Ketika Nakes Melawan dan Alasan Perlunya Menunda RUU Kesehatan
June 30, 2023Lagu Lawas dan Harmoni Antargenerasi
July 14, 2023Photo by Mari Vlassi on Unsplash
OPINI
Urbanisme Gay di Kota Besar: Jakarta sebagai Gay Community Zone
oleh Wisnu Adihartono
Di kota besar Indonesia seperti Jakarta, kelompok gay lebih terbuka mengekspresikan diri karena karakter masyarakatnya yang relatif toleran dan ditunjang oleh beragam fasilitas untuk mendukung berbagai kegiatan. Apa yang menyebabkan fenomena ini?
Sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, dengan total jumlah penduduk lebih dari 5 juta jiwa, Jakarta punya potensi ekonomi, wisata dan budaya yang menjanjikan banyak peluang dan kesempatan. Tidak heran kalau ada banyak orang bermigrasi ke Jakarta dan menjadikan Jakarta sebagai tempat mengadu nasib.
Tidak terkecuali bagi kelompok gay, kota metropolitan seperti Jakarta menawarkan ruang untuk menunjukkan eksistensi mereka secara lebih leluasa. Hal itu cenderung sulit mereka lakukan di tempat asal yang justru membuat mereka semakin kebingungan dengan identitasnya sebagai gay. Bermigrasi ke kota besar dan menjadi warga urban membantu mereka lebih cepat berbaur dan berpartisipasi dengan kelompok mereka sendiri.
Penelitian Dede Oetomo, seorang ilmuwan dan aktivis asal Indonesia tentang kehidupan gay di Surabaya bisa membantu menjelaskan persoalan itu. Dede menceritakan kisah seorang gay dari salah satu kota di Jawa Timur yang memilih kota Surabaya sebagai tempat tujuan hidup. Ia memperoleh informasi dari seorang teman bahwa Surabaya menawarkan tempat yang mampu melindungi dan memberi peluang baru bagi para gay urban untuk meraih tujuan mereka, yaitu mencapai ‘kebebasan’ berekspresi dan mumpuni dalam hal ekonomi.
Demi Mengisi Perut: Bagaimana Gay Urban Bertahan Hidup?
Tom Boellstorff, seorang antropolog asal Amerika Serikat, juga menceritakan dinamika kehidupan gay urban di Jakarta. Mereka kebanyakan menghuni indekos atau apartemen bergengsi. Beberapa di antara mereka bekerja sebagai karyawan swasta dan pegawai negeri sipil.
Terlepas dari itu, saya, sebagai peneliti bidang studi gay (gay studies), melihat strategi adaptasi dan bertahan hidup gay urban berbeda-beda, tergantung pada tingkat pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki. Adaptasi penting mereka lakukan untuk bertahan hidup di lingkungan sosial baru dan keluar dari masalah yang sedang mereka hadapi. Mereka melakukan itu bukan dengan frontal menunjukkan identitasnya demi meraih keinginan yang berlebihan, melainkan menyesuaikannya dengan kapasitas diri sendiri dan norma heteronormatif yang berlaku.
Selain itu, strategi adaptasi para gay urban juga memiliki persamaan dengan kelompok heteroseksual. Baik bagi gay maupun cis-heteroseksual, strategi adaptasi yang mereka pilih sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan tempat mereka hidup. Bagi mereka yang tidak beruntung, menjadi pengamen, hidup di pinggir jalan, dan menjajakan tubuh adalah pilihan paling memungkinkan untuk diambil. Tempat penampungan sosial memang tersedia bagi mereka yang dianggap mengganggu ketertiban, tetapi tempat itu tidak hanya dihuni oleh mereka yang kurang beruntung dalam kompetisi ekonomi, melainkan juga mereka yang kedapatan berbuat atau bertindak asusila di ruang publik.
Saya melihat strategi adaptasi dan bertahan hidup gay urban berbeda-beda, tergantung pada tingkat pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki. ~Wisnu Adihartono Share on XTerlebih lagi, tidak sedikit dari para gay urban yang masih terikat dengan keluarga di kampung halaman yang biasanya menjadikan mereka sebagai tumpuan hidup. Para gay urban pun mengafirmasi hal itu dan bertekad untuk memperbaiki ekonomi keluarga mereka. Oleh sebab kehidupan di desa atau tempat mereka berasal tidak menjanjikan penghidupan yang mereka inginkan, menuju kota besar seperti Jakarta mereka anggap bisa memberikan peluang untuk memperbaiki kehidupan. Peluang itu terhampar jelas di depan mata mereka, sebagaimana yang juga dinikmati oleh kelompok cis-heteroseksual.
