dengan upah layak di kota, bukan agar anaknya kembali ke desa membawa pembaruan bagi nasib masyarakat. Para orang tua tersebut tak bisa sepenuhnya disalahkan. Harapan mereka sederhana: tak ingin anak-anaknya terjerat penderitaan di desa yang serba kekurangan, sebagaimana orang tuanya.
Dalam kadar tertentu, urbanisasi memang bisa menjadi solusi bagi individu dan keluarga. Banyak sosok dari desa yang kemudian berhasil menaikkan taraf kesejahteraan hidupnya dengan merantau ke kota. Urbanisasi memberi kesempatan bagi banyak orang untuk melakukan mobilitas sosial, yaitu perpindahan status sosial dari satu kedudukan ke kedudukan lain yang lebih tinggi dalam suatu stratifikasi sosial.
Namun, urbanisasi tidak bisa menjadi solusi bagi desa dalam konteksnya sebagai ruang hidup dan kelompok sosial. Desa telah kehilangan banyak sumber daya manusia (SDM) yang unggul akibat urbanisasi. Karena para SDM unggulnya—terutama para sarjana—banyak yang memilih bermukim dan berkarya di kota, desa didominasi oleh para orang tua yang tidak produktif dan orang usia produktif dengan rata-rata lama sekolah yang pendek.
Tanpa kehadiran manusia-manusia yang ahli dan terampil, pembangunan di desa menjadi mandek. Masalah-masalah di desa yang berpotensi bisa dikurangi—jika menyelesaikannya dianggap mustahil—oleh kaum muda desa yang telah mengenyam pendidikan tinggi, justru masalah-masalah itu terlantar, tumbuh liar, dan beranak pinak. Fenomena ini melahirkan siklus tanpa henti: desa yang tertinggal – desa yang ditinggalkan – desa yang masih tertinggal untuk terus ditinggalkan. Berpuluh-puluh tahun semenjak Indonesia merdeka, masyarakat perdesaan terus menerus memanen buah simalakama bernama urbanisasi: solusi dari masalah yang melahirkan masalah lainnya.
Romantisisasi: Akar Permasalahan Desa
Siapa saja yang memiliki akun media sosial, seperti Instagram dan TikTok, pasti tidak kesulitan untuk menjumpai konten healing dan chilling berlatar keindahan alam di desa. Banyak dari konten tersebut yang menjadi trending (populer) dan dijadikan rujukan oleh para warganet untuk menyusun senarai tempat wisata yang kelak dikunjungi. Wisata alam, tempat makan, pesanggrahan, dan sanggraloka di desa, kesemuanya begitu tampil memikat hati ketika disantap mata dari layar gawai. Kata kunci yang sering dipakai pada konten semacam itu tak jauh dari asri, damai, sejuk, tenteram, dan murah.
Konon, sejarah memiliki kecenderungan untuk terulang. Barangkali, fenomena meromantisisasi desa secara digital tersebut adalah pengulangan dari Mooi Indie (Hindia Molek), sebuah gaya lukis yang pernah berkembang di Hindia Belanda. Oleh gaya tersebut, desa dan alamnya selalu ditampilkan dengan penuh kemolekan.
Kemolekan itu membuat desa menawarkan daya tarik tersendiri bagi warga kota yang memiliki beban kesehatan mental yang membuat mereka menjadi lebih rentan terkena stres. Pangkal masalahnya beragam, misalnya mereka kerap berhadapan dengan macet dan kehidupan di perkotaan yang serba kompetitif. Wisata menjadi salah satu cara koping stres yang bisa mereka pilih.
Pilihan berwisata ke daerah rural cukup digandrungi oleh warga kota. Buktinya, kita tak asing dengan kabar kemacetan di Puncak dan Yogyakarta yang dipadati wisatawan setiap musim libur. Desa dan alamnya memiliki kesan eksotis tersendiri bagi warga kota yang selama ini tak bisa mereka temukan dalam keseharian. Kesan itulah yang melahirkan romantisisasi oleh warga kota: sesuatu atau pengalaman yang begitu mereka nikmati, tetapi tak dapat mereka miliki atau jumpai dalam kesehariannya di perkotaan. Bukan tidak mungkin, hal itu lambat-laun menimbulkan hasrat ingin mendapatkan pengalaman yang serupa di kemudian hari. Contohnya adalah menikmati gudeg yang murah dan nikmat, dilanjutkan dengan menyesap kopi sembari menghidu udara segar pegunungan yang minim polusi.
Romantisisasi desa pun berkembang menjadi ide untuk hidup menetap di daerah rural. Gaya hidup slow living (memperlambat ritme kehidupan) yang kerap diasosiasikan dengan hidup di desa—beserta atributnya, seperti berkebun dan bertani—mulai banyak dipromosikan karena hidup di kota dianggap sangat melelahkan. Desa diimajinasikan sebagai ruang hidup ideal karena biaya hidup yang murah, ketersediaan lahan dan properti dengan harga terjangkau, dan akses ke air, udara, serta pangan yang dianggap lebih sehat daripada kota. Kehidupan yang seimbang benar-benar telah menjadi impian bagi banyak warga kota. Impian tersebut terbuka lebar jika dikaitkan dengan ramalan Alvin Toffler sebagaimana telah dijelaskan di atas. ‘Bekerja dengan upah kota, tetapi hidup sejahtera di desa’ menjadi tren yang tak terelakkan. Dalam skala kecil, deurbanisasi telah terjadi.
Romantisasi bukan Solusi
Di permukaan, romantisisasi memang membawa pembaruan atas nama kemajuan bagi desa. Salah satu sektor yang senantiasa dielu-elukan adalah pariwisata yang membuka kesempatan kerja bagi warga desa. Pemerintah pun ikut mendorong upaya pembangunan di sektor tersebut untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat perdesaan.
Namun, romantisisasi justru berpotensi mengaburkan inti masalah desa karena yang dilihat dari permukaan sebatas pada hal-hal yang bagus saja. Desa memang perlu dipandang juga dari segi potensinya supaya tak melulu pesimis, tapi bukan berarti masalahnya diabaikan karena justru tak akan membawa perbaikan. Cara untuk menyelesaikan masalah adalah dengan mengakui terlebih dahulu bahwa masalah itu ada.
Pembangunan desa haruslah klop dengan masalah yang diderita masyarakatnya. Pun harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Hal ini bertujuan agar masyarakat bisa meningkatkan kapasitas dan kualitas hidupnya. Jangan sampai, pembangunan yang digadang-gadang sebagai solusi justru meminggirkan masyarakat desa, membuat mereka menjadi penonton, atau yang paling parah menjadikan masyarakat desa sebagai sapi perah belaka.
Desa memang perlu dipandang juga dari segi potensinya supaya tak melulu pesimis, tapi bukan berarti masalahnya diabaikan karena justru tak akan membawa perbaikan. ~ Iqbal Abizars Share on XRomantisisasi desa di beberapa tempat sebenarnya telah nyata membawa peringatan. Dieng adalah contohnya. Kawasan yang telah berstatus sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) tersebut kini sedang menghadapi berbagai masalah. Dieng yang termasyhur karena alamnya yang jelita sehingga mampu memikat para wisatawan untuk datang, kini dihadapkan pada ancaman kerusakan lingkungan. Kekeringan saat kemarau dan longsor saat penghujan benar-benar menimbulkan nestapa bagi penduduknya. Bencana tersebut disebabkan oleh pembangunan tempat wisata dan penginapan—yang tak sedikit dimiliki oleh investor cum spekulan tanah dari luar daerah—yang masif.
Overtourism (wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah melebihi daya tampung) seperti yang terjadi di Bali tengah mengintai banyak desa di Indonesia. Deurbanisasi juga harus diperhatikan. Motif orang yang melakukan perpindahan dari kota ke desa harus dibedah: apakah hanya memandang desa sebagai objek untuk diperah demi keuntungan?
Segala yang berlebihan memang merusak. Begitu pula urbanisasi dan romantisisasi desa. Kita perlu punya pemahaman baru dalam memandang relasi desa dengan kota. Idealnya, tak ada yang saling menghegemoni, melainkan saling harmoni untuk kehidupan manusia yang lebih baik.
Iqbal Abizars adalah penulis lepas dan petani dari lereng Gunung Sumbing, Temanggung. Agraria, pangan, pertanian, dan ekonomi kerakyatan adalah isu-isu yang menjadi perhatian utamanya. Abizars juga menekuni kepenulisan fiksi-sejarah. Ia bisa disapa di @idabizars (Instagram & X)
Artikel Terkait
Memahami Krisis Lingkungan dari Lensa Feminist Political Ecology
Lensa FPE bisa menjadi jendela dan jembatan yang dapat kita gunakan untuk melihat persoalan lingkungan secara lebih kompleks dan tidak sederhana dengan menempatkan gender sebagai sumbu kritis dan variable politis.Pembangunan dan Penanggulangan Bencana
Widya Setiabudi sudah lama bekerja di bidang humanitarian dan kebencanaan. Di Catatan Pinggir ini, Widya menuliskan pentingnya pembangunan yang layak dan pengelolaan risiko bencana atas dampak dari pembangunan itu sendiri.Kapitalisme dan Kerusakan Lingkungan: Ironi Pembangunan yang Berkelanjutan
Kapitalisme disebut sebagai alasan besar rusaknya lingkungan. Artikel ini membahas apa yang sebetulnya terjadi dalam sistem yang dianggap mendorong produktivitas dan pertumbuhan tersebut. Bisakah kita punya ekonomi yang maju tanpa mengorbankan bumi?