Terlibat dalam kegiatan ekonomi perkotaan yang cenderung terpusat bukan tanpa masalah. Keberadaan kampung kota (slum area) dan kriminalitas menjadi hal yang lumrah ditemui di kota-kota besar: gay urban pun tidak lepas dari masalah tersebut. Selain itu, maraknya urbanisasi yang mereka lakukan juga membuat desa menjadi kurang menarik. Desa pun banyak kehilangan sumber daya manusia usia produktif karena mereka lebih memilih pergi ke kota, bahkan ke luar negeri, demi menyambung hidup yang lebih baik.
Saya melihat bahwa permasalahan tersebut bersifat struktural. Hampir satu dekade terakhir ini, kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah yang dijalankan pemerintah malah lebih banyak melahirkan penguasa-penguasa baru serta menumbuhkan korupsi yang semakin marak, alih-alih menjadikan daerah semakin sejahtera.
Pembangunan di daerah yang tidak merata, pendidikan yang tidak mampu menjangkau ruang lingkup daerah tertinggal, dan akses kesehatan yang masih menjadi momok bagi banyak orang adalah sederet masalah yang terus menghantui, sekalipun pemerintah telah banyak membuat kebijakan yang memihak kelompok miskin. Masalah-masalah tersebut berimbas pada wilayah perkotaan yang dipicu oleh masifnya urbanisasi.
Berkompromi dengan Kerasnya Kehidupan Kota: Narasi Dari Dua Informan
Pada bagian ini, saya akan menampilkan dua dari sepuluh hasil wawancara singkat saya dengan informan penelitian saya. Nama-nama yang saya cantumkan di sini adalah nama samaran. Saya hanya akan membubuhkan umur dan jenis pekerjaan mereka.
Informan pertama saya adalah Haryanto (45 tahun, bekerja di sebuah toko baju). Ia mengisahkan bagaimana ia dapat melakukan urbanisasi ke Jakarta.
“Saya sudah sejak tahun 2015 di Jakarta. Saya orang Cianjur. Waktu pertama kali datang ke Jakarta, saya hanya modal ijazah SMA aja. Saya luntang lantung selama hampir satu tahun. Saya pernah menjajakan diri saya ke laki-laki yang suka seks. Untungnya gede lah mas. Saya kost di daerah Cilincing. Kost saya jelek banget gak ber-AC, cuma kipas angin dan kamarnya kecil bgt. Singkat kata, tahun 2017 saya iseng saja ngelamar di toko baju, kok ya keterima. Sejak itu saya tinggalin nge-seks. Saya fokus aja dengan pekerjaan saya. Dan Alhamdulillah saya sudah dipercaya sama bos saya untuk mengawasi toko itu.“
Lain lagi dengan Steven (46 tahun, penjaja seks), ia mengisahkan bagaimana ia menjajakan tubuhnya untuk bertahan hidup di Jakarta.
“Saya udeh di Jakarta tahun 1999. Baru kok. Terus pandemi deh. Saya bener bener gak punya kerjaan. Saya kire Jakarta itu baek eh ternyata same aje. Pandemi sih pandemi tapi masih banyak laki-laki yang butuh mas. Ya udeh deh dengan body gue yang atletis kayak gini, waktu pandemi gue jual badan saya aja lah. Sampe sekarang saya masih. Dan saya sekarang udeh bisa jadi budak mas. Sekarang gue tinggal di apartemen bagus di daerah Menteng tapi ya itu saya harus tiap seminggu beberapa kali gitu harus ngelayanin sugar daddy saya. Yah gak apa apa lah mas, yang penting saya bisa ngidupin keluarga saya.”
Dua cerita di atas menjelaskan dinamika urbanisme kelompok gay di Jakarta. Dari dua cerita tersebut, tampak jelas bahwa Haryanto dan Steven ingin memiliki pekerjaan dan kehidupan yang layak. Jakarta memang mampu membuat mimpi para pendatangnya melambung tinggi. Namun, menghadapi lika-liku kehidupan di Jakarta tidaklah mudah. Para gay urban pun berkompromi dengan situasi itu lewat berbagai upaya demi menafkahi hidup dan keluarganya.
Wisnu Adihartono meraih PhD. di bidang Sosiologi dengan ketertarikannya pada studi LGBT khususnya pada studi Gay, Migrasi, Studi Diaspora, Sosiologi Keluarga, mikro sosiologi, dan Studi Asia Tenggara dari Centre Norbert Elias, École des Hautes Études en Social Sciences (EHESS), Perancis. Saat ini, Wisnu adalah sosiologis yang berbasis di Jakarta. Ia telah menulis di beberapa jurnal ilmiah dan website tentang migrasi dan diaspora Indonesian gay men di Eropa. Wisnu saat ini menjadi Global Advisory Commitee untuk Asia Equal Foundation. Wisnu dapat dihubungi di e-mail di [email protected] atau [email protected]
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini